Bab 1

39 8 0
                                    

Good Thing bersama NCT 127, boyband yang sedang kugandrungi, mengalun di earphone yang tengah menempel di telingaku. Kepalaku mengangguk-angguk mengikuti irama lagu. Tak ketinggalan kakiku yang juga kuhentak-hentakan ke tanah seperti orang menginjak pedal drum, mengikuti dentuman lagu. Kalau tidak sedang di pinggir lapangan, sudah kugerakan semua tubuhku ikut menari mengikuti alunan lagu.

“Ra!” teriak Bagas yang sedang berada di tengah lapangan sekolah. Dahinya penuh dengan keringat, yang juga membuat kausnya basah. Sebenarnya aku tidak mendengar suara Bagas yang sedang berteriak, tapi melihat lebar mulutnya plus posisinya yang berkacak pinggang, ku yakin ia tadi berteriak. Untuk saat ini, hilangnya suara Bagas adalah misteri.

Dan ternyata bukan suara Bagas saja. Zio yang kini sudah berdiri tepat di samping Bagas, juga tengah seperti meneriakan sesuatu. Kini ia menggerak-gerakan kedua tangannya. Oh, jadi seperti itu bahasa isyarat. Eh, tunggu dulu. Sejak kapan Zio belajar bahasa isyarat? Apa mungkin ia ingin menjadi guru SLB? Dari atlet karate menjadi guru SLB, kayaknya keren tuh.

“Apa sih?!” teriakku pada mereka, yang kini entah kenapa terlihat kesal. beberapa anak kelas sebelah yang ikut bermain basket dengan mereka tadi sudah membubarkan diri. Mereka pergi beriringan menuju kantin di seberang.

“Ck! Lo tuh nggak pakai kek ginian udah budeg!” gerutu Zio dan dengan seenak jidat menyerobot sesuatu yang ada di kepalaku. Ah, earphone!
“Kalian tadi bilang apa sih?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, sebelum mereka mulai membullyku.
“Minum.” Ujar Bagas dengan nada datar. Aku mengangguk. Baru saja ingin ku ambilkan Bagas air mineral yang sedari tadi sedang duduk menemaniku, namun air mineral itu sudah di teguk Bagas dengan sekali tandas. Kapan ia mengambilnya?
“Lo tadi diantar siapa Ra?” tanya Zio. Ia mengambil posisi duduk di sebelahku, sedangkan Bagas memilih duduk di depanku. Mereka berdua meluruskan kaki masing-masing.
“Momsky.” Balasku. Kulihat ada beberapa siswi yang sedang melewati kami.

“Lagak lo bilang momsky.” Ledek Zio sambil mengacak-ngacak rambutku. Tentu saja tangan kotornya itu segera kupelintir. Tatapan sinis langsung ku dapat dari gadis-gadis tadi. Aku heran, sebenarnya mereka itu ngapain sih? Lewat kok kayak iklan. Bolak-balik. Oh aku lupa! Beginilah nasib jadi sahabat dari dua cowok sialan, yang sialannya mereka ini idola se-antero sekolah.

“Emak gue tadi yang nganter.” Ujarku ketus.

“Nah kalau gitu ‘kan elo banget.” Ucap Zio dengan kurang ajarnya. Wajahnya tersenyum lebar menatapku sekarang. Wajahnya udah mirip kayak badut sialan di film IT.

“Hai Zio!” celetuk cewek ganjen dengan riang. Raccia. Kapten cheerleader sekolah. Tak usah tanya bagaimana cantiknya dia. Yang pasti tubuh, wajah, rambut,dan duit sekalipun semuanya oke.

Kami menoleh ke arah cewek itu. Lagi-lagi ia tampak cantik kali ini. Seragam sekolah saja terlihat keren kalau sudah dipakainya. Jangan bandingkan aku dengannya. Pasti ada perbedaannya, bagaikan kuaci dengan coklat belgia. Yang tentu aku yang menjadi kuacinya disini.

“Hm?” gumam Zio tampak tak antusias dengan Raccia.
“Masih inget gue ‘kan? Raccia kapten cheerleader sekolah ini. Pertandingan basket kemarin, sorry ya nggak bisa dukung.” Ujar Raccia dengan wajah bersalah. Seratus persen ku yakin bahwa ekspresi itu dibuat-buat. Oh ayolah, orang buta pasti juga tahu kalau Raccia hanya basa-basi kayak nasi basi.

“Ada juga enggak, nggak ada ngaruhnya buat tim gue.” Balas Zio. Masih dengan nada datar sedatar wajahnya. Ia malah sudah tak menatap Raccia dan sibuk mengelapi keringatnya dengan handuk kecil yang daritadi kubawa. Kurasa Raccia berpikir bahwa Zio malah terlihat cool sekarang. Terlihat wajahnya menunjukkan sedang gemas sekaligus klepek-klepek dengan tingkah cueknya Zio.

Dia Sahabat(hidup)ku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang