.(titik satu)
Dasar moral kita berbeda, dan apa yang kita sanggupi sebagai kebenaran dan ketidakbenaran, berseberangan.Rasanya kau seperti bukan dari dunia ini, dan semua orang tahu apabila aku menyelami duniamu aku akan tersesat, kau sendiri juga terus memperingatkanku akan hal itu.
Namun kakiku tak berhenti dan tanganku terus saja menyibak semak-semak yang menyembunyikan duniamu rapat-rapat-- meskipun kadang semak-semak tersebut beracun atau tajam melukaiku.
Aku selalu saja ingin menyelamimu lebih dalam, padahal aku tahu aku mungkin saja tenggelam."Sudah cukup," katamu. "Kau sendiri tahu kau tak cukup kuat memahamiku."
Aku tahu dan aku selalu menangis ketika aku merasa lelah, merasa payah. Aku selalu ingin berhenti dan berbalik arah ironisnya di tiap aku melangkah maju.
Kau terlalu luar biasa untuk dilewatkan, nan terlalu liar untuk dijinakkan.
Kalau aku tega menganalogikan, semisal kita bertemu dinosaurus, makhluk yang sudah lama punah itu, apakah kau takkan biarkan sedetik pun terlewatkan, atau malah lari ketakutan?
Maksudku, pasti ada kan sudut dirimu yang tertarik penasaran?"Kau sekedar penasaran," ucapmu lagi, dengan senyum sendu. "Begitu yang kau cari ditemukan, atau bahkan, takkan kautemukan," kau menarik nafas, "kau akan pergi meninggalkan."
Aku menggeleng kuat. Bagaimana bisa aku meninggalkan permata berharga yang kutemukan?
"Aku tak sehebat yang kaupikirkan. Aku tak seluarbiasa yang kaukira. Berhenti memuji dan memujaku," pintamu. "Aku akan menghancurkan harapanmu itu."
Enak saja! Aku tidak semerta-merta memuji dan memujamu. Meskipun-- perkataanmu mungkin saja benar : aku jatuh cinta pada harapanku tentangmu, bukan denganmu.
Tetap saja, perasaan ini nyata!
Bagaimana bisa aku tidak menyatakan selain dari pujian dan pujaan? Salahkah aku?Tolong, berikan aku kata sandi untuk memasuki duniamu lebih jauh lagi.
Meskipun, otakku selalu berkata :
Ini salah.
Dia tak pantas untukmu.
Tinggalkan dia.Namun hatiku selalu punya suara kecil, yang menuntun, yang membisik:
Mungkin ia salah.
Maka bawalah ia pada benar. Dan setelah ia benar, maka dunianya yang luar biasa itu, akan dibaginya padamu.Tentu saja perkara salah benar ini, adalah dalam versiku. Dalam versimu lain lagi. Kita kesulitan karena ini, kadang.
"Hentikan," kau berujar dan mendesah nafas berat. "Ini obsesi. Kau terobsesi."
Aku berdenyut dengan emosi yang tak terjelaskan ketika kau memvonisku seperti itu.
Kalau aku tega menganalogikan : aku adalah anak yang menyikat gigi tiap hari tanpa terlewat. Lalu aku pergi ke dokter gigi ahli dan ia menemukan satu lubang pada gigiku. Ia berkata, "Kau pasti anak yang malas sikat gigi!"Aku telah berlari sejauh ini dan kau memvonis ini obsesi?
Ya, eros memang sulit dibedakan dengan obsesi dan nafsu. Kata-katamu mungkin benar. Namun aku punya seribu alasan untuk menyerangmu dan kembali menyatakan bahwa pernyataanmu itu tak benar!
"Aku janji ini bukan obsesi. Aku janji aku takkan terobsesi."
"Dulu obsesi telah merampas apa yang paling kukasihi. Aku tak mau seperti itu lagi."
"Tidak akan, aku janji."
Di mulutku begitu, namun di batinku aku berpikir apa mungkin suatu saat aku menjadi kata ganti "yang paling kaukasihi"?Aku terus menyibak. Berlari. Menyelam. Memanjat. Membuka duniamu yang ditutup rapat-rapat.
Aku lelah, tapi aku takkan menyerah.
Hingga suatu saat, kau berkata. Angin nan dingin langsung menyapuku dan menyisakan kekosongan yang hampa.
"Maaf aku mengecewakanmu. Tolong lupakan aku, kumohon."
Apa kau bercanda?
"AKU TIDAK MAU!"
"Kumohon."
"Apa alasannya? Tolong berikan alasannya."
"Aku tidak sanggup lagi membayangkan bahwa diriku harus kehilangan.
Lagi."Air mataku membuyar.
Dasar egois.
Kau pikir aku juga tak lelah? Kau pikir aku tak khawatir pencarianku di dirimu selama ini berakhir sia-sia lalu kau hanya akan meninggalkanku seperti yang lainnya?
.
..(titik dua)
Untuk bersama, jurang penerimaan yang harus kita seberangi terlalu besar.
Kita sadar, sebagaimana manusia memiliki batas dan terbatas. Kita tidak pesimistis, tapi kita realistis.
Untuk apa memulai sesuatu yang akan berakhir?Meskipun nol persen, ada sudut dalam diriku yang berharap angkanya naik, barang sedikit saja. Akan kutunggu.
Akan kutunggu sampai kau mahir bermain biola.
Akan kutunggu sampai kau bergelar sarjana.
Akan kutunggu sampai kau tak lagi sakit kepala, di penghujung malam, yang sulit kau utarakan bagaimana sakitnya, sampai kau mengajakku pada akhirnya untuk menemui ahlinya.
Sampai kau dan aku, menjadi kita.
Meskipun itu masih sangat jauh dari sini. Jurangnya terlalu besar. Jurangnya terlalu dalam, sungguh.Kita realistis, ingat?
Kita tidak punya tangan sepanjang itu--pun kita tidak dapat melompat.Serta sesungguhnya, kita berdua hanyalah makhluk-makhluk penakut.
Kita takut kehilangan, saking takutnya kita malah menghilangkan.Pernahkah kau terlalu menyimpan suatu benda hingga kau sendiri lupa menyimpannya di mana dan akhirnya hilang?
Itu yang kita perbuat sekarang.
Ironis, bukan.Tapi kita realistis.
..
...(titik tiga)
Kau datang lagi. Aku senang namun tetap saja ada sudut hatiku yang menggelitik bagai sistem imun yang mendeteksi virus.Apakah altruisme itu sungguh ada? Ataukah itu hanyalah ilusi yang ingin kita percayai sebagai manusia?
Dan mengapa kau kembali? Bukankah kau berkata ingin pergi?
Bukankah kau yang memintaku untuk pergi?Aku adalah lelucon dan kau badut yang memainkannya. Aku adalah obat yang kau cari ketika sakit. Namun ketika kau sehat, ketika kau bahagia dengan dunia, aku hanya kau simpan rapat-rapat dalam lemari bahkan lupa pernah kau miliki.
Seperti cinta, nampaknya altruisme juga ilusif.
Kau tidak pernah tulus dan aku pun tidak. Kau mencariku di saat perlu dan aku juga ingin kau tidak hanya mencariku di saat kau perlu, namun juga di saat aku perlu.Hei, bukankah pada akhirnya kita hanya mengenyangkan ego masing-masing?
Dan bukankah aku terlalu munafik jika menuduhmu ingin membangun semua ini di atas dasar nafsu?
Sebab aku pun demikian.Sebab siapa yang tidak?
Lihatlah.
Kau telah membuatku begitu pesimis memandang romantisme yang kuanggap sebagai konsep mati.Manusia terlalu acak untuk dipahami manusia lainnya. Dan aku yakin 'memahami' bukanlah esensi dari keberadaan manusia di bumi.
Kenapa selama ini aku begitu angkuh untuk memahamimu? Lucu, ya.
Aku menyerah.
...
....(titk empat)
Mungkin tidak sekarang.
Mungkin di kehidupan berikutnya kita akan bersama.
Mungkin bukan sebagai manusia. Mungkin hanya sebagai uap yang sebentar hadir sebentar lesap.
Mungkin sebagai partikel dimensi lima yang jaraknya jutaan cahaya.
Mungkin tidak apa.
Mungkin di kehidupan selanjutnya.
Mungkin kita berdua bisa bahagia.....
..... (titik lima)
Karena titik artinya berhenti..... .
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan Saat Patah Hati
عاطفيةTulisan-tulisan ini untuk mengingatkan bahwa aku, dan semua insan di dunia ini, pernah patah hati. Bukan untuk mengenang sakitnya, namun untuk mengapresiasi bagaimana kita telah sembuh.