PROLOG

24 10 1
                                    


"Ra, jangan kesana! Kata bunda disana banyak tanaman berdurinya!" teriak bocah laki-laki itu dengan raut wajah cemas namun tangannya masih terus menarik-narik benang layang-layang.

Gadis kecil yang diteriaki justru tersenyum sambil terus berjalan mendekati semak belukar. "Nggakpapa Zi. Zi cemen banget sih!" seru gadis kecil itu kemudian tertawa renyah. Matanya melebar saat menemukan apa yang dicarinya. Didepannya terdapat hamparan tanaman liar yang memiliki bunga kecil bewarna kuning. Ia tak tahu apa nama tanaman itu, namun ia sangat senang menemukannya dan langsung memetik tanaman menyerupai bunga itu satu-persatu.

"Auuuww!" pekik gadis kecil yang bernama Nara itu seraya berjingkat kaget. Membuat Zio, bocah laki-laki yang bermain layang-layang tadi langsung serta merta melempar gulungan benangnya dan segera berlari menuju Nara.

"Ra! Kamu kenapa?!" Zio langsung meraih kedua tangan Nara yang menggenggam tanaman itu. Wajahnya seketika panik melihat banyak duri yang tertancap di pergelangan tangan Nara. "Tuh kan! Kena duri semua ini, kamu kok dibilangin susah sih!" teriak Zio kesal. Wajahnya yang dipenuhi keringat terlihat merah sekarang. Merah karena terlalu lama terkena sinar matahari, sekaligus kesal dengan gadis kecil berambut sebahu di depannya.

"Zi kok marah sama aku sih?!" Pekik Nara dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan tangis, yang entah kapan akan meledak.

"Kamu dibilangin bandel!" Zio masih ngotot tak menyadari ekspresi Nara sekarang.

"Huwaaaa..... mama....!!" pecah sudah tangis Nara yang bagaikan sirine ambulans. Membuat bocah laki-laki yang sudah tak menyadari layang-layangnya hilang itu panik.

"Eh, Ra jangan nangis dong! Zi bingung nih." Ujar Zio mulai melunak. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tak tahu harus bagaimana. Sementara Nara masih menangis kencang.

"Ra.. cup..cup.. jangan nangis, nanti Zi dimarahin bunda sama mamanya Nara. Zi harus gimana biar Nara mau berhenti nagisnya?" tangan kecil Rendi mengelus pucuk kepala Nara.

"Hiks..hiks.. peluk!" Jawab Nara yang masih sesenggukan sambil merentangkan kedua tangannya minta dipeluk.

"Ha? Kita 'kan udah mau masuk SD Ra, masa' minta dipeluk?" Zi mengernyitkan dahinya.

"Hiks..hiks..hu.." Nara bersiap untuk menangis lagi, namun Zi langsung memeluk gadis kecil itu. Membuat Nara mengurungkan niatnya untuk menangis kencang dan sedikit sesenggukan di dekapan Zio.

~~~

Wanita berusia dua puluh lima tahun itu masih duduk sambil sesekali meminum ice blend rasa greentea, minuman favoritnya. Diluar sedang hujan deras. Dinding-dinding yang terbuat dari kaca itu mengembun, membuat pemandangan luar memburam. Sedikit eksentrik memang, di udara yang sedingin ini perempuan itu malah meminum minuman dingin. Namun, ia tidak peduli. Toh, minuman hangat tidak dapat membuat hatinya yang dingin itu kembali hangat.

"Mbak memang suka minuman dingin ya? Padahal diluar hujan loh." Celetuk seorang waiters pria yang tadi habis mengelap meja di sebelah kanan perempuan itu.

Perempuan itu menoleh, membuat rambut panjangnya yang tadi dicepol asal-asalan lepas kemudian tergerai. Ia menatap datar waiters itu. "Memang tidak boleh minum es saat hujan?" tanyanya kepada waiters laki-laki itu yang sekarang terlihat kikuk.

"Mmmm... i-itu sih selera ya mbak? Hehe, maaf mengganggu. Saya permisi dulu." Waiters itu langsung membawa gelas-gelas yang tadi ia bereskan, dan segera pergi.

Wanita itu menggelengkan kepala. Sayup-sayup terdengar ponselnya berbunyi, ia segera merogoh tasnya. Jemarinya dengan cepat membuka flip dan mengangkat panggilan itu.

"Halo." Ucapnya.

[Aku sudah memesankan tiket untukmu Nara,] ujar seseorang dari seberang yang terdengar serak dan sendu.

"Terimakasih." Jawab Nara. Ya, wanita itu adalah Nara Diandra. Wanita yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di fakultas kedokteran universitas ternama.

[Kamu yakin akan pergi?]

"Tentu. Aku tidak pernah seyakin ini."

[Kamu tidak perlu pergi jauh, Ra. Aku yakin kamu pasti bisa segera melupakannya.]

"Tidak, aku harus pergi jauh untuk melupakannya." Tanpa sadar pipi Nara mulai basah karena air mata.

[Baiklah. Jaga dirimu. Kau tahu benar aku disini selalu ada untukmu.]

"Terimakasih." Gumamnya dan langsung memutuskan sambungan telepon. Nara meletakkan kepalanya di atas meja. Hatinya kembali terasa sakit lagi mengingat kejadian seminggu lalu. Dadanya terasa sesak. Namun, tiba-tiba ia mendongak dan kembali duduk tegak.

"Aku sudah berjanji tidak akan menangis, baik denganmu atau tanpamu." Ujarnya seraya menghapus air mata.


Maaf kalau tulisanku jelek. Namanya juga penulis bau kencur :v

Hanya butuh 1 vote buat lanjut dan yang penasaran sama Nara dan Zio.

Besar harapanku ada yang mau aku nerusin cerita ini . maksa banget ya? wkwkwk

Dia Sahabat(hidup)ku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang