Memeluk Duka Dua Wanita

103 3 0
                                    

Aku masih ingat saat keluargaku pindah ke kampung tanah tosora pada tahun 1985. Saat itu, aku berumur 9 bulan. Sebelumnya, keluargaku hidup dalam gubuk di kampung bersebelahan yang tak jauh dengan kampung tanah tosora yang sebelumnya pernah menjadi ibu kota kabupaten wajo pada abad ke 15. Keluargaku yang kini beranggotakan 9 orang membutuhkan ruang yang lebih besar.

Ayah telah pergi untuk selamanya meninggalkan aku yang masih berumur 9 bulan dan harus yatim serta ke-7 saudara-saudariku. Ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga yang merangkap menjadi tukang tenun yang dijual ke pasar seharga seratus ribu rupiah per sarung dikerja kira-kira membutuhkan waktu selama satu bulan, karena beliau tergolong tua sehingga dia tidak terlalu cepat tangkap. Ibu yang menjadi single parent saat itu harus berjuang memperjuangkan ke delapan putra-putrinya yang masih dalam tanggung jawabnya. Demi kebahagiaan hidup kami, sekaligus untuk mempermudah beban ibu, maka aku dan dua orang kakakku harus tinggal bersama nenek dari ibu.

Nasib nenek memang lebih baik dari nasib ibu, sampai aku harus terkucilkan. Aku anak bungsu. Aku tak begitu disukai dibandingkan dengan saudaraku yang lain. Sampai pada saat aku berumur 7 tahun, aku memutuskan untuk sekolah di sebuah madrasah yang tak jauh dari tempat tinggalku. Aku dengan sendirinya membawa diriku ke madrasah tanpa ditemani oleh siapapun dari keluargaku, karena keinginan yang kuat untuk sekolah. Tak seorangpun dari keluargaku yang memiliki sekolah yang tinggi, rata-rata dari mereka hanya lulus SD dan SMP.

Besok paginya aku siap pergi ke madrasah. Ini adalah hari pertamaku ke sekolah. Aku sebelumnya sama sekali tidak pernah menginjakkan kakiku ke sekolah karena keluargaku hanya bergelut di persawahan, setiap paginya aku harus menikmati pagiku dengan dengan mengendarai seekor kuda ke sawah, besama dengan seorang kakakku yang senantiasa menggiringku di depanku dengan mengendarai seekor kuda jantan gagah perkasa.

Hariku kini telah benar-benar berubah yang sebelumnya selalu pergi ke sawah dengan memakai pakaian yang compang-camping. Kini aku memakai celana pendek merah dan kemeja putih. Lambang saku baju kemejaku berwarna merah dan cokelat juga sebuah peci berwarna hijau bertuliskan huruf hijaiyah dari bahasa arab. Madrasah ibtidaiyah as'adiyah, begitu nama sekolahku. Sekolah swasta yang tidak ada matinya di bawah lindungan departemen agama yang dikepalai oleh seorang wanita yang kuat sudah berumur dan mampu bersaing dengan sekolah negeri yang ada saat itu.

Aku membawa sebuah tas yang terbuat dari kain dengantali selempang panjang membuat aku merasa risih yang hampir sampai di sebuah pantat berwarna hijau pinjaman dari kakakku yang duduk di kelas 1 SMPN majauleng, juga yang sempat dia pinjamkan adalah buku tulis yang telah bertuliskan serta sebuah pensil yang sudah tumpul yang berukuran jempol. Aku tak mendapat bekal ke sekolah apalagi mendapatkan uang jajan dari nenek. " kalau mau jajan di rumah saja, mengertilah keadaan kita. Dimana lagi kita mendapatkan uang". Katanya.

Udara dingin menusuk kulit lengan dan kakiku sepanjang perjalanan. Aku sempat melihat fajar menyingsing di balik rumah. Dadaku sesak sejenak dan terpaku. Inilah kali pertamanya, aku akan menginjakkan kaki ke sekolah.

Sekolahku dimulai dari pukul tujuh pagi. Aku lewat pintu belakang sekolah yang juga dipenuhi oleh murid baru. Tak seorang pun yang aku kenal dari mereka. Ada yang bermain kejar-kejaran di lapangan sekitar sekolah. Sementara seorang guru perempuan, gemuk, dan sudah berumurdengan lantang berteriak ke arah murid yang berkejaran,"owee....cako pajai silellung." Katanya dengan mata melotot, tangan pas berada di pinggang. Arti dari pada kata tersebut merupakan kalimat perintah bahasa bugis yang bernadakan marah atau jengkel menyuruh murid tersebut untuk berhenti saling kejar-kejaran.

Cerita Anak RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang