A Neigbor

59 10 6
                                    

Hatiku hancur. Serpihannya tak berbentuk. Mengulang kembali semua memori itu. Seolah ingin mematrinya lebih dalam di benakku. Aku tidak sanggup jika disuruh merasakan rindu yang lebih dari ini. Terkadang aku kasihan melihat hatiku yang menangis ketika mendengar namamu. Aku tau bahwa rindu tidak menuntut banyak. Ia hanya ingin memberi tahu bahwa jarak dan waktu lebih berharga dari sekedar air mata sia-sia yang jatuh tanpa alasan. Rindu juga tau dimana ia harus melebur, menyatu bersama hati pemiliknya. Namun satu hal yang aku tidak tau, dimana pemilik rinduku berada?

Sejatinya rindu itu membawa sebuah pesan. Pesan yang ingin ia sampaikan kepada semua pemilik dan perasa rindu. Pesan dari rindu itu mungkin seperti ini, kepergian selalu didasari oleh suatu alasan. Dan sekarang aku tau, kamu pergi dengan alasan yang ada di hatimu dan entah kapan akan kamu jelaskan untuku.

Betapa kamu tidak tau, sembabnya mataku jika sebelum tidur selalu terbayang kamu. Kamu tidak akan pernah tau bagaimana merahnya hidungku setelah mengeluarkan air mata sia-sia, dengan alasan. Kamu, adalah alasan mengapa air mata sia-sia itu turun begitu saja.

Kamu sudah berhasil membuktikan bahwa rindu memang selalu punya cara untuk membuat air mata turun? Selama 5 tahun kamu tidak pernah gagal membuat air mata sia-sia ini mengalir. Dan selama 5 tahun itu juga, aku tidak akan pernah capek walau menangisi hal yang sama, waktu yang sama, dan ditempat yang sama. Menangisi kamu, ketika aku sedang sendiri, di dalam kamar.

Ada satu pertanyaanku yang selalu ingin kutanyakan. Apakah kamu sesakit ini tanpaku?

Satu demi satu kalimat disini tidak luput dari air mata sia-sia yang mengalir deras sampai membuat mataku terlihat lebih besar dari biasanya.

Aku ingin mengulang masa dimana kita pertama kali bertemu. Fikiran yang masih lugu, perkataan masih halus, dan hati belum terlalu sakit.

Dan untuk kesekian kalinya aku mengharapkan hal yang sama di bawah guyuran hujan yang seolah ingin mengajaku bermain. Namun kali ini kutolak, aku terlalu sakit jika harus bermain dibawah derai hujan, sendirian.

Aku tidak tau, apakah benar tetes-tetes air hujan ini memang ingin mengingatkanku tentang luka yang sudah sekian lama aku pendam. Tentang luka yang sudah sekian lama aku redam sakitnya. Tentan luka yang sekian lama ingin aku lupakan.

Secara tidak langsung, kamu mengajarkan aku untuk membenci sebuah janji. Kamu, menyuruhku dengan perlahan untuk tidak mempercayai janji. Ada satu yang tidak kamu ketahui, aku sangat benci janji, sekarang.

Dari sekian banyak janji yang kamu paparkan, ada satu yang sangat menyayat. Janji bahwa kamu akan selalu menjadi tetangga terbaik dengan mengajaku menari setiap hujan mulai berjatuhan menghibur para pecinta hujan di bumi.

Dan disela-sela derasnya hujan kala itu, kamu berkata, "kalo kangen, coba tutup mata lo sambil nari di bawah hujan,"

Namun kenyataan tidak sejalan dengan fikiranmu, aku sudah melakukannya hingga demam menyiksaku berhari-hari. Bersin dan batuk menjadi teman setiaku. Dan aturan dokterpun sudah kulanggar, tetap saja rindu ini tidak kunjung habis.

Aku sekarang mengerti, jika dengan menutup mata dan menari dibawah hujan bisa mengurangi rasa rinduku adalah omong kosong yang kamu ciptakan untuk menghiburku, kan?

Hari ini adalah hari pertama dimana aku tidak menari dibawah hujan sambil memejamkam mata seperti yang kau bilang. Aku sudah terlalu lelah jika disuruh mengulang hal sia-sia yang sama, berulang kali.

Jika ditanya mengapa sekarang aku tidak suka hujan, maka kamu adalah jawaban paling pertama yang aku lontarkan saat ini. Aku hanya berharap kalau hujan mau untuk menyampaikan tetesan air mata rinduku yang tidak bisa aku bendung lagi.

A NeigborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang