DI TAMAN kota, pada suatu sore yang jingga, Narno melihat bocah laki-laki berjalan dengan memakai tongkat hendak menghampirinya. Sembari membungkuk dan terbatuk-batuk, bocah itu lalu berujar, "Di mana aku bisa membeli permen kapas yang tangkainya dapat ditukar dengan satu lolipop?"
"Tidak tahu," jawab Narno sekenanya sebelum bocah itu pergi tanpa dicegah.
Esok harinya, Narno bertemu bocah itu lagi. Masih dengan tongkat, suara batuk yang dibuat-buat dan punggung bungkuk yang dipaksakan. Namun, kali ini, sembari menjulurkan lidahnya yang merah jambu, bocah itu memamerkan tangkai permen kapasnya yang sudah telanjang.
"Aku sudah berhasil menemukan permen kapas yang tangkainya dapat ditukar dengan lolipop!"
Narno sekadar mengangkat sebelah alisnya. Tanpa berniat menanggapi, Narno bertanya hal lain, "Mengapa kau bersikap seolah kau adalah tua renta sedang bicaramu masih bocah dua belas tahun?"
"Kata ibuku, sungguh awal yang baik jika anak seumuranku sudah bisa bersikap seperti orang dewasa. Kakekku sudah tua renta, ia berjalan bungkuk seperti ini." Tampak bocah itu mempraktikkan pada Narno cara kakeknya berjalan, sama seperti yang setiap hari ia lakukan. "Dan ibuku selalu baik padanya. Tidak ada hukuman saat kakek terlambat mandi atau lupa gosok gigi. Jadi, kupikir, semua orang dewasa hanya menyukai tingkah laku orang dewasa."
Narno terdiam sebentar. Sambil berpikir, dua tangannya memberi gestur pada bocah itu untuk duduk di pangkuannya. Tak disangka, bocah itu menurut.
"Kurasa, ibumu memang benar," kata Narno diikuti mata berbinar milik sang bocah. "Tapi, mengapa harus kakekmu? Mengapa tidak kakak laki-lakimu atau mungkin ayahmu?"
"Kata Ibu, kakak laki-lakiku meninggal saat dilahirkan, sedangkan ayahku ... dia hanya pria yang selalu membuat Ibu menangis karena gincu merah di kemeja kantornya atau panggilan masuk dari kontak bernama aneh di ponselnya." Bocah itu berucap dengan mata berkaca-kaca.
"Aku akan kembali," kata bocah itu setelah beralasan ingin buang air kecil. Yang tampak kemudian, ia berlarian kecil mencari-cari toilet umum.
Narno mengerutkan keningnya. Bocah itu melupakan sandiwaranya. Melupakan tongkatnya. Melupakan tenggorokannya yang sebenarnya tak pernah begitu gatal.
"Aku kembali." Bocah itu muncul tiga puluh menit kemudian, dengan wajah dan ujung-ujung rambutnya yang basah.
Tak mau berbasa-basi, Narno kembali mendudukkan bocah itu di pangkuannya. "Mengapa kau berpikir 'menjadi' kakekmu adalah pilihan terbaik?"
Si bocah mengedikkan bahu. "Entahlah, kupikir, mungkin semakin aku 'menjadi' sangat dewasa hingga tua seperti kakek, Ibu akan semakin menyukaiku."
"Hei, nak--" mulai Narno dengan terputus ketika ingat bahwa ia belum menanyai nama bocah itu. "Siapa namamu?"
Sambil menggeser posisi duduknya di pangkuan Narno, bocah itu merebahkan tangkai permen kapasnya di sebelah Narno duduk. "Jo, Jo saja."
"Nah, Jo, begini," Narno menjeda, "taruhlah aku adalah seorang polisi berpistol." Narno mengambil tangan kanan Jo, melipat kelingking dan jari manisnya, dan meluruskan ibu jari Jo ke atas, sedangkan telunjuk dan jari tengahnya ia sejajarkan ke depan seperti moncong pistol.
"Ingat kata-kataku," Narno berdeham. "Aku hanya akan sungguhan menjadi seorang polisi jika pistol ini berguna dengan baik. Mengerti?" Jo tampak mengangguk.
"Anggap ini adalah ibumu." Narno melipat moncong pistol di tangan Jo. Menyisakan ibu jari yang mengarah ke atas. "Di matamu, dengan atau pun tanpa kau dan ayahmu, ia sanggup berdiri sendiri. Ibumu wanita kuat yang dapat menyenangkan orang-orang dengan kehadirannya," jelasnya mengalanogikan ibu jari Jo.
Jo tampak setengah setuju. Bahwa seberapa pun benarnya bicara Narno tentang ibunya, tetap saja ada yang mengusik pikirannya. "Hm...." Jo mengerutkan dahinya. "Sepertinya, ibuku tak segemuk itu."
"Lupakan soal bentuknya, Jo." Narno berdecak. Jo butuh waktu berpikir sebentar hingga akhirnya setuju untuk menganggap ibu jarinya tak segempal itu.
"Ah, dan kemudian, si kurus ini adalah kau." Narno melipat ibu jari Jo, beralih pada telunjuk. "Tanpa ayah dan ibumu, kau hanya bocah kesepian yang suka menunjuk benda-benda unik di toko mainan, bukan?" Jo terdiam, agak tidak terima, namun tetap mengangguk.
Narno beralih pada jari tengah Jo dan melipat jari lainnya. Namun, tiba-tiba Jo menarik tangannya dari genggaman Narno. "Paman, kata Ibu, aku tak boleh menyodorkan jari tengahku pada orang lain."
"Anak pintar." Narno tak kuasa untuk tidak tersenyum. "Tapi Jo, jari tengah itu, begitulah ayahmu. Bagimu, dia adalah pria yang kehadirannya tak disukai ibumu, bukan?"
Jo kembali mengangguk kali ini. "Perangainya buruk, aku tak mau menjadi seperti ayahku."
"Kembali pada kata-kataku tadi, aku hanya akan sungguhan menjadi seorang polisi jika pistol ini berguna dengan baik. Pistol ini adalah keluargamu." Narno kembali membuat ketiga jari Jo pada posisinya semula.
"Kalian bertiga harus selalu berdampingan seperti ini untuk menjadi keluarga yang utuh. Untuk membuat keluarga kalian harmonis, kau tak perlu menjadi orang lain. Kau hanya perlu berada di posisi seharusnya: berdirilah di sisi ayahmu, temani, dan jangan biarkan ia sendirian. Sedangkan ibumu, biarkan ia mengawasi kalian dari belakang. Dia selalu ibumu. Dia selalu istri ayahmu."
Jo memandangi Narno lama tanpa berkedip sama sekali. "Terima kasih." Mata bocah itu tampak berair lagi. "Kau orang paling bijaksana yang pernah kutemui." Begitu kata Jo berulang-ulang pada Narno sampai tiba waktu bocah itu kembali ke rumah.
Satu yang berubah: bocah itu pulang dengan punggung anak-anaknya. Tidak hanya hari ini. Mungkin, besok dan seterusnya, punggung itulah yang menemaninya berkeliling taman.
Sedang setelah bocah itu pergi dari pelupuk mata Narno, pria itu menyeringai lebar. Dirogohnya saku celananya sembari terkikik sendirian.
Tidak tidak, dia tidak sendirian rupanya.
Di genggaman tangannya, dari balik jempol dan jemarinya yang besar-besar, tangkai permen kapas milik bocah itu ikut tertawa.
"Persetan dengan bocah itu! Aku hanya mau lolipopnya."
Ah, Narno, benar juga.
Lagipula, tidak ada orang dewasa yang benar-benar bijaksana, bukan?
Tue, 16:33
10/10/17
KAMU SEDANG MEMBACA
Bocah Renta
Short Storysatu yang berubah: bocah itu pulang dengan punggung anak-anaknya.