dua

41 2 0
                                    

"The time you enjoy wasting

is not wasted time."

-- Anon.


Aku menatap tak percaya.

Setelah diacungkan jari tengah oleh orang -yang katanya- bernama Ando tadi, Jonathan hanya terkekeh pelan dan kembali mengkonsumsi nikotin batangannya. Seakan hal barusan is not a big deal.

Merasa diperhatikan, Jonathan balas menatapku. Bola matanya berkilat-kilat aneh. "Kenapa?"

Sebenarnya ada banyak yang ingin ku katakan. Dari umpatan 'Gila lo!', 'lo kenal mereka?', sampai 'tau darimana mereka couple-an?'. Tapi yang keluar dari mulutku malah,

"Gue jadi penasaran, emang menurut lo gimana cara bedain cowok gay sama normal? Menurut gue mereka yang tadi ga ada yang aneh, normal-normal aja. Cakep malah." Oke, ke-kepo-anku kumat.

Kedua bola mata membulat dibalik kacamata perak tengah menatapku. Satu detik, dua detik, tiga detik. Lalu tawa Jonathan memecah.

"Something is wrong?" tanyaku bingung. Ku rasakan mata-mata yang tertarik mendengar tawa Jonathan yang luar biasa besar itu.

Setelah puas tertawa, cowok itu membuang rokoknya yang sudah memendek ke asbak yang tersedia. "Gue mau mesen minum, lo mau nitip?" Seraya bangun dari duduknya.

Jadi pertanyaan gue ga dijawab nih?

"Ngga deh, makasih." Aku menunduk membuka handphoneku lagi. Membuka news feed instagram, aku menyadari kalo Jonathan masih berdiri di dekatku. "Kenapa?"

Cowok itu mendengus dan tersenyum lagi. "Nanti gue balik lagi."

"Okay?"

"Kalo ada yang mau duduk disini jangan dibolehin."

Aku memutar bola mataku. "Yaudah, cepetan mesennya."

"Eh tapi kalo ada temen lo boleh aja sih, nanti gue narik bangku dari meja lain."

"Yes, sir. Jadi mesen minuman ga?" Sergahku. Ini orang baru pertama kenal begini amat.

Jonathan hanya terkekeh dan berlalu. "Yaudah, sebentar ya."

Kenapa dia gak balik ke meja teman-temannya aja sih? Aku mendorong minumanku hingga ke meja bagian Jonathan dan membuka handphone lagi.

Setelah me-scroll news feed instagram, News Feed Facebook -yang berhasil membuatku cekikikan dengan kelakuan alay warga sosmed tersebut- sebuah piring berisikan tiga mochi ice cream digeser kearahku.

Masih menatap sepiring mochi -chocolate, strawberry dan matcha- dengan bingung, aku mendengar kursi di depanku digeser dan Jonathan duduk di depanku.

"Gue gatau lo suka rasa apa, jadi ya gue beli itu aja. Denger-denger yang matcha enak." Jonathan kini tengah mengaduk-aduk kopi hitamnya. Cowok itu melirik gelas minumanku dan menyeringai. Perlahan menggeser benda itu ke arahku.

Ku yakin muka ku sudah merah padam. "Ini buat gue?" Tunjukku ke piring di depanku. Masa aku dikasih mochi ice cream tapi dia cuma minum kopi?

"Iyalah, siapa lagi?"

Wah, baiknya. "Serius? Makasih loh." Aku memotong sedikit mochi berwarna hijau muda dengan sendok kecil yg tersedia dan melahapnya. "Enakk, lo mau?"

Cowok itu terkekeh dan menggeleng. Dia mengambil sebatang rokok lagi dan menyulutnya. "Ohiya, lo masih nungguin jawaban pertanyaan tadi ga?"

"Nah, masih banget!" Jawabku mengangguk semangat.

"Kenapa lo mau tau?"

"Jadi gue gak boleh tau?"

Cowok itu mengeluarkan asap dari mulutnya dan tersenyum makin lebar. "Ngga, bukan gitu. Aneh aja."

Aku hanya terdiam dan kembali memakan mochiku. Dingin tapi manis.

"Kalo dari penampilan, tergantung orangnya." Jonathan akhirnya bersuara lagi setelah beberapa saat. "Menurut gue cowok gay itu penampilannya lain dari pada yang lain."

Aku hanya menaikkan sebelah alisku dan masih mengunyah makanan lembek dingin enak yang dia berikan.

Sebuah kilatan aneh muncul lagi di matanya. "Kalau ada cowok pakai skinny jeans, kaos v-neck, baju ngetat, lo curiga ga?"

Aku berpikir sejenak. Benar juga. Cowok-cowok yang memakai baju seperti itu seakan -dare I say- menunjukkan lekuk tubuhnya. Aku kembali mengangguk-angguk ke arah Jonathan.

"Selain itu juga, rata-rata cowok gay itu yang peduli sama perawatan tubuh. Mereka bisa ke salon satu atau dua kali seminggu."

Aku terbahak. "Duh, please. Gue aja ke salon cuma kalo mau potong rambut." Aku menggeleng-geleng kepala dan tertawa pelan. "Kalah dong gue sama cowok gay."

Jonathan ikut tertawa pelan. "Tapi sebenernya ngga juga, bisa aja contoh yang gue maksud itu emang cowok-cowok metropolis, suka sama kerapihan. Bukan berarti dia suka sama cowok juga."

Aku mengangguk-angguk setuju. "Gue kenal cowok, rambutnya diwarnain terus dia pake contact lens warna hijau. Padahal tampangnya jawa tulen! Menurut lo dia gay apa ngga?"

Cowok di hadapanku tertawa seakan membayangkan. "Gay dan alay kalo menurut gue."

Aku tertawa semakin geli. "Jahat, lo! Bisa aja dia ala-ala harajuku!"

"Nah makanya, kita gak bisa sembarang nge-judge. Bisa aja dia model, kan?" aku mengangguk setuju. Menutup mulutku dengan tangan, menahan tawa.

"Tapi pandangan orang tentang banci itu gay salah, loh."

"Salah kenapa?"

"Padahal yang ga banci juga ada yang gay."

Menghabiskan tawaku, aku mengangguk-angguk setuju ke arah Jonathan. Cowok itu tengah tersenyum lebar. Ku yakin senyumanku juga tidak kalah lebar.

Sadar kami malah saling tatap-menatap ala-ala sinetron picisan, aku menunduk menikmati mochi ice creamku lagi.

"Sekarang gue tanya deh, sama lo. Pendapat lo tentang lesbian gimana?"

Aku mendongak dan menatap Jonathan yang kini menatapku seakan menantang.

"Hmm, sebenernya agak sulit ya. Cewek-cewek itu deketnya ga keliatan, nyebrang jalan aja pake pegangan, mau ke toilet rombongan, apa-apa bareng, gak mau sendirian."

"Bener banget. Coba kalau cowok yang kayak gitu. Pasti langsung dikatain gay." Jonathan tertawa pelan dan melepaskan kacamatanya. "Gue pernah nyoba ke toilet bareng sama temen gue yang cowok dan langsung diteriakkin, 'wooo, mau ngapain lo ke toilet bareng? homoan ya?'"

Aku memperhatikan bibir cowok di hadapanku ini yang di monyong-monyongkan seakan memperagakan omongan orang. Lucu.

"terus?" Ku sadari senyumanku sudah berubah menjadi cengiran lebar.

"Gue bilang aja, 'Gue tuh normal! Cowok gue aja yang homo!" Like cherry on top, Jonathan menggembungkan pipinya dan manyun.

Aku tertawa terbahak-bahak. Fix ini sih, dia gila!

"Duh, seru amat."

Aku menoleh dan mendapati Kak Rahma beserta salah seorang cowok yang tadi di meja sofa itu.

Aku masih tertawa pelan. "Iya nih, temen lo gila!"

Cowok Kak Rahma ikut tertawa dan mengulurkan tangannya. "Gue Yogi, harap maklumi temen gue yang satu itu ya?"

Aku mengulurkan tanganku juga. "Lea. Yoi, santai aja."

"Balik yuk, Cil. Bokap gue udah neleponin." Ujar Kak Rahma. Aku melirik jam handphoneku. Benar saja, sudah hampir jam sebelas malam. Cepet juga.

"Okay, kuy balik." Aku menyuruput habis minumanku dan melahap potongan mochi terbesar. Ogah rugi.

"Nice to meet you, Azalea."

Aku menoleh pada asal suara. Jonathan masih menghirup dan menghembuskan batang rokoknya yang entah sudah keberapa. Sebuah seringai kecil menghiasi wajahnya.

Aku ikut menyeringai. "Nice to meet you too, Jon."

AzaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang