Ekspetasi

5 0 0
                                    

Cahaya bulan, angin yang berhembus kencang, menemani seorang wanita yang sedang menatap langit dari balkon kamarnya. Seutas senyum terukir di bibirnya.

Saking menikmati bintang-bintang itu, dirinya baru menyadari bahwa ibunya sedang mengetok-ngetok pintu kamarnya.

"Eira, sedang apa, nak?" Bersamaan dengan bunyi ketukan pintu.

Eira segera menutup pintu balkonnya dan berlari menuju pintu untuk membuka pintu kamarnya.

"I'm okay, Mah. Tadi aku sedang menatap langit seperti biasanya." Disertai cengiran khas darinya.

"Kebiasaanmu dari kecil tidak pernah berubah. Ha-ha-ha." Ibunya mengusap-usap kepalanya.

Meskipun dirinya sudah bekerja namun jika diperlakukan seperti anak kecil seperti saat ini, dirinya tidak pernah merasa malu. Dirinya sangat bersyukur, orang tuanya masih memberikan kasih sayang untuknya.

"Mama, hanya ingin mengingatkan, besok  jangan lupa beli pesanan Mama untuk Papi yah.."Lanjut Mommynya.

"Iya, Mama. Kapan Eira lupa kalau masalah beginian, sih?"

"Yasudah Mamah mau tidur, sudah ngantuk, nih.. Good Night, honey!"

"Good Night too, Ma!" Melihat ibunya sudah masuk ke dalam kamarnya, Eira langsung menutup pintu dan mulai berbaring di kasurnya.

****

"Ra, loe dipanggil sama Pak Erlos ke ruangannya, tuh." Eira yang sedang mengetik laporanpun menengok ke arah sumber suara.

Dahinya mengerut. "Pak Erlos? Karyawan baru?"

Temannya menepuk dahinya dengan pelan. "Udah brapa lama sih loe, kerja disini? Pak Erlos itu pengganti sementaranya Bu Ratna, bos kita."

"Sejak kapan?" Eira masih kebingungan.

"Sejak zaman Dinasti Ming!"

"Udah, deh! Kebanyakan nanya, cepet loe ke ruangan Bu Ratna, tapi loe ketemu sama Pak Erlos."

Anggina, teman Eira yang sedari tadi berbincang-bincang dengan Eira mendekati telinga Eira.

"Jangan pingsan yah kalau ngeliat Pak Erlos." Bisik Anggina sambil diikuti cekikikannya.

"Mukanya ancur yah?! Loe aja deh kalau gitu yang kesana. Nanti yang ada gue muntah lagi." Serunya sambil mendorong-dorong Anggina.

"Sebelum loe nyuruh juga gue udah mau nawarin diri keles. Udah cepet sana!"

Dengan banyak ekspetasi bermunculan di kepalanya, tentang wajah Pak Erlos yang penuh jerawat, bertubuh besar, hidung masuk ke dalam, bibir pecah-pecah, berkumis lebat, semua yang jelek-jelek bermunculan di pikirannya. Bagaikan petir yang menyambar, membuat ia ketar-ketir berjalan menuju ruangan Bu Ratna.

Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia bertatap muka langsung dengan Pak Erlos. Entah apa yang terjadi nanti, di saku rok kerjanya telah tersedia sekantong plastik. Untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi.

Dirinya berhenti sejenak di depan pintu ruangan. Ingin mengetok namun ia tak sanggup, jika ia balik lagi ke mejanya, ia akan kena marah.

Dengan nyali yang dibesar-besarkan ia, memberanikan diri untuk mengetok pintu.

"Tok tok tok"

"Silahkan masuk!" Ucap suara bariton dari dalam ruangan.

Eira mendorong pintu tersebut. Berbaliklah kursi yang terdapat sosok seorang pria dengan muka blasteran Jawa-Sumatra sambil tersenyum tipis.

Tatapannya yang tajam, dengan hidung mancung, rahang yang tegas, bahu lebar, dan berkumis tipis, berhasil membuat Eira mengerjabkan  matanya untuk beberapa kali.

Pemandangan seorang adam di depannya membuat ia berterima kasih kepada Tuhan telah menciptakan sosok tampan di hadapannya jauh diluar ekspetasinya.

"Eira Satyaningsih Latihari?" Ucap Erlos dingin.

"I-i-ya Pak. Ada apa yah, Pak?" Dengan gugup Eira menjawab.

"Bersiaplah, kamu besok akan terbang ke Korea bersama saya untuk membuka cabang perusahaan perhotelan kita."

Kata-kata yang dilontarkan oleh Erlos berhasil membuat dirinya berteriak kegirangan dalam hati. Ini sebuah kesempatan langka dimana ia akan berjalan beiringan dengan seorang Pangeran.

"Maaf,Pak. Kalau boleh saya tau. Mengapa saya, Pak? Bukannya ada Pak Ikhsan sekretaris Bu Ratna?" 
Mencoba untuk bersikap profesional.

"Pak Ikhsan sedang berada di Filipina. Dan berhubung disurat ini tertera nama kamu. Jadi kamulah yang pergi." Erlos menyodorkan sebuah surat kepadanya.

Eira mengambil surat tersebut dan membacanya sekilas.

"Kita disana selama 1 minggu. Jangan lupa bawa berkas-berkas yang dibutuhkan nanti. Ada pertanyaan?"

"Ahh, tidak, Pak. Terimakasih. Saya kembali ke meja saya dulu. Permisi, pak." Eira membungkukan badannya segan lalu mulai berjalan keluar ruang tersebut.

Perasaan ragu untuk menyetujui menghinggapinya. Faktanya, hari ini ayahnya pulang. "Ehm...Pak Erlos."

------------

"Gina!!" Eira melompat-lompat kegirangan mengekspresikan rasa gembiranya.

Anggina menghentikan aktivitas mengetiknya, "Inget umur dong,Ra. Apaan, sih? Dikasih bonus tambahan yah?" Tebaknya.

"Ini lebih dari sekedar bonus. Ini adalah kesempatan yang langka. Gila gak sih, gue minggu depan pergi ke Korea dampingin Pak Erlos!!"

"What?! Serius? Gue juga mau kalo gitu. Enak banget sih loe..Menang banyak dong lu. Udah ke Korea, kota impian gue? Trus bareng Pak Erlos lagi." Anggina memanyunkan bibirnya.

"Uuuhh cayang.. Ini kesempatan gue. Jangan iri, yah.. Nanti gue beliin oleh-oleh, deh.." Ucap Eira sedikit menyombongkan dirinya.

"Bener?! Aahh.. Love you!!"

Percakapan dua seorang sahabat ini memang membuat mereka tidak mengenal umur. Meski sudah menginjak usia 25, namun mereka masih seperti anak SMA jika disatukan.

****
Hai hai halo...

BuktiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang