Mimpi Terakhir

23 0 0
                                    


Ibu, ini yang aku janjikan kemarin. Melanjutkan cerita mimipimu yang belum selesai, tentang bagaimana aku berada dalam kebahagiaan, menurutku.

Aku mestinya tidak ingin membuat ibu kacau dengan pikiran-pekiran tentangku, tapi, adakah seorang anak yang tidak pernah merepotkan ibuya? Setidaknya itu yang terakhir dalam pikiranku, ibu.

Mestinya seseorang harus tahu bagaimana semuanya terjadi padaku ibu, namun ibu tahu sendiri? Kita hanya orang-orang biasa, kekuasaan apa yang kita punya? Selain kesabaran pada kenyataan.

Kemarin malam aku hadir dalam tidurmu, sebentar mengingatkanmu bahwa aku belum sepenuhnya hilang, ibu tahu sendiri. Wangi parfumku masih memenuhi segala ruangan, sering kau tegur untuk jangan menggunakan parfum berlebihan. Sebenarnya aku tidak memakai parfum yang banyak bu, hanya saja kepekaanmu terhadapku yang membuat begitu, kekhawatiranmu, juga rasa sayangmu.

Kemarin, Sebelum ibu tidur, ibu masih menggambarkan wajahku di udara, membentuk pola, seperti kedua mataku, bibirku yang sering kau sentuh, dan rambut yang sering kau rapikan, semuanya dalam bentuk angan-angan. Sayang sekali bapak tidak melihat semua itu, ibu.

Kemarin malam, sepotong cerita yang sepenuhnya nyata aku kisahkan. Mulai dari pagi itu, ibu tahu, aku tidak pernah ingin telat ke sekolah. Secepat mungkin aku harus hadir, karena jarak ke sekolah terlalu jauh untuk bersantai. Hutan yang rimbun penuh dengan kabut yang dingin, burung-burung belum berani berkicau, sebab anak-anaknya masih butuh pelukan.

Seperti biasa, aku tidak pernah lupa memcium tanganmu. Aku menganggap itu sebagai doa, karena ibu selalu meninggalkan kesibukan untuk waktu yang singkat itu. Dan aku tahu, doa harus khusuk, seperti yang ibu lakukan. Aku sayang ibu.

Hati-hati Rin, katamu. Aku berbalik Seperti biasa, menjawab dengan senyuman. Andai bapak ada.

Ibu, aku tidak pernah sehati-hati seperti pada pagi itu, pikiranku kacau, dan pandanganku seperti ingin berputar. Separuh jalan aku menepikan motorku, memijit kepala, lalu menyalakan motor lagi. Setidaknya agak mendingan.

Pagi ini berbeda dengan pagi yang pernah kulalui, amat hening juga dingin. Pelan-pelan aku menyelinap dalam kabut, berharap cepat-cepat sampai.

Ibu, sebenarnya terlalu sulit untuk kuceritakan selanjutnya, namun kemarin malam aku mengakhiri ceritaku itu dengan isyarat melanjutkannya di mimpi esok. Yah, kupikir ini terakhirnya mebuat ibu repot.

Selanjutnya ibu, aku masih hati-hati menarik gas motor, menabrak kabut jalan sesempit ini amatlah sulit. Aku sudah hafal jalan ini, sekitar 20 meter di depan ada tikungan ke kanan. Maka aku menyipitkan mata, berharap mataku segera menangkap tikungan itu. Namun apa yang terjadi bu? Aku terlempar, mobil terlalu kuat untuk diadu dengan motor. Kepalaku amat sakit, aku berharap tidak terlalu parah, sebab aku tidak pernah lupa memakai helm. Andai bapak ada.

Ibu, seperti apakah kehidupan yang pahit itu? Kita memang hidup tanpa bapak, juga tanpa uang yang lebih. Tapi kenyataan tidak pernah terlihat pahit, atau sia-sia. Dan, apa yang perlu ditangisi dalam hal kematian? Karena kehilangan? Itu terlalu berlebihan, menurutku. Kematian juga tidak perlu dirayakan bu, seperti kata mereka. Kematian itu hanya untuk melupakan. Kematian juga untuk mengingatkan, bahwa ada tempat lain yang harus kita kunjungi. Ibu yang mengajariku.

Satu menit mungkin telah berlalu, aku masih pada posisi awal. Rasanya amat sakit, tapi aku tidak bisa teriak. Jalanan masih lengang, mobil hitam di sebelah kiri jalan masih diam, begitu juga pintu dan kacanya. Sopinya ragu-ragu untuk turun, suara mesinnya samar-samar ku dengar, lampu di bagian belakang masih menyala merah. Ibu, pada saat itu juga aku ingin bangun dan berdiri dan menyalakan motor, aku tidak ingin terlambat. Tapi, aku menagis, seragamku basah. Andai bapak ada.

Jalanan masih saja lengang, akhirnya sopir mobil hitam itu turun. Aku dipanggil – aku ingin menyahut "Saya tidak apa-apa om"

Seorang petani berlari menuju arahku, sedangkan Supir itu menelpon seseorang.

"apa yang terjadi pak?" tanya petani. "sebentar pak" Supir itu masih menelpon.

Dari jauh terdengar suara kendaraan, rasanya motor. Makin pagi kendaraan semakin ramai. Mereka berhenti, melihat keadaanku.

"anak siapa?"

"orang mana?" suara orang-orang makin ribut, aku tidak bisa mendengar lagi, telingaku rasanya kemasukan air, hidungku juga, baunya amis.

"siapa yang menabrak?" tanya petani lainnya

"dia menabrak mobil saya yang sedang parkir di sana, ini karena kabut yang tebal. Sepertinya Ia tida bisa melihat jalan" sopir itu menunjuk mobilnya

"berarti salah dia sendiri"

"tapi cepat segera tolongin dia, di dekat sini ada puskesmas. Cepat angkut dia"

"sebentar pak, saya sudah telpon mobil"

"pakai mobil bapak aja"

"jangan pak, itu mobil dinas. Nanti anggota dewan akan menaiki mobil itu"

Ibu, aku mendengar apa saja yang mereka katakan, terlebih apa yang sopir itu katakan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa bu. Aku tenggelam dalam tuduhan sopir itu. Tentu saja siapa yang tidak percaya dengan orang yang memakai baju seragam seperti itu. Sopir itu terlalu sibuk jika harus mengurus aku yang sekarat, bu. Ia punya pekerjaan untuk menyelamatkan penduduknya. Memberantas kemiskinan dan kriminal yang paling penting, katanya. Kalo ditanya masalah korupsi, tentu dia juga akan jawab dengan semangat "koruptor harus dimusnahkan". Sopir itu pergi bu, ia menitip uang untuk merawatku katanya. Ia juga menyuruh untuk menunggu jemputan mobil yang sudah ia telpon.

"tolong bawa anak ini ke puskesmas, sepertinya lukanya tidak terlalu parah. Cuman pendarahan biasa seperti anak-anak jatuh dari sepeda. Nanti saya kabari desa sebelah, sepertinya anak ini dari desa sebelah" sopir itu pergi. Ia memperhatikan lecet pada bagian kanan mobilnya.

Orang-orang ribut karena aku sudah tidak sadarkan diri, seorang nenek memegang tanganku. Sabar nak, sebentar lagi mobil itu datang.

Rasanya tiga puluh menit berlalu, mobil pik up datang. Aku dimuat di mobil itu bersama seorang nenek dan dua orang petani, petani lainnya pergi setelah mendapat uang rokok dari sopir tadi.

Segera aku sampai di puskesmas, petugas di sana berlari menjemputku.

"cepat, kondisinya kritis" kata salah seorang perawat

"mana dokter?"

"Sebentar dia kesini, dia masih ngobrol dengan tamunya"

Beberapa perawat itu membersihkan darah dikepalaku, aku masih tida sadarkan diri. Beberapa waktu kemudian, dokter itu datang. Ia memeriksa kepalaku "siapa keluarganya" tanya dokter itu. Nenek dan para petani tadi menggeleng, tentu saja petani itu benar.

"ia pendarahan di dalam kepala, segera harus di bawa ke rumah sakit"

"tapi keluarganya mana dok? Siapa yang tanggung jawab?"

"kasihan dia kalo harus menunggu keluarganya, saya ada uang buat tanggungin dia" kata salah seorang petani

"tidak bisa pak, kita harus mengikuti peraturan yang ada"

"tapi kasihan dia"

"bapak mau membawa dia ke rumah sakit atas nama bapak?"

Petani itu menggeleng. tentu saja dia benar, kan bu?

Akhirnya kita dipaksa percaya pada perturan dan prosedur akan menjadi jalan lurus untuk hidup dalam tentram, tanpa tahu ada hal yang lebih dipentingkan dari itu semua bu, yaitu sisi kemanusiaan. Benar kan bu? Dulu bapak yang mengajarkanku.

Tapi ibu jangan anggap apa yang kuceritakan itu sebagai penyesalan bu, aku sudah bahagia bu, bahkan lebih.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 25, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mimpi TerakhirWhere stories live. Discover now