Hujan

499 14 4
                                    

Kami berdua adalah penikmat hujan.
Aromanya membuat kami candu, membisiki telinga kami dengan suara yang melenakan, keteduhan yang kami rasakan adalah kenikmatan tersendiri.

Hujan, asalnya semesta, kejadiannya merupakan suatu fenomena yang istimewa.
Mengingatkan kami berdua, betapa kecilnya kami dan masalah kami.

Hawanya yang sejuk, membuat partikel tubuh kami saling tarik menarik, berdekatan agar kami berdua tidak dirusak dingin.

Waktu itu bulan Oktober yang kuyup.
Dia dan aku, para penikmat hujan, sedang menikmati hujan dari tempat kesukaan.

"Selamat ulang tahun," ucapku lirih. Aku memberinya hadiah. "Tahun ini, hari jadimu hujan lagi."

Tipikal hujan yang kami suka. Deras tanpa badai. Berisik tanpa kilat dan petir.
Hujan yang blak-blakan, tidak ditahan-tahan.

"Tak apa, kita memang penikmat hujan. Terimakasih," ucapnya lalu menerima hadiah dariku.

Serta-merta ia membukanya.

"Payung!?" ia tertawa kecil. Tawa khasnya yang kusuka, suaranya seperti gerimis. Syahdu.

"Supaya bisa menikmati hujan lebih dekat," imbuhku.

"Ada yang harus kukatakan," katanya. Suaranya hampir saja tenggelam dimakan suara hujan.

Hujan semakin deras. Mengguyur bumi sore ini, pembalasan dendam dari hawa panas siang tadi.

"Apa?"

"Aku akan menikahinya," ia tersenyum semringah. Senyumnya begitu cerah, seolah matahari muncul dan sebentar lagi hujan berhenti.

"Begitukah? Selamat."

Hujanku dan hujannya menjadi sedikit berbeda.
Karena diriku membuat hujannya sendiri sekarang.

Suara hujan di luar semakin kecil. Kecil, dan kecil.
Atau hujannya berpindah ke dalam diriku? Sebab rasanya sendu. Sebab rasanya kuyup dan dingin.
Hujan di luar semakin reda. Namun hujan di diriku semakin berkecamuk. Aku tidak menikmati hujan yang di dalam diriku. Rasanya sama sekali tidak nikmat. Ia membuatku gelisah, bukannya tenang seperti hujan yang dari semesta.

Aku harus berhenti hujan. Karena apa kata teman penikmat hujanku jika tahu diriku hujan?

"Hei," kata orang yang akan dinikahinya, hadir di tengah-tengah kami.

"Hei," jawabnya.

"Ayo kembali. Hujannya sudah berhenti."

Orang yang akan dinikahinya itu memiliki senyum dan karisma secerah hari yang cerah. Layaknya matahari yang menyinari, yang kehadirannya selalu dinanti dan dirindukan khalayak bumi.
Matahari yang mampu membuat hujan berhenti.

Ya, karena jika ada matahari, hujan harus berhenti.
Karena jika ada mentari, hujan harus pergi.

Aku mencintai kawan penikmat hujanku ini secara romantis. Detik yang kami habiskan bersama mengamati hujannya semesta, berubah menjadi waktu yang sungguh berharga di kolong dunia.

Aku mencintai hujan dan mencintainya.
Aku jatuh cinta seperti jatuhnya hujan, tinggi, sakit, namun ribuan. Dan paham, bahwa hujan akan lesap dikakar bumi, ditiup angin, dihisap panas, namun masih, ia memilih jatuh ke bumi.
Membasahi makhluk-makhluk yang sebenarnya juga tidak pantas mendapat nikmat seperti hujan.

Namun, seteduh-teduhnya hujan.

Pada akhirnya orang akan lebih merindukan matahari.

Senikmat-nikmatnya hujan.

Orang akan menunggu hujan berhenti berganti hari yang cerah lagi.

Sama dengannya, partner penikmat hujanku.

Secinta-cintanya ia pada hujan yang kuyup dan teduh sepertiku, orang-orang akan lebih suka melihatnya di hari yang cerah, bersama matahari.

Karena jika ada matahari, hujan harus berhenti. Karena jika ada matahari, hujan harus sembunyi. Namun hujan... Juga tidak boleh berhenti jatuh ke bumi.

"Sayang sekali," ucap kawan penikmat hujan. "Hujannya sudah berhenti. Padahal payungnya ingin kugunakan."

Aku hanya tersenyum.
"Kau bisa menggunakannya di hari yang cerah dan panas," kataku. "Untuk menikmati matahari."

Ya, payung itu bukan untuk menikmati hujan. Tetapi matahari.

Dan kini hujan harus berhenti, karena matahari telah kembali menyinari.

Mungkin romansa pecinta hujan ini indah, sejuk seperti hujan, namun juga sementara seperti hujan. 

Aku hanya bisa mencintainya sebagai teman. Teman penikmat hujan.
Seperti hujan, aku juga harus pergi ketika melihatnya telah bersama sang mentari.

Hujan reda.

***

Jumat, 13 Oktober 2017

Untukmu yang telah membuat hujan di diriku.

Tulisan Saat Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang