19 Juni, pukul 15:00
Kriiinnggg.. (Suara dering telepon)
Mey : "Hallo, Ul?
July : "Let's meet up, Mey. I have something to tell you. Soooo good thing. Will you?"
Mey : "I wondering. Can't you tell me right this time? By phone?"
July : "I can't honeeeyyy... Gak afdhol rasanya kalo by phone. Pokoknya aku tunggu kamu di Abracajava sejam lagi, oke. See you there, hon"
Mey : "Ul..."
Tut tut tuuutt (telepon ditutup)
"Duh, ini anak kalo udah ada perlunya harus langsung deal aja gak pernah nanya bisa apa enggak", batinku. Akupun bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk menemui July yang biasa aku panggil "Ul" ini secepat kilat. Ini hari Minggu, sudah pasti jalanan di sekitar pusat kota mengalami kemacetan. Mau tidak mau, aku harus buru-buru berangkat sebelum Ul bawelnya menjadi-jadi.
Akupun segera berangkat. Dan benar saja, dugaanku tidak meleset. Sore ini jalanan macet. Untuk sampai di Abracajava, aku butuh waktu sekitar setengah jam. Hari biasa, jika jalanan lancar jaya, paling hanya butuh lima belas atau dua puluh menitan untuk sampai di tempat. Ul sih, sudah tau hari Minggu begini jalanan pasti macet, ini malah minta ketemu dadakan, mepet pula.
19 Juni, pukul 16:18
Aku tiba di tempat yang Ul sebut di telepon tadi. Celingukan sebentar, dan... Yap! Ul melambaikan tangannya di meja pojok sebelah kanan.
Ul : "Lama amat sih, Mey. Kamu kemana dulu?"
Mey : "Kemana dulu jidatmu, ini hari Minggu nengnong, ya udah pasti lah jalanan macet. Lagian biasa juga nyerocos di telepon, ini tumben mendadak ngebet pengen ketemu gini."
Ul : "Kan biar afdhol Mey, hehe"
Mey : "So, what will you tell me about?"
Ul : "Mm.. tapi ini rahasia. Kamu jangan bilang siapa-siapa. Aku baru cerita soal ini ke kamu aja loh."
Mey : "Menurutmu, apa pernah mulutku ini bocor kayak ember? Tell me now."
Ul : "Iya juga ya, kamu kan gayung, bukan ember. Ah serius. Satu bulan yang lalu, A Septa khitbah aku. Dan dua bulan kedepan kita bakal nikah."
Mey : "What? Are you serious?"
Ul : (mengangguk sambil tersenyum)
Mey : "Alhamdulillaaahh.. Congrats yaaaaaa, Ul-ku sayaaaanggg. Tapi, tega banget kamu, Ul. Kabar sepenting ini, sekeren ini, sebaik ini, baru kamu sampein ke aku sekarang."
Ul : "Sorryyyyy... Tapi aku pernah baca satu hadits, katanya khitbah itu harus disembunyikan, kalo akad baru harus disebar luaskan, gitu."
Mey : "Gitu ya, no matter lah. Pokoknya sekali lagi congrats yaaaa, aku ikut seneng. Hmm.." (menghela nafas)
Ul : "Kenapa Mey? Kok kayak lagi mikir gitu."
Mey : "Enggak, cuman tiba-tiba lewat aja barusan, kamu udah dikhitbah, bentar lagi nikah, terus aku kapan?"
Ul : "Justru aku ngiranya bakal kamu duluan. Tenang aja lah Mey, palingan gak lama setelah aku, kamu langsung nyusul hihi"
Mey : "Aamiin-kan jangan ya? Kayaknya aku belum siap sih."
Oh ya, aku ceritakan sedikit soal Ul alias July Zakia ini ya. Jadi, Ul ini sahabatku sejak SMA, sahabat paling deket yang awet sampai sekarang. Ul sempat menghilang beberapa waktu, tanpa kabar sama sekali, itu yang membuat kita sempat renggang. Lalu kemudian aku dan Ul kembali bertukar pesan karena ada masalah pekerjaan. Iya, aku dan Ul menggeluti bidang yang sama, Farmasi.
Waktu itu aku merasa Ul berbeda, Ul berubah. Yang pertama aku sadari adalah cara Ul membalas pesanku, singkat. Tidak biasanya Ul seperti itu, biasanya Ul selalu menjawab pesanku panjang lebar, meskipun isi pesanku hanya membutuhkan jawaban 'ya' atau 'tidak', Ul selalu memenuhi jawabannya dengan candaan, tidak seserius itu. Dan juga, Ul mulai sulit diajak bertemu. Jangankan untuk bertemu, untuk sekedar membalas pesanku saja Ul sepertinya enggan. Ul jauh berbeda dengan Ul yang sebelumnya.
***
"Best friend is someone who you can count on"
***
Sempatkan untuk tinggalkan jejak yaaa, kritik dan saran diutamakan hehe ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sweetest Broken Heart
SpiritualTentang perjalanan hijrah seorang perempuan bernama Malayeka Azkadina. Tentang Malayeka Azkadina yang menemukan ketika kehilangan. Tentang Malayeka Azkadina yang mengecap manisnya patah hati.