Wait For You

779 72 65
                                    

Awal yang sangat bahagia untukku, begitu bahagia hingga aku melupakan segalanya. Melupakan bagaimana kesedihan yang selama ini aku rasakan. Mengabaikan betapa lelahnya tubuh dan pikiranku selama ini.

Ketika kau datang dan mengulurkan tanganmu untuk menolongku dari keterpurukan yang selama ini ku alami, aku terima dengan senang hati. Tanganku menengadah seolah meminta sesuap nasi padanya. Namun aku sama sekali tak berkecil hati karena orang seperti dirinyalah yang telah menolongku. Membangkitkanku dari segala keterpurukan yang sekian lama membelengguku begitu hebatnya.

Di datang dengan senyuman teduhnya dan tangan mungilnya yang terulur begitu saja tanpa tahu siapa diriku. Ia adalah malaikat untukku. Ia begitu ku kagumi. Orang pertama yang mau dengan senang hati menjadi tempat bersandar seorang Oh Sehun.

Kini sudah enam bulan aku dekat dengannya. Entah mengapa, ia begitu mudah untuk bergaul denganku, seakan tak ada rasa takut saat menatap tepat di mataku. Jika orang lain, mungkin mereka sudah lari terbirit-birit kala menatapku. Ku akui, tatapanku memang begitu menusuk dan dingin, namun aku tak pernah bermaksud untuk memberi tatapan seperti itu. Itu alami ku dapatkan. Itu kumiliki sejak aku dilahirkan.

Selain tatapanku, aku yang seorang anak pengusaha yang begitu tersohor seantero negeri ini pun ditakuti oleh semua orang. Awalnya diriku memang begitu menyombongkan kekuasaan yang dimiliki oleh ayahku, namun seiring waktu yang berlalu, aku menyadari suatu hal. Kekuasaan dan kekayaan bukanlah segalanya. Kekayaan tak selamanya membuatmu bahagia.

.

.

.

.

.

Sebelum bertemu dengannya, aku sama sekali tak merasakan kebahagiaan. Kedua orang tuaku begitu menyibukkan diri dengan urusan mereka masing-masing hingga aku pun seperti anak terlantar yang tak memiliki seorang untuk mendukungku. Mereka begitu sibuk dengan urusan mereka, bahkan sejak aku berumur 5 tahun, aku sudah ditinggalkan oleh mereka berdua sendirian di rumah yang begitu besar tanpa ada seoangpun yang mendampingiku.

Lambat laun aku pun berpikir, mungkin aku harus menemukan kebahagiaan sendiri dengan cara bersenang-senang dengan caraku sendiri. Banyak hal yang aku lakukan. Mulai dari hal yang positif hingga berakhir negatif.

Awalnya aku begitu menyukai basket. Aku berlatih basket dengan giatnya tanpa sepengetahuan mereka. Aku masuk club basket tanpa mereka tahu. Aku mengikuti berbagai kompetisi dengan timku dan memenangkannya hingga aku masuk ke liga nasional. Bangga tentu saja, dan aku pun memikirkan jika saat itu adalah waktu yang tepat untuk mengatakan kepada ayah dan ibuku, aku mengatakan semuanya. Mengatakan bagaiamana perjuanganku dan hasilnya begitu mengejutkanku.

"Kau bermain basket? Benar-benar tak berguna!" Tanggapan ayahku benar-benar membuatku terkejut. Bukan terkejut bahagia, tapi terkejut dalam artian lain yang begitu menyakitkan.

"Apa yang akan kau dapat dengan bermain basket? Apa kau bisa hidup dengan memakan semua medalimu itu?" Sama dengan ayahku, ibuku pun sama. Bahkan perkataan yang terlontar dengan bebasnya begitu menohok diriku. Menghancurkan kekuatanku untuk melanjutkannya.

"Itu hanya kekuatan regu, lelah yang kau rasakan tak sebanding dengan piala yang kau bagi. Apa lelahmu bisa kau bagi?" Aku hanya bisa bungkam. Mereka menganggap menjadi atlit takkan mampu membuatku bertahan hidup.

"Banyak atlit yang kelaparan di luar sana. Berhenti dari basket sekarang juga!" Keputusan final yang mereka lontarkan. Begitu egois pikirku. Tapi tetap ku jalani. Aku pun keluar dari tim dan dari club basket dengan berat hati.

Aku pun berpikir untuk mencoba yang lain. Aku mencoba kejuaraan sains. Aku memilihnya karena aku berpikir jika hal itu bukanlah kompetisi yang dilakukan berkelompok. Aku berjalan dan perpijak sendiri.

Wait For You (Oneshoot) | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang