Siang itu di sebuah ruangan komplek perkantoran mewah di daerah Sudirman Jakarta, cuaca terasa sangat menyengat. Anggi menutup kerai jendelanya agar sedikit menghalangi sinar matahari yang menembus ke ruangannya.
Kring kring, kring kring.
Telepon di mejanya berbunyi.“Mbak An, ada telepon dari Bandung. Katanya sangat penting.” Gita, resepsionis kantornya memberitahu.
“Oke. Makasih.”
Di seberang sana terdengar suara seorang wanita.
“Hallo, Anggi. Ini Andrea..."
"Ooh... Ada apa sampai menelepon ke kantor?" Anggi menjawab dingin. Anggi mengepalkan tangan kirinya yang bebas. Mendengar nama wanita itu, membuka luka lama di hati Anggi.
"Saya hanya ingin bilang kalau papamu terkena serangan jantung, dan sekarang di rawat di ICU..." Andrea terdiam sejenak, lalu melanjutkan saat tidak mendengar balasan dari Anggi, "kondisinya parah. Kalau bisa kamu cepat pulang sekarang. Sebelum semuanya terlambat.” Terdengar suara isakan sebelum telepon ditutup.
"Papa, sakit. Haruskah aku pulang? Lagipula, papa sudah melupakan aku. Kenapa hatiku kembali sakit?" Batin Anggi berkecamuk.
Telepon dari Andrea itulah yang membuat Anggi memutuskan untuk kembali ke kampung halaman keesokan harinya. Anggi bersyukur atasannya di kantor mengijinkannya untuk mengambil cuti mendadak.
***
Anggi menatap keluar jendela bus AKAP yang akan membawanya menuju kota kelahirannya. Sepanjang jalur tol Cipularang tidak terlalu banyak yang berubah walaupun sudah empat tahun dia tidak pernah lagi melalui jalan tol ini. Waktu terasa cepat berlalu. Ya, empat tahun sudah dia tidak pernah pulang ke kampung halamannya.
Kesibukannya selalu dijadikan alasan untuk menghindari acara pulang kampung. Menurutnya, setelah mamanya meninggal tidak ada lagi yang tertinggal di kampung halamannya.
Anggi sering juga merasa rindu untuk mencium udara kotanya yang sejuk, suasana yang tenang dan merasakan lagi jajanan favoritnya yang tidak ada gantinya di Jakarta. Tapi yang paling ia rindukan adalah mamanya, dan juga papanya.
Tapi papa juga yang telah menyakiti hatinya. Yang Anggi ingat sekarang hanya semua pertengkaran, rasa sakit, perasaan bahwa papanya telah mengkhianatinya, mengkhianati mamanya, perasaan benci itu serasa menusuk-nusuk bagai duri dalam hatinya.
Kematian mamanya meninggalkan rasa sangat sedih di hati Anggi. Tetapi pengakuan papanyalah yang lebih membuat Anggi patah hati. Sebagai anak semata wayang, Anggi adalah kesayangan papanya. Tapi, semua berubah setelah Rea masuk diantara keduanya.
***
Anggi masih mengingat suasana sore itu sangat indah dan damai. Bentuk matahari senja yang bulat terlihat jelas. Angin pun berhembus sepoi-sepoi. Anggi baru saja pulang dari ziarah ke makam mamanya. Dia hampir selalu menyempatkan berziarah kesana setiap pulang kuliah. Mamanya, baru beberapa bulan lalu meninggal dunia karena sakit.
Ketika dilihatnya mobil papanya masuk ke garasi. Anggi setengah berlari menuruni tangga menyambut kedatangan papanya. Anggi berhenti ketika melihat papanya turun dengan mimik muka yang serius. Baju kerjanya tampak sedikit berantakan.
“Pasti ada yang mengganggu pikiran papa.” Ucap Anggi dalam hati.
"Hai, sayang. Nunggu papa y?"
"Iya... Papa capek? Anggi sudah siapkan makan malam buat kita, dan air panas buat papa mandi."
"Makasih, sayang. Papa mau mandi dulu y..."
Selepas makan malam yang hanya berdua, papanya membuka pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen
Short StorySetelah kematian mamanya, Anggi baru mengetahui kalau dia memiliki ibu tiri yang selama ini dirahasiakan papanya. Dan ibu tiri itu ternyata...