[Jessamine Aubrey]
Sejak aku menaiki mobilku, aku merasa diikuti oleh seseorang. Ternyata benar saja, sebuah mobil ford hitam mengikuti mobilku hingga depan rumah. Aku memutuskan untuk turun dan mencari tau siapa yang mengikutiku. Sayangnya, kaca mobil itu terlalu gelap. Aku tak bisa melihat siapa orang di dalamnya.
“Buka kaca mobilmu, kau siapa? Kenapa kau mengikutiku?,” tanyaku sedikit kesal sambil mengetuk kaca mobil itu. Beberapa saat kemudian orang yang berada di dalamnya membuka kaca mobil. “Astaga, ada apa Lottie?,” tanyaku sambil memutarkan bola mataku. Ia hanya menyengir, menunjukkan deretan giginya yang rapi. “Maaf, aku hanya ingin mengunjungi rumahmu. Aku ingin berteman denganmu lebih dekat,” jelas Lottie. “Aku tidak suka diikuti. Kau bisa bilang padaku sebelumnya,” aku meninggikan nadaku. “Turunlah, ayo masuk,” ajakku. Lottie hanya diam dan mengikutiku.
Seperti biasanya, empat orang penjaga pintu yang membosankan membuka pintu utama rumahku. Salah satu dari mereka, kepala pengurus rumah kami menyapaku. “Selamat sore, Miss Jessamine. Miss Amber sudah menunggu anda di ruang keluarga.”
“Baiklah alex, terima kasih,” jawabku sambil tesenyum. Aku mengisyaratkan Lottie untuk tetap mengikutiku. Seorang penjaga pintu membukakan pintu ruang keluarga. Aku dapat melihat ibuku sedang minum teh sambil bersantai. Ia memang selalu begitu setelah pekerjaannya selesai. Ia tersenyum padaku dan Lottie.
“Ibu, ini Lottie, teman baruku. Maaf aku belum memberi tau tentang kedatangannya,” kataku sambil berjalan menghampirinya. Ia mencium keningku. “Tidak apa-apa sayang. Aku senang dapat bertemu teman pertamamu. Manis ya dia?,” ibuku tersenyum ramah. “Halo, Miss. Namaku Lottie, senang bertemu dengan anda,” sapa Lottie.
“Ibu, aku ke kamar ya? Aku akan sedikit berbincang dengannya tentang sekolah baruku,” kataku. Ibuku hanya mengangguk lalu tersenyum. Aku mengerlingkan mataku pada Lottie, mengajaknya ke kamarku.
“Jessa, ibumu ramah sekali. Ia juga terlihat elegan dan berwibawa. Pasti kau senang punya….,” puji Lottie. “Bukan, ia bukan ibuku,” aku langsung memotong kata-katanya dengan tegas. Ia hanya menatapku bingung. Aku menarik nafasku, "Aku bisa merasakannya Lottie, dia bukan ibuku". “Baiklah, maafkan aku. Tidak seharusnya aku mengatakan ini," lanjutku. Lottie tersenyum, "Nggak apa-apa. Oya, kamu pake contact lens?". "Hmm? Sebenarnya...," Aku menjawab dengan ragu, "Aku punya rahasia. Tapi jangan kasih tau siapapun dan jangan ketawain yaa...". Lottie mengangguk, wajahnya tampak serius.
Aku berjalan menuju meja riasku. “Kemarilah Lottie. Biar kutunjukkan rahasiaku,” perintahku pada Lottie. Ia menghampiriku dan melihatku membuka contact lens ku. Aku dapat melihat ekspresi wajah Lottie yang kagum dan tidak percaya. Bukan hanya itu, aku juga memperlihatkan wajah asliku. “Aku memiliki dua kemampuan. Setidaknya itu yang aku ketahui sampai saat ini. Aku bisa menyamar atau merubah wajahku,” kataku memberitahu Lottie rahasiaku yang kedua.
“Untuk apa kau menyamar kalau wajahmu benar-benar lebih cantik dari yang kulihat?,” tanya Lottie. “Aku tidak tau, hatiku mengatakan aku harus melakukannya untuk menyembunyikan jati diriku,” jawabku. “Kau tau, Pak Evans punya kemampuan untuk mengetahui kemampuan yang kita punya. Tapi ia hanya tau satu kemampuanku. Setiap kemampuan pasti ada kelemahannya kan?,” lanjutku.
Lottie mengangguk pelan. Seorang pelayan memasuki kamarku. “Maaf mengganggu, Miss. Makan malam sudah siap. Miss Amber sudah menunggu kalian,” kata pelayan itu memberi tau kami. “Ayo Lottie, kita makan dulu,” Ajakku pada Lottie. “Sebaiknya aku pulang, ibuku akan memarahiku jika pulang terlalu malam,” kata Lottie. “Baiklah, sampaikan salamku pada ibumu. Aku akan mengunjungi rumahmu besok,” kataku.
Aku memasuki ruang makan. Ibu terlihat sedang memotong steaknya. Aku duduk tepat di sebelah Ibu dan mulai bertanya padanya, “Ibu, bolehkah aku bertanya? Tapi kau harus janji untuk menjawabnya dengan jujur”. “Jessa mau bertanya apa?,” jawabnya setelah mengangguk. “Bu, aku yakin ibu tau tentang orang tua kandungku. Maafkan aku karena lancang. Tapi aku ingin tau keberadaan mereka,” tanyaku penuh harap. Ibu terdiam. Ia tersenyum, “Kau akan tau pada saatnya. Sekarang mereka ingin kau di sini bersamaku. Jadi jangan tanyakan itu lagi, ya. Kau pasti akan tau cepat atau lambat,” jawab ibu dengan lembut. Aku mengangguk. Aku meneruskan makan, setelah itu kembali ke kamar untuk mandi dan tidur. Besok aku berencana mengajak Lottie untuk berpetualang di sekitar Dunncast.
***
Pagi ini aku merasa sangat senang. Aku tak sabar ingin berpergian bersama Lottie. Mungkin memang terlalu cepat untuk akrab dengan seseorang. Tapi aku merasa percaya pada Lottie. Bahkan aku merasa sangat dekat dengannya. Hmm, jangan tanya kenapa, karena aku tidak tau.
Aku memasuki Auckford Highschool dan menghampiri lokerku. Aku melihat dua laki-laki sedang berdiri disekitarnya. “Hai, namaku Nicholas, dia Ethan,” sapa seseorang dari mereka. “Oh, halo, aku Jessa,” balasku sambil tersenyum pada dua laki-laki keren itu. Aku mulai membuka loker dan mengambil beberapa buku.
“Kemarilah Jessa. Katakan kau tertarik pada Ethan,” kata Nicholas yang berusaha mempengaruhiku dengan kemampuannya. Ia tertawa kecil. Ya, Nicholas memang bisa mempengaruhi orang dengan kata-katanya. Ethan memukulnya pelan. “Sepertinya kau tidak berhasil,” jawabku sambil meninggalkan mereka. Nicho terlihat bingung dengan kejadian itu. Sejujurnya, aku juga tidak tau kenapa aku tidak terpengaruh olehnya.
Kelas ini sangat sepi. Kenapa aku harus di kelas yang muridnya hanya lima orang? Itu membosankan bukan? Tiba-tiba seseorang memanggil namaku. Ternyata Lottie, namun disusul dua orang lainnya. “Hey Lottie,” sapaku pada Lottie. Aku menyunggingkan senyum sinis pada Nicho. “Baiklah, kau marah. Maaf ya, aku hanya ingin sedikit jahil,” jelasnya sambil tertawa kecil. Aku mengangguk. Beberapa pelatih menghampiri kami, tanda kami harus segera berlatih.
Hari ini waktu belajar terasa lebih cepat. Kami sudah boleh pulang sekarang. Aku menggenggam tangan Lottie begitu erat, lalu berlari menuju mobil Lottie yang sudah berada di depan lobby sekolah.
“Lottie, aku penasaran dengan kastil Dunncast. Bisakah kita pergi ke sana?,” tanyaku pada Lottie. Lottie mengangguk, lalu memberi isyarat pada supirnya untuk pergi ke tempat itu.
Sesampainya di dekat kastil, supir Lottie memarkirkan mobil di pinggir jalan. Kami harus berjalan kaki menuju kastil itu karena tidak sembarang mobil boleh masuk.
Gerbang kastil itu sangat besar dan dijaga banyak petugas. Syukurlah kami diperbolehkan masuk dengan alasan melakukan tugas kunjungan dari sekolah. Setelah beberapa menit berjalan, aku dapat merasakan udara segar dan kicauan burung-burung yang menenangkan hati. Aku dan Lottie terus menelusuri taman yang tidak pernah kami duga luasnya. Tiba-tiba aku mendengar suara hentak kaki yang cepat berlari kearahku. Aku dapat merasakan tubuhku dihantam sesuatu............