Chapter 2

9 2 0
                                    

"Aku adalah hidup, aku adalah mati. Ragaku masih hidup, hatiku telah mati."

******

     “Zei, hentikan itu!” seorang perempuan dengan penutup mata berteriak sambil menarik rambut perempuan yang berada di sebelahnya.

     Dari penampilannya, ia terlihat seperti anak berusia 10 tahun tapi kenyataan berkata lain. Ia adalah seorang perempuan yang telah menginjak masa pubertas, dengan kata lain ia berusia 14 tahun.

     “Apa yang kalian bertiga lakukan dibelakang?” tanya seorang perempuan yang berusia 37 tahun kepada sang gadis berpenutup mata.

     “Zei megambil pocky milikku dan mengahabiskannya ibu!” jawab sang anak sambil mengendurkan genggamannya agar rambut perempuan itu tidak tertarik lagi.

     “M-Maaf Zen, a-aku tidak ber-bermaksud menghabiskan-nya.” Isak tangis sang perempuan yang bernama Zei itu terdengar, dari suaranya yang bergetar dapat diketahui bahwa jauh di dalam lubuk hatinya ia sangat menyesal.

     “Zen maafkan saudarimu! Ia sudah meminta maaf, lagipula, kita dapat membelinya lagi di supermarket terdekat.” Sang ibu dengan tegas berusaha melerai kedua bersaudara itu.

     “Kita tidak bisa menyelesaikan sebuah masalah hanya dengan meminta maaf ibu! Bagaimana dengan seorang teroris?! Ia meminta maaf tetapi pemerintah tetap mengeksekusi sang teroris bukan?! Intinya aku tidak akan memaafkan Zei jika ia tidak bertanggung jawab!” dan dengan itu perdebatan yang terjadi diantara kedua bersaudari itu dimenangkan oleh Zen.

     “Bukan bermaksud ikut campur tapi… aku setuju dengan Zen.” ucap seorang laki-laki yang tampak sangat mirip dengan kedua perempuan itu. “Kalau begitu… kau bisa mengambil pocky milikku Zen… bagaimana? Apa kau akan… memaafkanku?” Zei tampak menyodorkan sebungkus pocky rasa coklat kepada Zen yang sedang larut dalam pikirannya sendiri sambil menatap tajam keluar jendela mobil mereka.

     “Baiklah, aku akan memaafkanmu.” Zen mengambil pocky dari tangan kembarannya itu dengan kesal sambil terus mencibirkan mulutnya.

     “Lihatlah diri kalian… berkelahi karena sebungkus pocky. Sungguh kekanak-kanakan kalian tahu.” gerutu laki-laki tadi.

     “Dan kau tidak melakukan apapun selain membaca buku membosankan itu Zico.” Zen membalas dengan nada yang lebih dingin sambil menaikkan buku yang ia baca sampai kebawah matanya.

     “Oh ya? Dan menurutmu sebuah novel thriller yang berisi tidak lebih dari fiksi atau fantasi itu lebih menarik daripada buku science yang berdasarkan ilmu pengetahuan yang terbukti ada  dan nyata?!” Laki-laki bernama Zico, kali ini membentak kembarannya, untuk pertama dan terakhir kali dalam hidupnya.

     “Setidaknya aku menjadi sedikit terinspirasi saat membacanya dan dapat menjaga diriku dengan benar!” Kedua saudara itu beradu tatap sambil terus memaki sesama mereka.

     “Tidak bisakah kalian tidak berkelahi hanya untuk satu hari saja?!” Sang ibu yang sejak tadi mendengarkan dalam diam, kali ini membentak mereka bertiga. Dengan kecepat super mereka segera akur kembali dan diam sepanjang perjalanan.

     Zen yang memenangkan semua perdebatan hanya diam menatap dengan bosan keluar jendela. Hidungnya tampak mengendus sesutau di udara saat ia mencium sesuatu yang aneh.

     “Ayah… berhati-hati-”, “AYAH AWAS!” ucapan Zen terputus saat Zei berteriak sambil menunjuk kedepan. Kedua mata Zen menangkap seseorang dengan hoodie orange dan topeng putih dengan sedikit warna merah didekat matanya.

Psycho Sis : Abominable ZenWhere stories live. Discover now