Waktu bukanlah segalanya bagiku. Hal itu baru kusadari saat bertatapan dengan anak perempuan itu di depan kamar hotel yang kutinggali. Dia datang dengan ucapan salam dan senyuman yang manis. Juga sebuah pertanyaan sederhana yang mengejutkanku.
"Hai, Ayah. Maukah Ayah datang ke pernikahan Ibu?"
Namanya Chiharu, usianya enam tahun, sangat suka belajar menulis cantik dan kaligrafi, seorang gadis kecil pemalu yang juga gemar tersenyum—putriku yang kutinggalkan enam tahun yang lalu.
"Ibumu?"
"Mm-hm," sahutnya, masih dengan senyumannya yang manis dan anggukan kepala yang yakin.
"Menikah?"
Aku yakin tampangku terlihat dungu karena pertanyaan itu. Chiharu melebarkan senyumnya, gigi depannya telah lepas satu. Rambut gelap kebiruan yang panjang dikepang dua berhiaskan pita putih. "Ya," katanya, meyakinkanku. "Ibu akan menikah dengan seorang pangeran tampan. Dia sangat... tampan." Chiharu tertawa, tersipu, lalu memeluk pinggangku. "Ayah jangan marah, ya?"
Kini kusadari waktu juga bisa diibaratkan sebagai pintu gerbang yang bisa dibuka, terbuka, ditutup, tertutup, dikunci, dan terkunci. Kali ini aku diberi kesempatan untuk melangkah menembus waktu ke masa lalu, di saat yang sama aku berjalan mendekati masa depan milik Hinata, gadis manis yang dulu menjadi alasanku untuk berubah.
Hinata...
"Bagaimana kabar ibumu?"
Chiharu melepaskan pelukannya, dia menunduk, memainkan sepatu merahnya. "Hmm... Ibu sangat bahagia." Chiharu mendongak, senyumannya terlihat terluka. "Ibu sudah tak pernah menangis lagi."
Lalu kusadari satu hal yang lain, Chiharu tahu sesuatu yang tak ingin kuketahui.
"Ayah..."
"Ya?"
"Apa Ayah akan menyerah?"
Dia... putriku, tahu bahwa ibunya memang menginginkan ini.
"Menurutmu?"
"Jika aku minta, apa Ayah akan menyerah?"
Bisa kulihat pengharapan yang terlalu jelas di sepasang matanya. "Tentu tidak." Sepasang mata gelapnya berkilat bahagia. Aku seakan melihat diriku sendiri saat pertama kali mendengar berita bahagia itu dari bibir Hinata. Saat dia bilang bahwa aku, seorang pria yang tak paham akan makna keluarga, akan jadi seorang ayah.
Sasuke-kun...
Suaranya yang lembut tak pernah bisa kusingkirkan dari ingatanku.
"Lalu, apa rencanamu?" selidikku.
"Kau akan menculik Ibu!"
Aku menertawai ide Chiharu. Dia terlihat kecewa dan sedih. "Kau salah, kita akan perbaiki ini."
"Tak ada yang perlu diperbaiki," koreksinya.
"Ya, tentu saja ada."
"Apa?"
"Kesalahan terbesarku."
Kening Chiharu berkerut, aku senang melihat reaksinya. Dengan lembut kutarik putriku masuk. Kukepak barang-barangku, menulis memo kecil yang kemudian kuselipkan di bawah gelas. Kumatikan ponsel, kuambil mantel besar, kacamata hitam, dan topi baseball. Chiharu kugandeng. Kami berdua berjalan menyusuri koridor hotel yang siang itu sepi. Lift kemudian menampung kami, tangan Chiharu terus kugenggam. Dan aku tahu, aku tak lagi tersesat.
-:-
Setelah hampir dua puluh menit berada dalam taksi yang bergerak normal, aku mulai berpikir bahwa ini semua tidak benar. Jika aku datang, lalu apa? Maksudku, bagaimana reaksi Hinata jika dia melihatku? Enam tahun yang lalu aku pergi meninggalkannya begitu saja, meninggalkannya dan Chiharu yang membutuhkan perlindungan. Aku yang seharusnya menjadi tempat mereka bersandar justru melarikan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoscope Heart
FanfictionA collection of fanfics SasuHina. One shot collection First published on wattpad April 2014 Re-Published December 2022