2. TEMAN

2 5 1
                                    

Keesokan hari, Dr. Jordan memanggilku kemari.

"Selamat sore, bagaimana kabarmu?" sapanya.

"Bukannya jadwal pemeriksaanku minggu depan?" heranku masih menatapnya.

"Aku disini karena Dr. Emily masih berada diluar kota. Lalu bagaimana kabarmu? Apa tidurmu nyenyak?".

"Tidak" jawabku cepat.

sambil melihat anak laki-laku itu dibelakangnya.

Tidak lama ia menoleh kebelakang, memeriksa dengan tangannya. Lalu dia kembali lagi ke posisi semula. "Apa yang kau lihat?", "Tidak" jawab datarku. Sekarang anak kecil tadi berpindah ke belakangku.

Menghela nafas dengan berat. Dengan kacamata persegi ia pakai, seakan dia kaget melihat apa yang ada dibelakangku. Refleks melepaskan kacamata ia kenakan.

Kemudian ruangan ini mulai hening. Tapi, telinga kiriku anak kecil membisikkan sesuatu. Setelah itu, doktor jordan meninggalkan tempat ini. "Kenapa menakutinya?" tanyaku. "Aku membencinya" dengan pelan. "Jangan mengikutiku terus" masih memperhatikan kacamata di meja itu. Tak lama doktor jordan masuk ke ruangan ini lagi. Dan duduk dikursi yang biasa di pakai olah doktor lain.

"Maaf atas ketidak sopananku tadi. Apakah kau bisa melanjutkan ceritamu kemarin?". "Yang mana?" balik tanya. "Saat kenapa kau terpilih menjadi seorang peneliti" jawabnya.

Lama aku diam, dan mengingat kembali ingatan lamaku. "Baiklah. Tapi aku akan menceritakan kisahku sebelum aku menjadi seorang peneliti" kepadanya. Dia hanya menelatapku sembari tersenyum tipis kepadaku. "Bisa kita mulai?" aku hanya mengangguk saja.

Saat musim gugur, perubahan iklim membawa angin panas menjadi dingin. Waktu itu, aku duduk sendiri dikursi panjang ditaman yang biasa kukunjungi. Dalam ketenangan aku bisa membaca buku yang sering kakek bicarakan. Berkaitan dengan hal-hal diluar akal pikiran manusia.

Pada saat menjelang sore lampu taman akan menyala. Kemudian, aku pulang kerumah. Setelah buku yang kubaca disimpan di tas kecil yang selalu kubawa. Setiap pulang sekolah aku sering tidak langsung pulang kerumah. Jadi, aku selalu pakai seragam sekolah sepanjang hari.

Taman yang sering kudatangi tidak jauh dari sekolah. Tapi aku harus pulang dengan menggunakan kereta. Ketertarikanku dengan barang sudah menjadi barang antik. Maka aku sering naik kereta shinkansen yang masih beroperasi sampai sekarang. Walaupun ada kereta lain yang lebih cepat dibandingkan kereta ini.

Sesampai dirumah, aku tinggal sendirian. Tiap hari aku lupa menaruh kunci rumahku. Dengan tingkahku layaknya seorang pencuri. Aku masuk lewat jendela kamarku berada dilantai dua. Kehidupanku sangatlah sepi karena orang tuaku meninggal. Saat ayah dan ibu bekerja ditempat yang sama, ketika kebakaran itu terjadi.

Aku merupakan anak kedua dari satu saudaraku. Yaitu kakak perempuanku, sebulan sekali ia memberiku uang bulanan lewat pos. Uang bulanan yang diberi cukup besar untuk membiayai hidupku seorang diri. Makanya aku selalu menyisihkan uangku setiap hari. Agar suatu saat lagi kesusahan, aku tidak perlu merepotkan kakakku.

Keesokan paginya aku berada dikelas 2-A. Umurku sebentar lagi menginjak tujuh belas tahun. "Selamat pagi!" sapa hangat berada disebelahku. Dia adalah Chiko umurnya sepantaran denganku. Kacamata bulat merah serta rambut orangenya, membuat murid lain terpaku dengan kecantikannya. "Pagi" balasku masih membaca buku yang sering kubaca. "Dingin banget! Apa prmu sudah dikerjakan?". Duduk dikursinya masih melihat kearahku. Kami tidak sebangku, namun aku dengannya seolah teman dekat.

"Sudah" balasku dengan datar. "Please!!! Boleh tidak aku lihat" mohonnya. Langsung kuberikan bukuku padanya. "Makasih" kemudian dia keluarkan buku matematika miliknya. Lama dia tidak mencatat isi soalku. Lalu mengembalikan bukuku lagi. "Kalau aku ikutin jawabanmu. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan miss. Selena. Lebih baik aku akan berusaha sendiri" kecewanya.

Meskipun dia cantik, tapi kemampuan semua dalam pelajaran rendah. Setiap masalah ia hadapi pasti meminta bantuanku. Bahkan hampir semua dalam pelajaran. Matanya melihat celana hitam panjang yang kupakai. "Kenapa masih pakai celana itu kesekolah?!" khawatirnya. "Aku sudah terbiasa dengan ini" datarku. Kemudian membuka lagi lembaran baru di buku yang kubaca. "Nanti miss. Selena menghukummu lagi!" gerutunya. "Aku tidak peduli" culasku.

"Dasar payah! Walaupun nilaimu bagus. Tapi bersikap tidak acuh peraturan sekolah ini. Bisa-bisa kamu tidak naik kelas!" marahnya. "Lagi bicara apa sih! Aku lagi sibuk" melirik kepadanya. Mejaku sekarang dipenuhi barang-barang. Seperti perkakas berat, kecil, dua buku tebal lama kakekku dan peralatan lain ditas kecilku.

"Dasar maniak aneh. Sampai kapan kau buat kacamata kayak moncong tikus?" keluhnya. "Sampai berhasil" balasku. Selanjutnya aku mulai mengerjakan alat ini lagi. "Jangan bilang, kamu ingin membenarkan soal mahluk kasat mata itu ada" dengan nada kecewa. "Iya. Lagipula aku sudah menceritakan itu. Mau kuulangi lagi?" senangku. "Tidak! Tidak! Lebih baik aku mendengarkan gosip terbaru hari ini.  Bye!" Chiko pergi, lalu bergabung dengan kumpulan penggemar K-Drama.
Cih—!
Baru bilang gitu sudah kabur. Aku heran, mengapa aku ingin berteman dengan nya? Padahal aku masih dapat mencari teman baru di sekolah ini. Namun, aku tidak punya niatan untuk melakukan nya, karena aku sudah pusing dengan otak ku sendiri yang harus mengerjakan ini dan itu, memecahkan sebuah misteri yang belum aku pecahkan.

Sepertinya akan lebih mudah untuk mengabaikan semuanya, misalkan: Lucas.

Murid laki-laki pintar, tampan, dan ceria. Dia selalu menyapa siapa saja, menolong murid lain sedang kesulitan, dan status murid populer. Enak sih. Aku jadi iri, karena itu, aku harus jadi populer.

"Selamat pagi, Rina" Lucas menyapaku.
Aku mengangguk, kembali menyolder komponen aktif dengan hati-hati.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Lucas.
"Kerja" jawabku singkat. Sweater ungu yang dia kenakan terlalu mencolok, menjijikan. "Lucas, kamu bisa menjauh? Aku sedang sibuk."
Lucas sontak, terkejut. "Maafkan aku. Telah mengganggu pekerjaanmu" balas Lucas.

Lucas tampak suram, aku membenci raut wajahnya.

"Kamu menangis?" tanyaku.
Dia menggeleng kepala, menyeka air mata yang mengalis ke pipinya. "Tidak. Ada debu masuk ke mataku. Permisi."

Lantas, dia pergi, aku telah melakukan kesalahan. Tidak, biasanya dia bersikap lembut. Padahal, aku ingin Lucas mengomentari hasil kerja kerasku membuat kacamata ajaib.

"Rina..." panggil Alan, kembaran Lucas. "Sekarang kamu lagi buat rongsokan?" tanya Alan.
Dasar, dia membuatku kesal. "Bukan, aku sedang menciptakan kacamata ajaib bukan rongsokan."
"Terserah saja, semua orang tau. Alatmu tidak berguna" ketus Alan.
Aku senyum kecut, menatap Alan. "Kalau gitu bisa ga kamu pergi dari sini? Aku benci bau busuk" aku berseru keras.

*************************************************

"Bisakah sampai di sini dulu? Aku lelah" kataku.

Dr. Jordan tersenyum, melirik jam, menulis di buku catatan dan menyimpan bolpoint itu.

"Iya. Kau boleh pergi" ramah Dr. Jordan.

Dua penjaga masuk ke ruangan, memborgol tanganku. Mereka menuntunku kembali ke sel pribadiku. Setelah bercerita panjang, aku lelah, mengingat masa lalu cukup susah. Terkadang aku berbohong untuk menambah sedikit cerita fantasi.

Alan? Chiko?

Aku baru ingat. Mereka tampak tak asing bagiku. Seakan aku sudah mengenal mereka sangat dekat. Anehnya. Aku tidak tau siapa mereka? Alan dan Chiko adalah temanku atau bukan? 

I'm : All About You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang