Two Cities - 2. Seoul [End]

160 27 7
                                    

Seoul, 2017

Seoul, annyeong..

Sudah lama aku tak merasakan suasana ini, hangatnya Seoul saat musim semi. Kuhela nafas dalam-dalam. Ada perasaan rindu yang amat dalam, sekaligus rasa sakit dan trauma muncul kembali di benakku.

Aku dengan style hitam-hitam masuk ke rumah duka yang saat ini dipenuhi oleh orang-orang yang datang memberi ucapan bela sungkawa. Kulewati beberapa orang yang asyik minum soju dan makan di tempat yang disediakan di rumah duka tersebut. Langkahku sampailah pada satu ruangan berukuran 6x5 meter dimana di hadapanku terpajang foto nenek beserta karangan bunga dan beberapa sesajen. Kulihat ibu duduk bersandar di salah satu sudut ruangan tersebut.

"Eomma.." Panggilku dengan suara parau.

Ibu langsung menoleh ke arahku. Wajahnya sendu, matanya sembab. Aku tahu dialah orang yang paling terpukul dengan kepergian nenek. Satu-satunya orangtua yang ia punya kini telah meninggalkannya.

Kami berdua berpelukan. "Miyanhae, karena baru datang sekarang." Tangisku pecah di pelukan ibu.

Sebuah pelukan lain bisa kurasakan dari bahu kananku. Aku mendongak sedikit untuk melihat siapa yang memelukku. Chaerin Eonni. "Eonni.." Kami bertiga larut dalam tangisan. Sedih, rindu, semua jadi satu.

Aku memberikan penghormatan terakhir untuk nenek. Mungkin aku adalah cucu paling kurang ajar yang pernah ia punyai. Di saat beliau sakit, aku tak mau menjenguknya sedikitpun. Saat dia bilang merindukanku, aku tak kunjung datang menemuinya. Semua itu terhalang oleh sikap egoisku. Aku hanya tak ingin tersakiti lagi. Makanya aku tak mau menginjakkan kaki ke Korea.

"Nek, maafkan aku. Aku datang kemari, di saat Nenek sudah bahagia disana.." Aku tersenyum lalu menghapus airmata yang membasahi pipiku.

***

9 tahun semenjak kepergianku, banyak hal yang berubah dan tak kuketahui. Aku memang mengisolasikan diriku dari kabar disini. Terutama kabar kakakku dengan si brengsek itu.

Tunggu, sudah 9 tahun berlalu tapi kenapa aku masih menyebutnya brengsek? Entahlah. Rasa sakitku masih membekas meski aku sudah menguburnya dalam.

Perubahan pertama yang aku temui di saat pemakaman nenek adalah aku memiliki keponakan. Seorang bocah laki-laki berumur 6 tahun. Wajahnya mirip sekali dengan si brengsek itu. Saat bocah itu menghampiriku, aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Apa aku harus tersenyum? Memarahinya? Atau mencuekkannya?

Belum sempat aku berinteraksi dengan anak kecil itu, sebuah suara memanggil namanya. Aku menoleh dan ada rasa benci, rindu, dan sedih begitu melihatnya. Si brengsek itu kini berada di hadapanku. Ada senyum yang sama seperti saat pertama kali kami bertemu. Namun hal yang membuatku terkejut adalah keadaannya sekarang. Dia duduk di kursi roda.

Sebenarnya apa yang terjadi padanya?

.

.

Kami berdua duduk di bangku taman yang ada di gedung rumah duka ini. Meninggalkan keramaian sejenak. Kupandangi dirinya yang duduk di kursi roda tersebut. Ada rasa kasihan melihat kondisinya saat ini.

"Dua tahun yang lalu aku terlibat dalam sebuah kecelakaan. Dan dokter memvonis kakiku lumpuh seumur hidup." Ungkapnya.

Tak ada obrolan yang ingin kukeluarkan. Melihat kondisinya sudah membuatku sedih dan prihatin. Namun sisi jahatku berkata bahwa dia pantas mendapatkannya.

"Chaewon.." Panggilnya. Aku menoleh dan lagi-lagi dia tersenyum tenang menatapku. "Kamu terlihat baik sekarang. Aku bahagia dan lega kamu hidup bahagia disana." Ucapnya.

Kamu hanya bisa berkata dan melihatku dari luar. Tapi kamu sama sekali nggak tahu betapa beratnya perjuangan untuk melupakanmu. Batinku.

"Kamu juga. Kamu melakukan yang terbaik untuk kakakku. Terimakasih, karena kamu, aku jadi punya keponakan yang mirip denganmu." Candaku sembari tersenyum ironis. Aku ingat sosok kakakku yang menangis tadi. Terdengar pilu dan terpukul. "Jangan pernah membuat kakakku sedih. Aku merelakanmu karena kakakku dan untuk kebahagiannya." Terangku dengan tegas.

Aku beranjak dari tempat dudukku.

"Kamu mau kemana?" Serunya.

Tanpa menoleh sedikitpun aku menjawab, "Memberi ucapan terakhir untuk Nenek." Jawabku.

Ya. Kurasa ini sudah waktunya untuk kembali ke rutinitasku lagi. Aku tak ada rencana untuk kembali kesini. Entah sampai kapan.

.....
...

"You may have lost someone suddenly, unexpectedly. Perhaps, you began losing pieces of them until one day, there was nothing left.

I realize now what I lost. He doesn't get to choose, he just fall in love. It's true he doesn't deserve me, he deserves much better."

-END-

******************

CERITA INI CUMAN FIKSI. KARAKTER JUGA FIKSI DAN EMANG SENGAJA MINJEM PEMAIN-PEMAIN DI SEBUAH DRAMA.

SPREAD LOVE, NO HATE🙏

Goodbye [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang