Malam ini. Pandeglang, Agustus tahun 2015. Adalah menjadi saksi bagaimana aku kembali menginjakan kaki ditanah kelahiranku. Rasanya seperti sudah lama tidak pulang. Entah lama atau sebentar waktu dua tahun itu. Tapi yang pasti aku sangat rindu dengan tanah kelahiranku. Meski beberapa masih sama seperti dulu. Termasuk cuaca dimalam hari. Jika kalian datang ke kampungku – sengaja kusebut kampung karena rumahku berada diperkampungan. Ya. Jika kalian datang kesini. Aku yakin, kalian pasti tidak akan tahan dengan cuacanya dimalam hari. Benar-benar sangat dingin dan pasti akan membuat tubuh kalian kedinginan.
Dan hanya satu yang benar-benar berubah 160 derajat dari dua tahun sebelum aku pergi bekerja di Jakarta. Yaitu rumahku ini. Kini dindingnya bukan lagi anyaman bilik melainkan sudah berdinding tembok yang kokoh. Aku rasa jika hujan turun-pun tidak akan lagi bocor seperti dulu. Dan semua itu tentu saja berkat diriku, karena aku kerja di Jakarta sebagai seorang Penulis naskah disalah satu majalah harian yang cukup terkenal di Jakarta.
Dan entahlah, kenapa malam ini aku malah termenung didepan layar laptopku yang sengaja kubawa pulang kampung, padahal harusnya aku sudah tidur karena malam sudah larut, terlebih tubuhku pegal-pegal rasanya karena perjalanan dari Jakarta ke kampungku memakan waktu yang cukup lama. Atau mungkin aku merasa asing dengan kondisi kamarku sekarang, sehingga sulit memejamkan mata. Entahlah, yang pasti malam ini, aku ingin bercerita tentang seseorang lelaki yang pernah hadir dalam hidupku ketika aku SMA dulu. Meski kejadian itu sudah berlalu hampir empat tahun lamanya. Entah ada apa gerangan kenapa aku ingin menuliskanya untuk kalian, mungkin karena dengan kembali ke Pandeglang mampu membangkitkan ingatan atas kisahku bersamanya, bersama dia. Dimas.
"Hei Zack" Suara khasnya sedikit ngebas kala itu saat aku datang kesekolah dan hendak masuk kedalam kelasku. Oh ia. Kalian belum tahu namaku. Tak apalah. Sengaja. Biar Dimas yang menyebut namaku pertama kali dalam cerita ini. Bukan kalian.Meskipun Dimas hanya memanggil separuh namaku, karena tentu saja namaku bukan Zack. Melainkan Zacky Yudhistira. Ups!. Kalian jadi tau sekarang. Baiklah mari ikuti cerita yang kutulis dalam rangka mengenang akan dirinya.
**
Pandeglang, April 2011
"Hei Dimas!"
Aku menimpalinya saat ia memanggilku pagi itu. Niat mau masuk kedalam kelas-pun aku urungkan karena Dimas menghampiriku. Wajahnya Nampak berbinar-binar pagi ini. Entah memang seperti itu, atau hanya sebuah ilusi yang ada dalam mataku saat aku memandangnya.
"Jangan lupa ya?"
"Rapat osis nanti siang kan?" Kataku menebak. Dimas hanya tersenyum sebagai kode bahwa jawabanku benar.
"Aku gak mungkin lupa kok dims!"
"Ia. Cuma ngingetin" Katanya sambil sedikit tertawa pelan. Aku berusaha tak melihat tawa itu lebih lama. Aku yakin kalian faham. Kalau tak faham. Kalian pasti tak pernah merasakan bagaimana suka pada seseorang.
"Enggak kok"Kataku kembali meyakinkan. Lalu tiba-tiba Anita datang dengan memegang kedua pundaku dari belakang. Dia mengajaku segera masuk ke kelas. Katanya mau minjem catatan Buku Ips karena hari ini, Bu Siti sang Guru IPS akan melakukan pemeriksaan buku catatan. Dan karena aku dan Anita sekelas sekaligus kami adalah teman yang cukup akrab, otomatis Anita selalu mengandalkanku. Meski untuk kali ini aku merasa dia sengaja mengajaku untuk segera masuk kedalam kelas karena tak suka melihatku bersama Dimas. Aku bisa merasakanya dari bagaimana sekarang ia memandang Dimas. Bukan sekarang saja, tapi dari dulu. Mungkin karena Dimas dikenal sebagai Playboy disekolah ini, karena itulah kenapa Anita tak menyukai Dimas, setahuku alasanya memang itu. Terlebih Anita pernah berpacaran dengan Dedi, waktu itu dia kakak kelas kami, Dedi menusuknya dari belakang. Yang tak lain Dedi selingkuh dibelakang Nita. Mungkin sejak saat itu kenapa Nita benci dengan laki-laki beraura Playboy, seperti Dimas ini contohnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEI DIMAS!
Teen FictionMalam semakin larut membuatku ingin menulis sesuatu. Ya tentangnya. Namanya Dimas. Sampai detik ini suaranya selalu terngiang dibenaku, dimana dulu ia selalu memanggil namaku. Lalu dengan senyum karena senang, aku kembali memanggilnya. "Hei Dimas!"...