"Sial!"

Mereka semakin mendekat. Rombongan sirkus yang diketuai Singa itu tidak gampang menyerah. Apalagi setelah Cindy berhasil mengelabui mereka hingga dipanggil ke ruang Bimbingan Konseling. Kali ini, Cindy tidak bisa berharap banyak, kecuali berdoa untuk bisa sekolah esok hari tanpa luka berarti.

Kaki-kaki lincah Cindy hampir terpeleset di koridor, tepat ketika Pak Sobrin, janitor sekolah mengumpat karena usahanya dikotori sepatu cewek itu. Cindy ingin berhenti, meminta maaf, atau sekalian membantu Pak Sobrin membersihkan hasil kekacauannya. Kalau saja wajah-wajah merah dengan asap mengepul di kepala rombongan itu tidak mengejar.

"Cindy! Berhenti di situ juga!" suara bariton Leo yang biasa dipuja siswi-siswi satu sekolah, kini terdengar layaknya dehidrasi di gurun pasir. Serak dan meradang.

Berhenti? Yang benar saja!

Cindy cukup waras untuk mematuhi perkataan petitah itu. Ia mungkin akan dihadapkan pada kawanan buas Leo yang mematahkan jari-jari mereka sebelum beraksi, mata yang tajam tetapi tidak membuat Cindy gentar, dan menjebloskan dirinya ke ruang BK sebagai balas dendam. Katakan mereka pecundang karena mengerjai cewek, tapi itulah mereka. Dan di mata kawanan itu, Cindy bukanlah cewek seperti kebanyakan. Tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak memberi cewek itu pelajaran.

Masalahnya dimulai ketika tadi pagi Leo menabrak lengannya. Saat itu Cindy baru saja datang dan berjalan santai, sambil berharap hari ini lancar. Cewek itu hampir lupa, kalau harinya tidak pernah bisa berjalan lancar kalau Leo ada di sana untuk menghancurkannya. Bukan hanya Leo, tapi juga dua teman sejenis cowok itu ikut-ikutan menabrak lengannya dari belakang. Hingga Cindy terjatuh ke depan dan mendapat gelak tawa dari mereka yang melihat. Kawanan Si Singa itu adalah Aves dan Apis, cowok kembar yang kembar pula sifat menyebalkannya.

Karena insiden sederhana itulah, Cindy merencanakan pembalasan dendamnya. Ia nekat, jalan mengendap-endap ke dalam ruang BK yang siang itu sedang sepi. Guru-guru sibuk ke kantin, beberapa biasanya berjaga di depan pintu keluar sekolah demi meminimalisir murid kabur, sisanya sibuk merekap absen ke kelas-kelas. Cindy selalu tahu kalau ruang BK akan sepi di saat jam seperti ini. Guru-guru BK sengaja membiarkan ruangan terbuka dan tidak dijaga, sebab tidak akan ada murid yang berani ke sana. Tidak ada pula barang berharga untuk dikhawatirkan. Tetapi mereka melupakan murid se-iseng Cindy. Membuat cewek itu punya kesempatan untuk masuk.

Ia keluarkan uler-uleran dari sakunya. Uler-uleran yang berdiameter kecil dan tidak terlalu panjang, tetapi cukup membuat kaget. Apalagi guru-guru BK itu wanita semua, mudah histeris. Cindy terkekeh sejenak sebelum memberi nama pada uler-uleran itu memakai spidol permanen.

LEO.

Cukup satu nama itu tanpa embel-embel apapun, maka semua guru di sini pasti tahu Leo mana yang dimaksud. Maka ketika bel masuk dan semua guru BK berada di tempatnya, salah satu guru berteriak histeris. Mereka menemukan uler itu dan langsung tahu pemiliknya begitu membaca nama yang tertera di sana. Leo dan kedua temannya dipanggil. Trio pembuat masalah, begitu mereka dikenal guru, langsung dijatuhi hukuman membersihkan kamar mandi setiap pagi, selama seminggu sebelum bel masuk.

"Tapi, Bu, buat apa saya meletakkan uler-uleran di sini? Terus, bunuh diri dong namanya kalau menulis nama sendiri di tubuh ulernya!" bantah Leo merasa dituduh.

Aves mengangguk kuat, "Hm! Lagi pula kita nggak punya uler-uleran seperti itu. Kalau ibu kasih ke kita, boleh juga!" segera Aves dapat hadiah jitakan dari Leo.

"Dengarkan penjelasan kami dulu, Bu." Kali ini Apis yang maju dengan wajah meyakinkannya. Leo tersenyum bangga. Setidaknya kembaran Aves bisa membantu mereka.

One Less ProblemWhere stories live. Discover now