'Menunggu adalah hal paling menyebalkan. Semua tau itu. Lantas? Mengapa kamu masih menunggu?'
____________________________________________________________
Dua puluh menit sudah berlalu, dan dia masih saja duduk di bangku panjang berwarna cokelat pudar itu. Sesekali matanya melirik pergelangan tangan yang dilingkari sebuah jam tangan kecil kesayangannya. Kemudian pandangan matanya beralih pada gerbang sekolah yang masih terbuka yang bahkan tidak lebih dari satu meter, namun cukup untuk keluar masuk satu orang. Satu orang. Memikirkannya cukup membuat dirinya merasa bingung. Bingung dengan apa yang ada di kepala cantiknya itu. Mungkin seharusnya dia sudah beranjak sejak lima belas menit yang lalu, tapi entah apa yang membuat dirinya sesabar itu hanya untuk menunggu satu orang. Satu orang yang bahkan baru ia temuai satu kali.
"Satu menit lagi, ya itu sudah cukup" gumamnya. Rasanya dia mulai merasa kesal dengan detik demi detik yang terus saja berputar di dalam benda melingkar di tangannya itu. Jam tangan.
"Empat. Tiga. Dua. Sa....." dia Regianna. Terus saja menunduk memperhatikan setiap gerakan panah detik itu. Tanpa menyadari bahwa seseorang telah memperhatikannya dari jauh. Dan terus mendekat langkah demi langkah. Membawanya ke hadapan gadis mungil itu.
"Sebegitu menariknya ya itu jam tangan, sampe lo pelototin kaya gitu?"
Kaget dengan pertanyaan tersebut. Benar-benar membuatnya mendapat gerak refleks. Kepala yang sedari tadi menunduk mulai mendongak, mata itu membulat dan mulut yang semula menganga kembali tertutup. ''..tu'' . dan dia masih bisa menyelesaikan ucapannya walau terdengar seperti gumaman.
''Lo lagi ngitung apaan sih?'' orang itu kemudian beralih dari hadapan Regianna dan duduk di sebelah kirinya.
Dan Regianna, dia masih saja terpaku menatap orang itu. Orang yang dia tunggu bahkan hampir setengah jam. Bisa-bisanya bersikap tenang tanpa maaf ataupun wajah bersalahnya. Regianna tidak habis fikir dengan sikap pria yang bernama lengkap Refaldo Bagaskara itu.
''Ngitung?'' ulang Regianna. Dan Faldo hanya mengangguk disertai wajah tak berdosanya itu. Semakin membuat Regianna, atau yang biasa di panggil Anna. Bertambah level kesalnya. Tapi dia masih bisa menjaga emosinya dengan menjawab pertanyaan tersebut.
''Aku Cuma lagi ngitung aja, berapa kerugian yang aku dapat hanya untuk membeli jam terlalu rajin ini ?!'' jawab Anna sembari mengetuk-ngetukkan jari di atas jam tangannya itu. Dan Faldo. Dia malah tertawa.
''lo..., lo itu lucu banget sih.'' Dengan tawa yang mulai merada dan diganti dengan senyum manisnya. Melihat wajah kesal Anna yang menurutnya begitu menggemaskan.
''lo engga bakalan rugi kok, karena lo udah ketemu gue'' lanjutnya. Jeda sebentar. Dan Faldo menambahkan lagi ''Gue bener-bener minta maaf yaa Ann, sorry banget gue telat.'' Kali ini dengan tatapan yang cukup untuk membuat kekesalan Anna turun ke fase terendah.
"Apa yang bisa aku lakuin, toh aku sendiri yang membuat kerugiannya disini.'' Dan Anna mulai menatap ke arah Faldo '' Mau-maunya aku nunggu orang yang kemungkinan datang tepat waktunya aja gak bakalan lebih dari 30%. Kak Faldo pasti sibuk kan?'' tambahnya.
''Gue gak sesibuk itu kali. Ohh iya, gue ke sini itu mau ngasih sesuatu ke elo'' Faldo mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tasnya. Kertas. Tapi itu bukan sembarang kertas, itu adalah tiket pameran lukisan. Tiket yang dapat membuat Anna mendapat kesempatan memperlihatkan satu karyanya di pameran itu.
Lagi-lagi Anna di buat melongo oleh pria yang hanya dua kali dengan sekarang, ditemuinya itu. Demi apapun Anna benar-benar speechless. Apa yang ada di pikiran Faldo dia benar-benar tidak bisa menebaknya sedikit pun. Untuk sesaat Anna merasa kehilangan kesadarannya. Ini semua adalah cita-cita dia sejak kecil. Bisa memperlihatkan karya nya kepada semua orang. Bisa menyampaikan pesan-pesan di setiap goresan warna kepada semua orang. Menuangkan semua ide dan pikirannya hanya pada warna. Dan warna itulah yang akan berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desain Waktu
Novela JuvenilAku menyukai seni. Namun aku jauh lebih menyukaimu yang bahkan tak dapat ku gambar lewat seni. Dan jikalau seni itu indah? Apakah menyukaimu akan lebih indah dari seni?