Prolog

46 4 0
                                    

"Maaf, kurasa hubungan kita tak bisa berlanjut. Sekarang kita hanya pacaran, dan ibuku tak memberikan restu. Apalagi kedepannya? Meskipun nanti aku berkeluarga, dalam agama tetaplah ibu nomor satu, baru setelah itu istri. Berbeda denganmu, yang harus mendahulukan suami dibanding orangtua. Aku berdoa semoga kelak kau mendapatkan orang yang jauh lebih baik dibandingkan denganku. Aku juga meminta ibuku untuk turut serta mendoakanmu."

Wajahku yang semula sedikit berseri, berangsur kehilangan sorotnya. Ya, seperti cahaya remang dari sebuah lampu yang semakin lama semakin redup, lalu akhirnya padam. Hanya menyisakan gelap. Dan juga dingin. Ketika itu, aku sungguh tak tahu harus seperti apa ekspresiku. Haruskah aku marah padanya? Haruskah aku mencercanya? Haruskah aku menyalahkannya? Aku tak tahu. Benar-benar tak tahu. Yang jelas, hanya satu hal yang kutahu persis. Aku menangis. Menangis sejadi-jadinya.

Bagaimana tidak? Lelaki yang selama ini selalu antusias membahas rencana pernikahannya denganku, dengan mudahnya mendoakanku untuk menemukan lelaki lain. Bagaimana tidak? Lelaki yang sudah bersamaku selama lebih dari lima tahun, semudah itu melepasku. Bagaimana tidak? Lelaki yang selama ini kukenal pantang menyerah, tiba-tiba mundur terarah.

Dan lagi, dia bilang kita hanya pacaran? Lalu kemana rencana-rencana yang kita susun bersama selama ini? Kemana semua itu? Menguapkah bersama angin? Atau tenggelam ke dasar laut? Entah bagaimana kondisi yang sesungguhnya, tapi yang jelas, aku merasa semua ini begitu mudah untuknya. Begitu ringan untuknya, sampai-sampai dia dengan selugas itu mengutarakan ucapannya. Di sisi lain, aku terbata-bata untuk mencerna maksud dari kata-katanya itu. Kata-kata yang berhasil meremuk-redamkan hatiku.

Demi mengingat kata-kata itu, hatiku berdenyut nyeri. Ada satu bagian dari hatiku yang bukan hanya terluka, bukan hanya teriris, tapi juga seolah terpotong hingga hilang sepersekian bagiannya. Entah itu hancur di tempat yang tidak aku ketahui, atau terbawa pergi olehnya. Yang jelas, aku merasa seolah hanya memiliki sepotong hati, tidak utuh.

***

Bismillah. Ini cerita yang ditulis sewaktu awal hijrah. InSyaa Allah ada kelanjutannya di part selanjutnya. Mohon kritik dan sarannya ya ^^

The Sweetest Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang