#3 Fakta

32 6 5
                                    

Pagi ini langit terlihat sangat gelap. Awan-awan hitam berkumpul menandakan hujan deras yang akan turun sepanjang hari. Melihat itu, Revan buru-buru berangkat ke sekolah. Ia tidak ingin absen hanya karena hujan ataupun terjebak hujan di jalan. Dilihatnya jam tangan di lengan kirinya yang masih menunjukkan pukul enam pagi. Ia berdecak sebelum akhirnya melesat bersama sepeda yang dikayuhnya cepat.

Sesampainya di sekolah, Revan langsung menuju ruang Klub Relawan. Ditutupnya pintu lalu dibukanya gorden dan jendela yang menghadap langsung ke halaman belakang sekolah. Setidaknya hawa dingin dari luar tidak bisa masuk melalui pintu, begitu pikirnya.

Sambil menggosokkan kedua telapak tangannya untuk mencari kehangatan, ia masih termenung memikirkan masalah kemarin dengan keras. Namun, Revan telah memutuskan untuk memecahkan itu bersama-sama. Ia sengaja datang ke ruang klub sepagi ini untuk menepati janji yang telah dibuatnya dengan Rian.

"Akhirnya," gumam Revan ketika mendengar suara gagang pintu yang dibuka, Rian terlihat melongokkan kepalanya, kemudian masuk.

"Maaf aku terlambat!" seru Rian memecah keheningan di ruangan itu.

"Tidak, kemarilah," ucap Revan mempersilahkan Rian untuk duduk di depan meja di hadapannya.

"Kau berhutang penjelasan tentang masalah yang kau bicarakan padaku kemarin," kata Rian setelah duduk di kursi yang berisi bantalan empuk itu.

"Akan kujelaskan. Tapi sebelumnya, Rian, bagaimana kondisi tempat itu?" tanya Revan.

"Masih sepi. Tidak seperti yang kau bilang."

"Justru itu."

"Hah?" Rian mengernyitkan dahinya karena bingung.

"Kau akan mengerti setelah kujelaskan semuanya dari awal."

"Baiklah, beri tahu aku."

Revan melipat kedua tangannya sambil berpikir sejenak. "Saat itu aku sedang dalam perjalanan ke sekolah. Jalan masih sepi, dan orang-orang baru akan mulai bekerja. Ketika aku melewati supermarket yang ada di perempatan jalan, pandanganku terfokus pada mobil box yang terparkir di depan halamannya. Awalnya aku tidak mencurigai apapun. Tapi, setelah hari kedua dan ketiga, aku tahu ada yang tidak beres."

"Tunggu, itu hanya mobil box yang mengangkut barang-barang supermarket itu kan?"

"Aku sempat berpikir begitu. Tapi, apa kau tidak tahu pukul berapa supermarket itu buka?"

"Tentu saja aku tahu! Jam delapan, kan?"

"Lalu untuk apa mereka menunggu di sana dua jam sebelum dibuka?" tanya Revan.

"Hmm.. Tidak mungkin ya? Mobil box pribadi berarti," kata Rian.

"Kemudian, saat jam pelajaran berlangsung, aku dapat melihat dengan jelas melalui jendela kelasku, dari jauh terlihat mobil box itu belum berpindah sedikit pun. Bahkan, sampai jam pulang sekolah mobil itu masih ada di sana. Itu terjadi selama tiga hari. Sedangkan kemarin, aku sempat melihatnya saat jam pelajaran, tapi menghilang waktu aku pulang bersamamu," jelas Revan pada Rian.

Ia mendekatkan kedua tangan yang dilipatnya menutupi mulutnya. "Dari semua itu, kita anggap dulu bahwa itu benar-benar merupakan rencana penculikan. Lalu, menurutmu apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh pelaku saat itu?" tanya Revan.

"Hmm.. Menunggu korbannya, mungkin?"

"Lebih tepatnya mencari. Jika mereka sudah menentukan target, tidak mungkin mereka menunggu berlama-lama dan salah menentukan hari eksekusi sampai tiga kali dan mengulanginya tiap hari. Lagipula tidak mungkin mereka akan terang-terangan menculik di tempat terbuka seperti itu."

"Benar juga.."

"Jadi, kemungkinan terakhirnya adalah pelaku menggunakan tiga hari itu untuk mencari calon korbannya. Setelah itu, mereka menghilang di hari keempat, yaitu kemarin. Dan hari ini pun mereka tidak datang lagi. Apa artinya?"

"Mereka sudah menemukan korbannya!" seru Rian.

"Tepat sekali," ucap Revan lalu menundukkan kepalanya.

"Tapi siapa, Revan? Apa kau tahu siapa yang sedang mereka incar?" tanya Rian penasaran.

"Yang pasti bukan orang dewasa. Belum pernah ada kasus penculikan orang dewasa dimana pelakunya memilih secara acak."

"Berarti, jika benar mereka mengincar anak-anak.." kata Rian terpotong sambil menimang-nimang.

"Rian, tempat apa yang mungkin dimasuki anak-anak pada jam enam pagi dan letaknya di sekitar supermarket?" tanya Revan.

Rian berusaha menyerap kata-kata Revan barusan. Tiba-tiba ia tersadar dan membuatnya membelalakkan matanya.

"SD Kartini! Mereka mengincar anak-anak SD! Bagaimana bisa aku melupakan hal sekecil itu?! Sudah jelas, letaknya berseberangan langsung, tempat yang strategis untuk memantau anak-anak itu hanya di supermarket itu!"

"Benar, tapi kita belum mempunyai fakta apapun. Itu masih menjadi sebuah pendapat pribadi."

"Lalu, apa yang akan kita lakukan?!"

"Tidak banyak. Untuk sementara, kita tunggu perkembangan saja."

"Menunggu?! Tapi—"

"Kita tidak tahu akan mencari informasi kemana, lagipula aku tidak ingin membolos hanya untuk penyelidikan kasus yang bahkan belum tentu terjadi."

"Tapi mereka beroperasi hanya di jam-jam sekolah, kan? Kita harus sedikit berkorban!"

"Selain itu, Rian, polisi yang berjaga di depan sekolah kita bisa saja melihat kita kemudian melaporkan kita kepada kepala sekolah karena diduga membolos."

"Aargh! Lalu bagaimana?"

"Kan sudah kukatakan.. Menunggu!" kata Revan agak sedikit kesal.

Rian menunduk dan terdiam selama beberapa saat. Jari-jari tangannya mengetuk-ngetukkan meja menunjukkan kegelisahannya terhadap sesuatu yang belum pasti. Dan perasaan itu membuatnya semakin ingin untuk segera memastikannya.

"Ya sudahlah.. Aku kembali ke kelas dulu, ya. Sampai jumpa, Revan!" ucap Rian sebelum pergi dari ruangan tersebut. Revan hanya membalas dengan mengangkat tangan kanannya.

Ia lalu melipat kedua tangannya kembali di depan bibirnya, seperti yang selalu dilakukannya ketika sedang berpikir.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THINKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang