1. Ruangan

20 2 0
                                    

Dingin...

Ini lebih dingin dari waktu kemarin.

Hujan...

Ini lebih lebat dari waktu kemarin.

Berisik...

Ini lebih berisik dari waktu kemarin.

Gelap....

Aku benci kegelapan.

Mengapa petugas itu tidak memberiku penerangan, jaket tebal, atau penutup telinga?

Aku benci keramaian yang memilukan telingaku.

Aku suka rintik hujan.

Setiap tetesan air berjatuhan membuat pikiranku tenang bagaikan mendengar lantunan lagu harmonis. Akan tetapi aku benci tidur. Tidur membuatku layaknya mayat baru mati yang di simpan di dalam lemari es selama-lamanya. Andaikan saja ada semacam obat atau serum untuk penghilang rasa ngantuk? Aku bisa beradaptasi dengan baik di ruangan sempit, lembab, dan pengap.

Aku duduk di tepian ranjang sangat menyiksa. Menghela napas dengan berat. Untuk menghilangkan semua kepenatan dalam pikiran. Terkadang aku sendiri merasa bimbang dengan keadaanku sekarang.

Setiap malam aku tidak bisa hidup tenang dengan mudah. Kegelisahan berlebihan timbul sejak aku pertama kali tidur di ruangan ini. Menengadah ke atas, menatap pualan langit-langit terbuat dari beton berukuran tebal berkisar lima inci; lapisan tersebut menahan beban cukup berat untuk menampung segala macam berat barang di ruangan itu. Lalu tempias cahaya lembut dari lampu neon tergantung di atas sana, sebagai pengganti satu-satunya penerangan kehidupanku saat ini. Yang menyebabkan kulit kuning langsat lebih pucat dari manusia normal berkulit albino.

Rambut hitam yang terurai menutupi kedua daun telingaku dengan sempurna. Tirani penghalang antara kenyataan dan kedustaan. Sungguh ironis di atas ironi.

Hari ke-empat tlah berlalu. Merentangkan tubuhku di atas kasur tua dan tipis; merelaksasikan persendianku tiap kali tegang. Sudah empat hari juga aku belum diberi makan secuil nasi pun untuk mengisi perutku yang keroncongan; cacing di dalam ususku sudah meraung-raung minta makanan dari tadi.

Pria berusia tiga puluh tahun yang bertugas memiliki perut buncit yang tergantung diantara sabuk kulit dan celana putih, selalu berjaga di waktu siang dan malam hanya memikirkan bermain bersama pasien wanita setiap saat di waktu senggang. Bahkan erangan yang diciptakan petugas dan pasien lain selalu terdengar jelas di balik pintu yang terbuat dari baja sudah berkarat ini. Kerap kali menimbulkan suara aneh saling bergesekan seperti "memasukan" dan "mengeluarkan" secara bersamaan. Entahlah... Itu pun aku tidak tahu yang mereka perbuat atau lebih tepat mereka lakukan saat itu juga. Dasar brengsek.

Disamping itu pula, petugas itu tak pernah sekali pun macam-macam padaku, atau sekedar mendekati diriku seperti pasien wanita lain yang telah lama tinggal di rawat di rumah sakit selama bertahun-tahun.

Pintu besi terkunci dari luar.

Seperti biasa, di jam yang sama. Petugas akan memukul-pukul setiap pintu dengan keras menggunakan pentungan yang sering ia bawa-bawa sebagai senjata utama dan satu-satunya alat pertahanan untuk mengatasi berbagai macam ancaman yang dihadapinya saat berhadapan dengan beberapa pasien yang sering membuat kekacauan. Contohnya pasien yang berada di dalam sel tiga belas, ruang sebelah. Aku hanya menebak-tebak sesaat, sekilas aku dapat mendengar teriakan keras cukup redam di dalam sel tiga belas. Erangan memilukan dan dicampur rasa keputus asa dan ketakutan menambah efek suara domistik sangat kental. Menoleh kurang dari empat puluh lima derajat tanpa tujuan pasti. Kutatap tembok lamat-lamat. Membayangkan perwujudan Kiyoshi tampak nyata; ia sedang berdiri menghadap ke tembok dengan menunduk kepala. Pria berdarah jepang-indo mengalir di pembuluh nadinya. Usia tiga puluh tahun lebih sepantar dengan petugas berbadan gempal. Sorot mata Kiyoshi tampak lesu dan lelah. Lingkar hitam yang menghiasi di kantong mata menandakan dirinya bahwa dia kurung cukup beristirahat. Enggan menutup mata dengan kelopak mata sekali pun seakan ia dapat melihat di balik kelopak mata. Kulit kuning langsat tak jauh berbeda dengan kulitku. Kami saling menatap. Tepatnya, pada saat jam makan siang. Waktu itu keadaan di kafetarian sungguh ramai. Puluhan orang berdesak-desakan, berbaris rapih seperti jalanan semut menuju ke gundukan kecil yang disebut sarang; dan membuat antrian panjang. Menambah ruang kafetarian berukuran sebesar gedung studio olahraga mulai pengap. Aku sedang duduk di pojokan belakang. Menyendoki bubur berwarna putih bertekstur lembek lalu memasukan ke dalam mulutku secara berulang-ulang.

I'm : All About You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang