Surat untuk Mas Angga

152 6 1
                                    

Halo Mas, apa kabar?

Ah, harusnya saya tidak perlu bertanya 'apa kabar'. Saya tahu Mas pasti baik-baik saja.

Mas Angga, siang ini saya teringat suasana pulang sekolah hari itu. Semangkuk kacang hijau dan ketan hitam di warung tenda depan sekolah mengawali perkenalan kita. Siang itu Tante Anne menawarkan saya untuk ikut makan. Kita duduk bersebelahan dan mulai tertawa karena hal yang tidak lazim—tidak ada anak lain yang menganggapnya lucu seperti kita.

Mas Angga, pertemanan kita dibangun dari begitu banyak perbedaan; Mas berkulit putih pucat sementara saya segelap sawo matang. Mas bermata sipit sedangkan mata saya terbelalak kelelahan karena banyaknya waktu yang saya habiskan di jalanan. Tubuh Mas berisi dan gempal, sementara saya kurus. Cukup satu saja kesamaan yang membuat kita demikian akrab dalam waktu singkat: kita tidak punya teman.

Mas Angga, bel pulang sekolah selalu jadi suara yang saya nantikan, karena itu berarti saya bisa bertemu dengan Mas Angga lagi di warung depan sekolah. Kita sama-sama menikmati Awan Putih yang berarak di atas kepala kita, "itu namanya kumulonimbus..." Mas menjelaskan sebelum Tante Anne kembali menyuruh kita berteduh dari teriknya matahari. Saya masih ingat senyum di mata Mas Angga waktu kita terpingkal memperagakan "El Kabong! El Kazing!", dan itu menjadi sandi yang hanya kita yang bisa mengerti.

"Mas Angga, kenapa tidak ikut main bola?" tanyaku dengan lugu sambil melahap sesendok ketan hitam. Saya ingat Mas Angga hanya diam, dan Tante Anne membuang muka berusaha menyembunyikan air mata yang dengan pelan mulai deras menyapu pipinya.

Mas Angga, siang itu sepulang sekolah saya keluar kelas dengan penuh semangat menuju warung ketan hitam sambil berteriak "El Kabong! El Kazing!" sepanjang koridor, berharap Mas Angga bisa mendengar dari dalam kelas, tapi tidak ada balasan. Hanya di depan sekolah, saya melihat Tante Anne memapah Mas Angga masuk ke dalam mobil dengan pelan. Mas Angga hanya berbalik dan memberi senyum pucat yang singkat, sebelum mobil akhirnya berjalan pergi.

Itu mungkin kali terakhir saya bertemu dengan Mas.

Sampai suatu hari ketika saya sudah SMP, Mama menerima kabar duka. Lubang yang ada sejak lahir di jantung Mas Angga sudah tidak lagi berbelaskasihan.

Mas Angga, banyak yang berubah di dunia ini semenjak Mas Angga pergi. kami punya Facebook, itu semacam mading milik pribadi, yang ditaruh di internet. Ah internet, merubah banyak hal. Seandainya hari itu internet sudah semarak sekarang, puluhan selfie akan tersimpan dan saya masih bisa melihat dan mengingat kembali wajah Mas Angga—bukan dengan kenangan kabur yang tersisa seperti yang saya gunakan sekarang.

Mas Angga, memang banyak hal yang berubah—kecuali satu: membangun pertemanan belum menjadi suatu hal yang mudah untuk saya. Dan menemukan seorang teman seperti Mas Angga adalah hal yang makin sulit dilakukan hari-hari ini.

Perlu waktu lebih dari sepuluh tahun untuk saya sadar kenapa saya senang melihat ke awan; mungkin di antara salah satu awan itu, Mas Angga sedang tersenyum kembali kepada saya, sambil membisikkan 'El Kabong...' dan berharap saya membalas 'El Kazing..'.

Saya tidak bisa menulis lebih banyak lagi. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih telah sudi menjadi teman saya, walaupun hanya untuk waktu yang singkat.

Sampai bertemu di awan-awan, Mas Angga—berlarian kesana-kemari dan tertawa, tanpa harus berteduh dari matahari lagi.



dari adik kelasmu,

Jerry "El-Kazing"

Surat Untuk Mas AnggaWhere stories live. Discover now