[2] Laki-laki Yang Bersembunyi

67 6 0
                                    

Jam tangan analog yang dikenakan di pergelangan tangan kanannya sudah menunjukkan pukul 8 lewat 45 menit ketika Denisa meraih gagang pintu dan memutarnya dengan perlahan.

Hati-hati sekali, gadis itu mendorong pintu kayu yang di atasnya tergantung nama pemilik ruangan beserta jabatannya. Ia mendongakkan kepalanya ke dalam ruangan bernuansa minimalis itu lalu tersenyum masam.

Di dalam sana, seorang pria tengah duduk di atas kursi kebesarannya tanpa menyadari ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari ambang pintu. Di balik kacamatanya, bola mata coklat gelap itu terus bergerak ke kiri dan ke kanan, menekuni berlembar-lembar kertas yang dijilid tebal di atas sebuah meja besar berwarna coklat. Tangan kirinya sibuk membolak-balik kertas sedang tangan kanannya menandai beberapa bagian dengan bolpoin bertinta merah.

Denisa melangkahkan kakinya. Meski hanya langkah kecil dan pelan, suara yang di timbulkan oleh High Heels yang digunakannya bergema di lantai menarik perhatian Arkand.

Ia mengangkat kepalanya yang setengah menunduk hanya untuk mendapati Denisa yang berdiri di depan meja kerjanya. Hanya sesaat, karena setelah itu ia kembali tenggelam dalam data-data yang sedang ia periksa seolah tak peduli dengan kehadiran gadis itu.

“Kau belum pulang?” Tanya Arkand dengan mata yang masih menyelusuri deretan angka-angka yang tercetak di kertas di hadapannya.

Denisa menggeleng pelan, “Aku menunggumu.”

“Pulanglah. Kau ada kelas besok pagi,” ujar lelaki itu dengan nada datar.

“Mama ingin aku pulang, jika kau pulang. Jika kita pulang.”

Gerakan tangannya yang hendak membalik kertas berisi laporan keuangan perusahaan akhir bulan itu mendadak terhenti mendengar perkataan Denisa. Kata-kata yang gadis itu ucapkan dengan pelan namun entah kenapa mengusik hatinya. Kita?

 “Pulanglah. Aku lembur malam ini.”

“Kau terlalu memikirkan perusahaan. Sudah saatnya kau memikirkan dirimu sendiri.”

Shoot.

Arkand terdiam sejenak lalu mengambil nafas panjang. Ia butuh persediaan nafas yang banyak untuk melewati malam ini sepertinya.

“Aku ingin menata perusahaan dulu, Denisa,” jawabnya pelan.

Sebuah tawa sinis meluncur dari sela-sela bibir milik adiknya. Jangan heran. Hubungannya dengan Denisa memang tidak terlalu baik. “Menata perusahaan, atau mencari pelariaan karena tak sanggup menata ulang hati?”

Lelaki itu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dengan lelah. Ia memejamkan matanya. “Bisakah kau tak usah membahas hal itu?”

Denisa mengangkat bahunya acuh, “Ya, oke. Kalian para lelaki memang mengaku berani tapi pengecut dalam urusan hati. Benar, kan?”

Lama gadis itu menunggu sesuatu yang akan keluar dari mulut kakaknya, tetapi ia tak mendengar apapun. Lelaki itu masih memejamkan matanya.

Melihat sikap Arkand yang seperti itu, entah mengapa membuat perasaan Denisa tidak tenang. Walau hubungan mereka tidak seperti hubungan antara saudara kandung lainnya, tetap saja lelaki itu adalah sosok kakak terbaik yang dia punya.

Gadis itu menarik nafasnya lalu menghembuskannya dengan pelan.

“Kalau kau di beri kesempatan lagi, Arkand. Apa kau akan menyia-nyiakan seorang perempuan lagi seperti dulu?”

Kedua kelopak mata milik pria itu perlahan membuka. Ia menatap wajah milik satu-satunya adik yang ia punya. Mencoba menebak maksud perkataan Denisa dari raut wajah gadis itu. Tapi seperti biasa, ia gagal. Keturunan keluarga Subono memang terkenal handal menyembunyikan perasaannya dengan memasang wajah tanpa ekspresi.

Bitter BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang