1

103 6 3
                                    


Sinar oranye menerpa pengelihatanku dari sudut kamar. Jendela terbuka dengan lebar, memaksakan angin luar untuk menyelinap masuk ke dalam kamar. Dingin, semilir angin menerpa rambut panjangku membiarkannya melayang beberapa helai lalu jatuh kembali ketika pergi. Pemandangan ini sungguh indah. Rasanya ingin sekali dapat mengulas senyum yang benar-benar tulus dari bibir kecil ini. Namun, sulit. Aku tak mampu melakukannya.

Ada sebuah benda tajam terpegang erat dalam genggaman. Jika kalian berfikir yang tidak-tidak. Tolong, ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Tunggu, sepertinya pikiran kalian benar. Ah, tidak-tidak aku tidak benar-benar berniat melakukannya. Sungguh, jika kalian sering menonton sinetron kalian akan tahu motifnya. Tapi, ini bukanlah sebuah sinetron. Ini kisahku, kehidupanku yang sudah sering aku nodai.

Jam weker pemberian Ibu masih ada di atas laci. Berdetak hingga terdengar di telinga. Sudah sejam aku masih duduk terpaku menatap jendela, menatap hiruk-pikuk yang terjadi di luar sana. Jika kalian menduga aku ragu melakukannya, itu tidak benar. Aku hanya sedang menunggu saat yang tepat. Mendramatisir semuanya hingga terjadi secara alami.

Kalian mungkin saja bertanya-tanya apa yang akan aku lakukan. Tunggu saja, aku sedang bersiap-siap menantikan sebuah tapak kaki yang berkelotak dilantai. Tetesan cairan merah sudah membasahi rok putih tulang yang aku kenakan. Bau anyir jelas meruah dipenciuman. Cairan ini baru saja menetes dari pelipis mulusku, satu menit yang lalu.

Tak, tok, tak, tok. Bunyi itu bergema hingga kamar. Aku sudah tahu siapa yang akan datang. Aku bersiap-siap, menghitung mundur. Tiga, dua, satu dan aku mengedipkan sebelah mata kiriku.

Prang!! Cermin besar di sudut kamar dekat dengan jendela pecah begitu saja. Meninggalkan potongan wajahku yang telah terbelah-belah. Aku memegang erat benda tajam ini dalam genggaman. Bunyi tapak kaki itu terdengar cepat hingga akhirnya berhenti di depan kamar. Pintu terdengar diketuk ah bukan, tetapi sudah digedor-gedor.

"Siska!! Apa yang terjadi? Buka pintunya! Sayang, tolong buka". Terdengar suara wanita panik dari sebrang sana. Seringai kembali terlukis dari wajahku.

Aku menggoreskan benda tajam itu di lengan. Mati? Tidak. Tidak akan. Percayalah aku akan terbangun kembali dalam waktu yang singkat. Tidak, aku bukanlah seorang yang kebal atau punya kekuatan supranatural.

Klik. Tiba-tiba pintu terbuka dan aku sudah terkulai lemas dengan cairan merah yang aku suka mengucur deras.

"Siskaaaaa!! Apa yang terjadi, nak? Hei, bangun. Bangun!" Suara itu semakin samar, tapi masih bisa aku dengar. Wanita itu berulang kali memanggil namaku. Tak lama aku merasa tubuhku melayang dengan tidak nyamannya karena dibawa dalam keadaan sedikit tergesa-gesa sambil berlari. Aku mengantuk, ingin tidur dan setelah itu, aku tidak tahu apa yang terjadi.

***

Cahaya lampu menyilaukan pengelihatan. Aku mengerjap-ngerjap menyesuaikan diri. Aroma ini sangat aku kenali. Aku tahu ini dimana. Aroma yang paling aku sukai daripada parfum termahal sekalipun.

Wajah Bunda dan Ayah tiriku yang pertama kali aku lihat. Air matanya menetes di pipiku. Sudah berapa jam aku tidur? Entahlah.

"Siska? Hei, kamu akhirnya bangun, nak". Kata Bunda lirih.

Tunggu. Akhirnya? Maksudnya apa? Aku hanya tidur beberapa jam saja, bukan? Aku melirik jam di hadapanku, pukul 10.00 malam. Aku hanya tertidur 4 jam. Tapi, tubuhku mengapa jadi kaku begini? Sulit digerakkan.

"Siska, kamu dengar suara Bunda?" Kata Bunda sambil tersenyum penuh bahagia. Ayah hanya bisa merangkul Bunda sambil melihatku penuh rasa rindu.

"Iya, Bun". Suaraku serak, aku butuh minum rasanya haus sekali.

"Alhamdulillah. Kamu sudah dua bulan tak sadarkan diri. Bunda khawatir sekali, nak".

Dua bulan? Aku tidak salah dengar? Aku mengira hanya beberapa jam saja, tak ku sangka akan selama ini. Aku menangis di depan Bunda. Memeluknya dengan erat tanpa ekspresi bahagia karena masih diberi kesempatan hidup.

***

Bunda mendorong kursi roda yang aku duduki ini ke taman. Katanya aku butuh udara segar. Ya, sepertinya benar. Sudah hampir seminggu aku di dalam kamar. Banyak sekali makanan dan buket bunga ada di kamar. Rasanya jadi penat. Berbagai jenis teman sudah datang mengunjungiku. Aku tahu mana yang benar-benar datang karena peduli, dan datang untuk sekedar mencuri perhatianku. Namun, aku tak peduli dengan kedua tipe temanku itu.

"Sayang, tunggu di sini sebentar gak apa, kan? Bunda mau beli susu kesukaan kamu dulu di kantin. Kamu jangan kemana-mana, ya".

Aku hanya bisa mengangguk, mengiyakan. Bunda perlahan pergi menuju kantin. Aku memperhatikannya hingga tak terlihat dari ekor mataku. Aku termenung, menatap langit yang kelabu. Sepertinya akan segera turun hujan.

Tiba-tiba benar saja, tanpa ada gerimis yang sekedar menyapa tangan, hujan begitu deras membasahi rambut, wajah hingga bajuku. Aku harus segera pergi. Aku mencoba mendorong roda ini dengan telapak tangan, sulit. Sepertinya Bunda mengunci rodanya agar aku tidak kemana-mana. Aku kesal, dengan gegabah aku mengguncang-guncang kursi ini hingga akhirnya aku terjatuh. Infusan di tanganku hampir copot. Cairan merah mulai keluar merembas bersama air hujan. Aku kesal, hanya bisa marah-marah ditempat. Memukul beberapa kali kakiku yang masih terasa lemas seperti orang terkena suatu penyakit serius.

Aku berusaha untuk berdiri, namun gagal. Beberapa kali seperti itu. Tak ada siapa-siapa disekitar sini, aku tidak bisa mencuri perhatian siapapun. Hingga tanpa sadar ada yang memayungiku, orang tersebut bergumam "Dasar Bodoh" sambil membantuku menaiki kursi roda kembali.

Aku menengadah, pria gondrong dengan rambutnya yang ikal ingin sekali rasanya menjambak rambutnya yang urakan itu, kumis tebalnya sangat membuatku merasa gatal, matanya yang besar itu menatapku dibalik kacamatanya dengan tatapan aneh, terlihat lebih menyeramkan daripada kilat yang menyambar. Mangsa, pikirku. Aku pura-pura menangis sesegukan. Pria itu hanya diam tak merespon apapun atau sekedar bertanya bagaimana keadaanku, padahal infusanku sudah tak jelas bentuknya karena sedari tadi tanganku tak bisa diam. Orang biasa pasti akan panik dan heboh bertanya bagaimana keadaanku, tapi dia tidak. Aneh.

Samar-samar aku dengar suara memanggil namaku. Benar saja, itu Bunda sedang berlari dengan payung yang ia pegang, sepertinya lupa dibuka. Pria itu mengikuti kemana ekor mataku melihat. Ia tersenyum, beda sekali kesannya ketika melihatku.

"Siska? Kamu tidak apa-apa kan? Pria ini mengganggumu? Bilang saja, nanti akan Bunda tarik rambutnya yang tebal itu!" tanya Bunda khawatir sambil mencak-mencak di tempat. Bunda pun membuka payung yang ia bawa untuk memayungiku menggantikan pria aneh yang masih berdiri disamping Bunda. Pria itu memasang wajah masam.

"Dia sepertinya baik kok, Bun. Walaupun wajahnya seram seperti ingin menerkam hewan buas." Aku meledeknya sambil menghapus sisa air mata yang bercampur air hujan di pipiku. Ketika mendengar kalimat akhir terujar di bibirku. Pria itu memandangku dengan mata tajam. Kemudian sedikit melirik Bunda dan kembali tersenyum.

"Syukurlah. Terima kasih ya telah memayungi anak saya," Kata Bunda tulus.

Pria itu hanya tersenyum, terlihat lebih tulus daripada sebelumnya. Aku heran mengapa dia begitu seram saat memandangku, tapi begitu lembut memandang Bunda?

"Oh, ya namamu siapa? Mari mampir ke kamar Siska. Kami punya banyak makanan yang sepertinya tidak bisa dihabiskan semuanya. Maklum teman Siska banyak sekali yang menjenguk dengan membawa makanan." Bunda mulai menyerocos panjang lebar. Apakah Bunda tidak sadar, ini hujan dan aku sudah dalam keadaan basah?

Pria itu menjawab pertanyaan Bunda ketika petir sedang menggelegar dengan kerasnya "Saa.."

Kami tersentak, Bunda reflek mendorong kursi rodaku menuju ke kamar meninggalkan pria aneh yang masih tak bergeming dari tempatnya. Aku menoleh, memperhatikannya memandang Bunda. Eh, tunggu. Sepertinya dia memandangku bukan Bunda. Tatapannya berbeda, terlihat nanar. Pria yang menarik, aku rasa kalau tidak dalam keadaan seperti ini, aku akan mencari tahu di mana kelemahannya.

***

Just BecauseWhere stories live. Discover now