Hujan, banyak orang yang tidak menyukai hujan. Mungkin mereka berpikir kalau hujan menganggu aktivitas mereka. Becek, basah, macet, hal-hal seperti itu tidak akan lepas dari hujan. Naamun bagiku sendiri, hujan itu menyenangkan. Wangi tanah yang bercampur dengan udara, suara tetes air yang jatuh ke tanah, semua itu sangat menyenangkan. Ketika hujan, disaat orang lain memilih untum tetap berada di dalam ruamh yang nyaman, aku akan berada diluar, menyusuri trotoar, mmembiarkan air yang berjatuhan membasahi tubuhku.
Seperti saat ini, hujan rintik-rintik sedang turun diluar, senyuman lebar tersungging di wajahku. Aku yang kala itu mengintio dari gorden yang menutup jendela langsung melangkag keluar. Langit yang tidak terlalu mendung serta air yang jatuh mengenai kulitku benar-benar memberikan eFek tersendiri untukku. Langkah kakiku menuntunku ke sebuah taman yang ada di tengah-tengah perumahan tempat aku tinggal. Disana, aku duduk di sebuah ayunan yang terletak dibawa pohon rindang dan berayun pelan.
Tiba-tiba saja, hujan yang tadinya hanya rintik-rintik menjadi deras. Seketika tubuhku menjadi basah kuyup, aku hanya terkekeh pelan tidak mempermaslahkan keadaan tubuhku saat ini. Mungkin saat nanti pulang ke rumah aku akan mendengar omelan mama untuk yang kesekian kalinya. "Lho, kok hujannya berhenti?" gumamku bingung saat tidak merasakan tetes-tetes air di kulitku. Aku mendongak dan terkejut saat mengetahui kalau ada sebuah payung yang menaungi kepalaku.
"Lo bisa sakit kalo hujan-hujan kayak gini." Bersamaan dengan itu, ada sebuah tangan yang memegang tanganku kemudian menuntun tanganku untuk menggenggam gagang payung tersebut. Selama beberapa detik aku hanya terpaku, hingga akhirnya aku menoleh kebelakang namun laki-laki itu sudah tidak ada. Dari tempatku, aku dapat melihat punggung laki-laki yang sedang berlari sambil melindungi kepalanya dengan menggunakan tangannya.
"Eh payungnya!" Teriakku seraya berdiri. Namun, punggung itu sudah menghilang di balik tikungan. Aku menghela nafas kemudian memutuskan untuk pulang ke rumah dengan payung itu menaungi kepalaku. Sampai di rumah, aku menutup payung tersebut yang ternyata berwarna biru langit. Sewarna dengan langit disiang hari yang cerah tanpa awan, sangat bertolak belakang dengan langit saat ini yang berwarna abu-abu. Aku tersenyum tipis, mungkin nanti saat hujan sudah reda atau saat langit sewarna dengan payung ini, aku akan mencari laki-laki itu,
*
Sudah hampir seminggu sejak hari itu dan aku belum juga menemukan laki-laki itu.berhubung aku hanya melihat punggungnya saja. Entah mengapa, sejak hari itu aku selalu menggunakan payung itu. Bukan, bukan saat hujan. Namu saat matahari sedang bersinar terang. Seperti saat ini, aku baru saja pulang sekolah dan sekarang pukul satu siang, matahari benar-benar terasa menyengat, terlebih lagi tidak ada satupun gumpalan awan di langit. Aku mengeluarkan payung tersebut dari tas dan membuka benda berwarna biru itu kemudian membukanya sambil tersenyum karena teringat kejadian waktu itu.
"Kok lo sekarang suka banget pake payung itu?" Aku bisa mendengar nada heran sekaligus penasaran dari sahabatku, Sele, saat dia melihat aku membuka payung itu.
"Soalnya, payung ini ada kisah tersendiri Sel." Aku menggangdeng tangan Sele dengan tangkanku yang bebas. "Sini nanti kulit lo gosong." Sepanjang perjalan menuju rumah, aku menceritakan semuanya kepada Sele.
"Terus, kalo lo udah ketemu dia, lo mau ngapain?"Sele bertanya lagi saat aku sudah selesai bercerita.
"Mau balikin payungnya lah, terus kalo bisa ajak kenalan." Ya, kalau bisa aku ingin mengenal dia lebih jauh. "Kayaknya satu perumahan sama kita deh." Sahabatku itu hanya mengangguk singkat mendengar ucapanku. "Sampai ketemu besok!" Aku melambaikan tangan saat kami sudah tiba di depan rumah Sele.
Setelah mengantar Sele, terbesit dipikiranku untuk pergi ke taman itu hanya untuk bersantai sejenak. Mungkin saja dia ada disana. Aku harap dia ada disana. Aku harap aku dapat bertemu dengannya sehingga aku dapat mengebalikan payung ini.
Saat sudah dekat, aku berhenti sejenak; menarik nafas dalam-dalam. Memantapkan diri jika nanti aku tidak menemukan sosoknya disana. Sambil menggenggam gagang payung erat-erat, aku kembali berjalan. Dan disanalah dia. Aku terpaku saat melihat punggung itu lagi, sedang duduk ditempat yang sama denganku waktu itu. Sekali lagi, aku menghela nafas kemudian memayungi laki-laki itu. "Kamu mau kulit kamu kebakar matahari ya?" tanyaku.
Laki-laki itu menoleh ke belakang, lalu tersenyum kepadaku yang terpaku. "I found you." Ucapku akhirnya saat tersadar sembari tersenyum.
*
"Rai, kamu kenapa sih, panas-panasan gitu? Nanti kulit kamu gosong gimana?" tanyaku pada laki-laki yang berjalan beberapa langkah di depanku.
"Tetep ganteng ini kan?" laki-laki bertubuh kurus yang masih menggunakan baju basket berwarna bitu tua itu, menoleh sekilas.
"Jangan terlalu percaya diri Rai." Balasku sambil berlari kecil agar langkah kami sejajar, dengan tanganku menggenggam gagang payung milik Rai. Kan ngga sehat kena sinar matahari jam segini.
Rai melirikku, "hujan-hujanan memangnya sehat?" Aku merengut saat laki-laki itu menyindirku.
"Hujan kan ngga setiap hari, kalua panas kan setiap hari." Sangkalku.
"Hm, terserah." Aku terkekh mendengar ucapan Rai. Sudah lebih dari dua bulan sejak aku menemukan Rai di taman saat itu. Semenjak itu, aku dan Rai sering menghabiskan waktu bersama.
Tiba-tiba payung itu terlepas dari genggamanku. "Pendek." Ledek Rai yang sekarang memegang benda berwarna biru itu sehingga tingginya cukup untuk kami berdua.
"Kamunya yang ketinggian." Balasku. Memang, tinggiku hanya sebatas bahu laki-laki itu. Jadi, kalian bisa membayangkan sendiri kan?
YOU ARE READING
The Blue Umbrella
Romance[Short-Story] --- Cerita tentang bagaimana kami bertemu. Diantara tetes-tetes air hujan, dengan payung berwarna biru sebagai pengantara.