***
Seperti biasa. Jalanan kota di hari minggu memang selalu padat dan ramai. Anna tidak habis pikir dengan semua orang yang dengan senang hati mengorbankan hari liburnya hanya untuk berjalan-jalan. Termasuk bundanya yang hari minggu saja masih harus masuk kerja. Mengingat bundanya, Anna kembali teringat dengan perempuan tua yang baru saja ia temui beberapa menit yang lalu.
Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang Anna rasa sudah mencapai enam puluh tahun lebih. Wanita itu yang memesan bajunya untuk di payet oleh bunda. Anna tidak menyangka, wanita setua itu masih suka dengan baju-baju anak muda. Ya anak muda. Bukan anak muda seperti Anna. Tetapi seperti Elin, bundanya.
Pikirannya membawa Anna berjalan tanpa sadar menuju deretan kafe-kafe elite. Tapi ada satu kafe yang membuatnya tertarik. Kafe kecil diantara bangunan-bangunan kafe megah di sampingnya. Kafe tersebut tepatnya berada di ujung jalan persimpangan. Kafe kecil bernuansa? Entahlah. Anna tidak dapat mendeskripsikannya. Yang jelas setiap pasang mata yang melihatnya pasti akan suka.
Kakinya terus saja melangkah menuju pintu kafe tersebut. Untuk sejenak dia melupakan bahwa kini dia tidak membawa uang lebih. Hanya uang taksi untuk pulang saja yang tersisa. Dia begitu terhipnotis dengan setiap desain kafe tersebut. Mulai dari depan. Pintu kayu dengan beberapa kaca kecil menyambutnya. Pintu kayu yang semula tertutup itu kini terbuka akibat dorongan tangan mungil Anna. Jika dari luar saja Anna sudah terhipnotis. Entah kata apa yang dapat menggambarkan perasaanya ketika kakinya mulai memasuki ruangan kafe itu. Nyaman. Mungkin itu kata paling simple tapi cukup menggambarkan perasaannya sekarang ini.
Tinggg. Dentingan pintu mambawa kembali kesadarannya. Bahwa ia telah memasuki kafe unik tersebut.
‘’Selamat siang dan selamat datang’’. Seorang pria, mungkin usianya berkisar dua puluh tahun. Pria itu tersenyum. Senyum yang cukup di sukai Anna. Senyum yang menyiratkan kesan ramah yang sebenarnya.
Masih terhipnotis dengan segala sesuatu yang kini terjadi. Anna hanya menanggapi pria tersebut dengan senyuman. Kemudian matanya tertuju ke kursi di pojok kanan yang menghadap ke jendela. Anna mendudukan dirinya di kursi tersebut. Rasanya nyaman langsung menyeruak ke dalam dirinya. Rasa lelah akibat weekend nya terenggut kini menguap sudah.
Anna menarik napas lalu membuangnya. Lalu kembali melihat-lihat setiap sudut kafe tersebut. Hingga matanya menatap satu sosok yang tadi menyambutnya di depan pintu kini berjalan menuju kursi yang dia duduki.
‘’Ada yang bisa dibantu?’’ tanyanya masih dengan senyum yang ramah.
Anna tersenyum. Bingung ingin menjawab apa. ‘’bisa aku lihat daftar menunya?’’ hanya kata itu yang terlintas dibenaknya. Menu.
Pria itu malah tersenyum. Lalu menjawab ‘’ Menunya ada di jendela’’ sambil menunjuk setiap jendela yang bertuliskan satu buah menu.
‘’jendela?’’ tanya Anna sembari melihat ke setiap jendela yang di tunjuk pria itu. Dan Anna mulai mengangguk-anggukkan kepala. Mengerti akan apa yang di sampaikan pria tersebut. Awalnya ketika kata jendela terucap dari pria itu. Anna mengira kertas menu yang di tempel di kaca. Namun dia salah. Justru menu yang ditulis sedemikian rupa menyerupai untaian kata-kata. Yang Entahlah. Intinya menu itu di tulis di setiap kaca. Dan semakin mendukung desain kafe yang benar-benar unik ini.
‘’Menunya cukup banyak. Dan aku bingung mau pesen apa. Bisa rekomendasiin makanan yang enak disini dan tentunya gak terlalu menguras dompet’’ tambah Anna di sertai senyuman.
‘’oke wait. Gak bakalan lama’’ pria itu tersenyum lalu meninggalkan Anna yang kini terduduk dan terkagum-kagum dengan setiap keunikan tempat ini.
Benar katanya. Tidak akan lama. Pria itu memegang ucapannya. Tidak lebih dari lima menit dia telah kembali ke hadapan Anna dengan satu gelas minuman berwarna oranye di bagian bawah. Lalu tertimbun warna biru. Atau lebih tepatnya seperti warna galaksi. Dan diatasnya diberi satu buah redberry. Manis. Kata yang aku pikirkan sekarang. Ya manis untuk tampilannya. Lalu apa lagi yang dia bawa? Pikir Anna bertanya-tanya. Cake. Yahh aku tidak menyukainya. Aku bukan penyuka cake. Lalu bagaiamana aku memberitahunya. Pikir Anna masih berkecamuk.
‘’silahkan. Semoga kamu menyukainya’’ ucapnya. Tapi pria itu belum juga beranjak dari hadapan Anna. Mungkin ia menyadari perubahan Anna. Dia menambahkan ‘’Apa ada yang tidak kamu sukai?’’ Fabian nama pria itu. Entah apa yang membuatnya begitu tertarik sekaligus penasaran dengan gadis ini.
‘’ohh engga. Terimakasih. Aku kan belum mencoabnya.’’ Ucapnya mencoba meyakinkan dirinya juga pria di hadapannya.
‘’baiklah. Jika ada yang perlu di bantu. Bisa panggil saya atau yang lainnya. Terimakasih’’ Fabian mengangguk. Mengerti akan apa yang di ucapkan gadis di hadapannya itu. Lalu Fabian mulai beranjak kembali ke belakang.
Anna tersenyum sembari menatap punggung Fabian yang mulai beranjak dari hadapannya itu. kemudian pandangannya beralih ke makanan dihadapannya sekarang ini. Bingung. Bingung antara harus memncoba memakannya atau membiarkannya. Dia tidak menyukai cake. Mungkin lebih tepatnya dia benci krim yang ada di setiap cake. Tapi cake yang dihadapannya kini. Benar-benar membuat dia penasaran. Dari tampilannya yang jauh berbeda dari cake-cake pada umumnya.
‘’baiklah, akan ku coba dari minuman ini dulu ‘’ gumamnya. Minuman ini, Anna benar-benar menyukainya. Minuman ini cocok dengan lidahnya. Dan terasa segar ketika melewati tenggorokannya yang kering setelah berjalan mengantarkan pakaian tadi. Dan kini giliran cake. Apa aku harus mencoba. Pikirnya bertanya-tanya. Hingga akhirnya dia mengambil sendok kecil dihadapannya. Mencoba memotong cake itu dengan hati-hati. Rasanya jika salah sedikit saja cake itu akan hancur. Cake itu mulai terbelah dan Anna bisa melihat di bagian tengah cake tersebut terdapat milk chocolate yang membeku.
Anna mulai mencoba menyuapkan satu potong kecil cake yang telah di potongnya itu. Dan apa ayang terjadi. Anna sulit mengungkapkannya. Krim yang berada di luar cake tersebut. Sama sekali tidak terasa. Justru yang paling dominan terasa adalah cokelat milk yang lumer di dalam mulutnya. Dan sepertinya kali ini lidahnya benar-benar sedang dimanjakan.***
Refaldo. Dia sedang berjalan tergesa-gesa ke luar gedung berlantai lima yang berada hampir di pusat kota. Gedung yang menjadikan mimpinya benar-benar nyata. Gedung itu merupakan gedung yang menjadi kantor pusat desain interior juga eksterior sebuah bangunan. Atau yang biasa disebut kantor konsultan desain bangunan. Baru satu bulan dia bergabung di kantor itu. Tetapi sudah banyak ilmu yang dia dapat selama dia berada dikantor tersebut.
Dering handphone miliknya berbunyi. Membuat langkahnya menjadi melambat. Kemudian dia merogoh saku celananya mengambil benda kecil yang terus berdering itu. “iya, kak’’ ucapnya setelah melihat siapa yang menelpon. ‘’sebentar lagi aku sampai. Aku baru keluar dari gedung, dan sekarang baru akan mencari angkutan umum. Dan aku akan segera sampai jika kakak tidak menggangguku dengan acara menelpon’’ tambahnya.
‘’Kakak tau kamu sibuk. Tapi cobalah luangkan waktu mu itu, satu hari saja. Setidaknya hari ini. Demi ibumu Agas’’. Agas atau Bagas, panggilan itu yang di berikan keluarganya ketika dia berada di rumah. Keluarganya lebih memilih nama belakang untuk dijadikan panggilan, dibanding nama depannya.
‘’Aku juga sudah berusaha untuk meluangkan waktu ku kak. Sudah ya kak, aku akan segera sampai.’’ Refaldo memilih mematikan telponnya secara sepihak setelah melihat bus yang dia tunggu akan segera datang.
Tidak biasanya, bus yang dia tumpangi kali ini hanya berisi beberapa orang. Mungkin karena sekarang bukan hari kerja. Jadi orang-orang memilih beristirahat di rumah dibandingkan harus berkeliaran di luar. Pikir faldo. Sekarang matanya mulai menyapu bagian kursi-kursi yang terisi beberapa orang. Dan Faldo memilih duduk di kursi sebelah depan dekat dengan ibu-ibu yang mungkin dia perkirakan usia ibu tersebut sama dengan neneknya.
Untuk sesaat dia jadi teringat neneknya. Dia pasti akan marah kalau Faldo sampai telat dia acara-acara resmi yang neneknya buat. Padahal Faldo pikir acara itu tidak harus di buat menjadi resmi. Seperti acara hari ini. Ya, acara hari ini adalah acara ulang tahun ibunya. Dia sengaja pergi ke kantor bukan untuk kerja sebenarnya. Tetapi untuk mempersiapkan kado untuk ibunya. Kado yang dia buat secara khusus untuk ibunya.
Bus yang Faldo tumpangi sekarang sampai di halte berikutnya. Faldo tidak menyadarinya dan dia masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai ketika ibu-ibu di sampingnya menepuk-nepuk pundaknya. Dia baru tersadar, kamudian menoleh ke arah sang ibu. ‘’Iya bu maaf, ibu mau turun ya?’’ tanya Faldo sembari tersenyum.
Namun ibu tersebut malah menggelengkan kepalanya ‘’Tidak rumah saya masih lewat dua halte lagi’’ katanya.
‘’ohh saya kira ibu mau turun. Lalu ada apa ibu menepuk bahu saya?’’ tanya Faldo heran. Dan dia baru menyadari bahwa bus yang ia tumpangi sudah di penuhi penumpang bahkan sudah tidak ada kursi kosong yang tersedia.
Ibu tersebut tersenyum. Kemudian matanya beralih ke seorang gadis yang sedang berdiri. ‘’kamu lihat gadis itu, kamu kan laki-laki pasti kuat berdiri. Biarkan dia duduk kasihan’’ ucap sang ibu.
Faldo mengikuti arah pandang ibu tersebut. Dan matanya menangkap satu sosok yang dia kenali. Dan dia pun tersenyum kepada sang ibu ‘’Tentu bu, saya masih kuat berdiri’’ jawab Faldo. Kemudian Faldo berdiri menghampiri gadis itu.
Gadis itu. dia merasa ada yang menepuk sebelah bahunya. Kemudian dia menengok dan menemukan Faldo yang berdiri di belakangnya sembari tersenyum ramah. ‘’...lho kak Faldo?’’ tanyanya heran. Gadis itu. dia adalah Anna.
‘’duduk sana lo’’ ucapnya sambil menunjuk kursi yang semula ia tempati dan sekarang kosong. Ibu yang duduk di sebelahnya tadi tersenyum dan melambaikan tangannya kepada Anna.
Anna masih diam berdiri menyender di tiang. Heran kenapa tiba-tiba dia bisa bertemu kak Faldo. ‘’yakin mau berdiri kaya gitu? sampe lo turun?’’ tanya Faldo.
Kemudian Anna mengalihkan pandangannya yang semula menatap sang ibu lalu menatap Faldo. ‘’ya tentu aku mau duduk. Emangnya aku patung yang kuat berdiri berabad-abad’’ ucapnya agak ketus sembari melangkah menuju kursi kosong tersebut. Kemudian tersenyum kepada sang ibu yang duduk di sana. Dia masih kesal dengan sikap Faldo yang kemarin. Membiarkannya jalan kaki sampe betisnya bengkak. Dan pegalnya, membuat dia tidak bisa tidur nyenyak.
Faldo hanya tersenyum melihat tingkah gadis itu. Faldo tahu kalau Anna masih kesal terhadapnya. Walaupun dia sudah mendapat tiket pameran impiannya itu. Tapi tetap saja, jika gadis itu sudah kesal dia termasuk orang yang tidak bisa di sogok.
Anna. Gadis itu duduk di kursi yang diduduki Faldo sebelumnya. Sesekali dia melirik Faldo yang masih setia berdiri menggantikannya di tempat tadi. Anna tersenyum. Faldo memang pengertian. Dan Anna akui dia suka sikap Faldo yang kalau sudah pengertian bakal membuat siapa saja terpesona.
Pikirannya teralihkan ketika sang ibu yang duduk di sampingnya tiba-tiba bertanya. Anna menjawab hingga terhanyut dalam obrolan ringan bersama ibu tersebut. Anna melupakan fakta bahwa Faldo sudah turun dari beberapa menit yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desain Waktu
Teen FictionAku menyukai seni. Namun aku jauh lebih menyukaimu yang bahkan tak dapat ku gambar lewat seni. Dan jikalau seni itu indah? Apakah menyukaimu akan lebih indah dari seni?