2

79 2 0
                                    



Aku berjalan di tengah keheningan malam, menghempas segala penat di dalam raga. Langkah demi langkah tak terasa membawa ke sebuah tempat yang asing. Ekor mataku memperhatikan sekitar, kulihat beberapa orang sedang duduk bersandar di tepi jalan. Mereka menatap sinis, entah apa yang dipikirkan, tetapi tatapan itu cukup mengisyaratkan isi hatinya. 

Aku coba menghiraukannya, tak peduli dengan persepsi mereka. Aku hanya ingin mengikuti kemana langkah kaki ini membawa. Semakin terasa jauh aku meninggalkan gerombolan itu, semakin aku mendengar suara  langkah sepatu yang ditimbulkan . Sepertinya mereka mengikuti.

"Hei!" Salah satu dari mereka menepuk pundak kiriku, lalu mencengkramnya erat. Aku tepis cengkraman itu karena merasa risih dengan perlakuannya. Aku menoleh ke arah lelaki yang menyentuh pundakku, tatapanku tanpa sengaja beradu dengannya. Kulihat di sana, di kedalaman mata itu, terlihat penuh dengan kebencian dan dendam. Entah mengapa aku tidak begitu suka menatapnya terlalu lama, mungkin karena aku suka wanita, bukan lelaki ini.

Aku melangkahkan kakiku kembali, menghiraukan keberadaan mereka yang mulai memancing emosi. 

BUKKKK!!! 

Sebuah batu mendarat dengan bebasnya mengenai punggungku. Aku terhuyung berusaha mempertahankan keseimbangan tubuh. Aku mendengar suara tawa puas diiringi cacian yang sungguh tidak sopan.

Aku mulai kehilangan kesabaran, diri ini mulai kalap. Otot-otot tubuhku menegang dan urat-urat di kepala terasa mulai kaku, nafasku terengah-engah, mataku tajam menatap mereka satu persatu di bawah cahaya lampu yang temaram. Tanganku mengepal dengan begitu kencangnya. 

Langkah kakiku memperpendek jarak dengan mereka, aku mulai kesal dengan tampang-tampang mereka yang seakan menantang dan menganggap diriku remeh. Jarakku hanya tinggal beberapa langkah lagi dari mereka, langkahku makin dekat.... makin dekat.... dan.... aku hanya berlalu saja dari hadapan mereka, sekuat tenaga kutahan rasa emosi yang menyeruak dengan cepat.

Di tempat dengan cahaya penerangan yang kurang, aku melihat beberapa motor mereka yang terparkir, tanpa ragu aku menghampiri dan menendang motor  yang terparkir paling ujung dan dalam hitungan detik motor mereka berjatuhan layaknya domino yang dijatuhkan. Tak peduli dengan dua orang yang sedang mengobrol di atas motornya.

Brukkk... brukkk... brukkk.

"Woyyy berengsek." Mereka berteriak kesal dengan perlakuanku tersebut, dua orang yang sebelumnya sedang mengobrol mengerang kesakitan karena tertindih motor yang berjatuhan.

Tanpa basa-basi lagi aku menerjang mereka dengan satu hentakan, kemudian, melompat ke arah seseorang yang mencengkeram pundakku tadi. Tanganku yang sejak tadi sudah mengepal mulai melayangkan tinju ke arah wajahnya dan tampaknya tepat mengenai tulang hidungnya. ]

Crattt!!! Cairan merah nan hangat membasahi kepalan tanganku, dan tercecer di aspal jalan. Dia sepertinya ingin berkata sesuatu, namun tak terdengar olehku. Satu... dua.... tiga.... tinjuku melayang bertubi-tubi ke arahnya. Salah satu tangannya digunakan untuk melindungi wajahnya, namun tetap percuma karena tinjuku selalu berhasil mengenainya telak.  Mereka salah telah menantang seorang profesional sepertiku.

Bukkk... sebuah pukulan benda tumpul telak mengenai tengkukku, ternyata salah satu temannya memukulku dengan sebuah balok kayu lalu mendorongku dengan keras hingga aku tersungkur di aspal jalan. Aku merasakan sakit di bagian belakang leher. Mereka memukulkan kembali balok kayu tersebut pada punggungku. Aku kembali tersungkur dengan pandangan mulai mengabur. 

Aku mencoba untuk kembali berdiri, namun dengan cepat mereka menyerangku dengan sebuah tendangan tepat mengenai ulu hati, membuatku mengerang dan menahan sakit. Mereka salah menantangku, namun ternyata akulah yang lebih salah karena menantang diriku sendiri dengan tangan kosong melawan mereka yang lebih dari lima orang dengan senjata ditangan masing-masing.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 21, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Just BecauseWhere stories live. Discover now