[1] Perempuan Di Balik Lensa

279 4 2
                                    

Gadis itu berdiri di tengah-tengah jembatan. Sweater coklat polos serta celana jeans melindungi tubuhnya dari udara dingin khas pegunungan. Hembusan pelan angin petang membuat beberapa helai anak rambut Rayi yang dikuncir kuda beterbangan. Tetapi perempuan itu seperti tidak peduli. Ia menyusuri Jembatan Plunyon sambil terus menyunggingkan senyum di wajahnya. Sesekali, kamera yang digantung di lehernya ikut bekerja dengan mengambil gambar.

Jembatan Plunyon, sama seperti kota Yogyakarta, selalu membangkitkan emosi aneh dalam diri Rayi. Entah sudah berapa kali ia menginjakkan kakinya di jembatan tua yang sudah mulai tidak terawat sejak erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 itu, tapi tak sekalipun ia merasa bosan.

Sudah hampir 4 jam terhitung sejak ia memasuki kawasan wisata alam itu. Menjelajahi tebing-tebing yang tidak terlalu curam, bermain air di Kali Kuning, dan menikmati indahnya pepohonan pinus yang tumbuh liar, hingga akhirnya kembali menyusuri jembatan favoritnya sejak kecil.

Dulu, dulu sekali, sebelum ia memutuskan untuk berkuliah di Chicago, hampir setiap bulan ia ke Yogyakarta dan tak pernah absen mengunjungi tempat ini. Gadis itu akan bangun pagi-pagi sekali untuk berburu bis yang akan mengantarnya dari ke Kali Kuning, lalu ia akan menjelajahi desa yang terletak di kaki Gunung Merapi itu hingga matahari naik.

Rayi menghentikan langkahnya ketika matanya menangkap sesosok pria tua berumur sekitar 60 tahunan yang berdiri di bawah jembatan. Tangan-tangan keriputnya bergetar ketika mengangkat bebatuan besar dan memasukkannya ke dalam karung. Rayi mengangkat kameranya dan mulai mengambil beberapa gambar.

Kamera yang ia gunakan bukan kamera digital seperti yang digunakan oleh fotografer-fotografer professional lainnya. Gadis itu tetap setia pada kamera analognya. Untuk Rayi, ada sensasi tersendiri ketika ia memotret objek dengan kamera analog.

Rayi tersenyum puas setelah mengambil gambar si kakek secara diam-diam. Ia mendongakkan kepalanya untuk melihat rona jingga yang mulai tampak menghiasi langit yang kelabu. Beberapa hari ini, mendung memang selalu setia menghiasi langit Yogyakarta.

Ia melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Pukul 4 sore.

Gadis itu tersenyum samar. Ia membalikkan tubuhnya untuk kembali ke tepi jembatan. Sekarang, ia harus mengunjungi tempat lain. Tempat yang selalu menjadi alasannya pergi ke kota itu.

**

Rayi memasuki gerbang kompleks pemakaman itu dengan langkah pelan. Seikat Bunga Anyelir putih digenggam erat oleh tangan kanannya.

Gadis itu berhenti sejenak di persimpangan, lalu dengan yakin melangkahkan kakinya ke arah kanan. Wangi-wangian khas pemakaman menyapa penciumannya. Walau keadaan pemakaman mulai sepi karena hari yang semakin gelap, Rayi tidak merasakan takut. Ia sudah terbiasa ke sini ketika keadaan sepi. Ia hanya tidak mau, orang-orang melihat sisi rapuhnya. Bahkan, orang yang tidak mengenalnya.

Rayi berhenti di depan sebuah makan berkeramik hitam. “Assalamu‘alaikum,” ucapnya pelan.

Gadis itu bersimpuh di samping nisan. Ia meletakkan Anyelir putih itu di sana. Mungkin, Anyelir bukanlah bunga yang umum untuk ziarah kubur. Tetapi Rayi ingat, sangat mengingat bahwa tubuh yang terbaring dengan damai di bawah sana mencintai bunga itu sepenuh hatinya. Seperti Rayi yang mencintai kamera.

Rayi mengusap batu nisan di hadapannya dengan pelan, penuh kerinduan. “Aku kembali.”

“Bagaimana surga? Masih seindah yang dibicarakan orang?” ia tertawa pelan mendengar pertanyaannya. Sumbang.

Inilah yang menjadi alasannya untuk tidak datang ketika keadaan ramai. Bisa-bisa dirinya dianggap kurang waras oleh pengunjung lain.

Rayi menghelas nafasnya pelan.

Bitter BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang