Nafasku semakin tak beraturan, perih di pergelangan tanganku menjalar hingga ke otak ku. Keringat dingin mengucur jelas di dahiku, dengan getar ku dekatkan wajahku, menyesap aroma amis bercampur manis di indra perasa ku.
Sesapan ku kini menjadi hisapan kuat, ku rasakan amis, asin dan manis menyapa lidahku mengirim impuls menenangkan di jaringan syaraf ku. Perlahan, aku merasakan ketenangan, perasaan yang selama ini aku cari hingga di sudut gang kotor ini.
Rasa menyenangkan ini semakin menarik ku ke dalam cahaya, meninggalkan lorong sempit gelap dan berbau pesing di sudut metropolitan yang katanya penuh dengan mimpi-mimpi indah.
Ada cahaya putih terang di hadapanku. Aku mengerjapkan mata ku, menyesuaikan mataku. Anehnya cahaya ini begitu lembut, tak menyakitkan. Tubuhku terasa ringan, tanpa sadar ku ikuti cahaya indah itu.
Aku hampir tiba di ujung cahaya.
Tes.
Air mataku mengalir dengan sendirinya, ada dia di sana. Ada dia dan senyumnya, dia dan mata bulan sabitnya tersenyum padaku. Tapi, kenapa air mata juga ada di wajah cantiknya?
Tidak.
Tidak boleh ada air mata mengalir di wajah ayunya.
Rai...
Suaranya terdengar lirih, aku terduduk. Gadis itu makin terisak.
"Jangan..." Ia menatapku.
"Aku tak ingin melihatmu menangis, ku mohon..."
Susah payah kuraih gadis itu dalam pelukanku, bahunya tergetar pilu. Terus menggumamkan maaf seperti kaset rusak. Isakan nya makin kencang membuatku mengguncang bahunya marah. Aku tak suka ia menangis, tak pernah suka.
Tangannya menyentuh pipiku, mengusap lebam di bawah mata kiriku.Ku mohon, jangan seperti ini....
Ku tatap matanya memohon penjelasan.
Jangan hancur seperti ini Rai...
Ku mohon...Ku genggam tangannya di pipiku, hangat. Selayaknya idiot aku tersenyum, aku merindukan sentuhannya. Sentuhan yang hanya bisa ku rasakan sesaat, hanya saat cahaya itu mengambil alih kesadaran ku.
Relakan semuanya Rai, jangan seperti ini...
Apa katanya barusan?
Biarkan semua berjalan apa adanya seperti dulu Rai...
Aku menggeleng kuat. Tidak akan.
Relakan aku Rai... Kau akan baik-baik saja tanpaku.
Gelengan ku kian kuat, tanganku terkepal hingga memutih. Gadis tak tahu diri ini benar-benar tak paham kah?
Lupakan aku..
"Tidak!" Teriakku, buku tanganku sempurna memutih.
"Tahu apa kau dengan hatiku?!" Aku meneriakkannya tepat di depan wajahnya dengan getar. Siapa bilang lelaki tak boleh goyah? Siapa bilang lelaki tak boleh rapuh? Tahu apa mereka dengan hidupku?
"Aku... Aku.. "
Aku sangat ingin mengumpat padanya, mencari segala jenis kata kasar untuk ku muntahkan di hadapannya. Gadis tak tau diri. Namun kata itu tertahan di kerongkonganku. Tak sedikitpun ada yang lolos meluncur dari bibirku.
Pada akhirnya hanyalah aku yang menangis kencang, terduduk dengan kening menyentuh tanah dan tangan yang memukul tempat ku berpijak.
Tak tahukah dia aku kehilangan? Tak tahukah dia, bahwasanya dia adalah hidupku?
Tahukah dia, aku mencintainya dan dia nafasku?
Aku telah dan akan selalu mencintainya hingga seluruh sendi ku terasa luruh tanpanya?Bagaimana aku bisa hidup jika separuh nafasku meninggalkanku dan memintaku melupakannya?
Aku terus menangis, hingga dadaku terasa sesak. Ingin mati saja rasanya. Aku terus menangis hingga aku lupa caranya berhenti menangis, bahkan tanpa air mata pun sedu sedan itu tak kunjung berhenti. Jadi bagaimana aku bisa tahu cara hidup tanpanya jika untuk berhenti menangis pun aku tak bisa?
Hangat.
Dia meraihku ke dalam pelukannya, kurasakan bahunya juga bergetar karena tangis sepertiku. Bukankah kami pasangan idiot paling sempurna?"Bisakah kita selamanya seperti ini?" aku menatapnya memohon, jangan katakan bahwa kau tak punya harga diri. Kewarasan pun tak aku kenali jika berhadapan dengan raut ayunya.
Maaf... Maaf...
Gadis sialan itu tak menjawabku sama sekali, hanya mengucapkan maaf yang menjemukan itu berulang-ulang. Membuatku muak.
Prang!
Aku melempar pecahan botol yang entah sejak kapan aku genggam, ataukah sebernanya selalu aku genggam.
Selalu seperti ini, ia menghilang setelah mengucapkan maaf. Menyisakan kesakitan yang lebih parah dari sebelum-sebelumnya.Mataku nanar menatap luka gores di sekujur tanganku, sebagian terlihat mengering sebagian lagi terlihat sedikit menjijikan.
Efek menenangkan ini terasa terlalu cepat, lebih cepat dari biasanya. Aku tersenyum menatap pergelangan tanganku.
Mungkin aku terlalu sedikit menyesapnya. Sedikit lebih dalam tak akan masalah, asal aku dapat bertemu dengannya lagi.
Ku raih pecahan kaca di sekitarku. Ku goreskan di lenganku, ku tekan dalam-dalam. Sedikit perih.
Namun tak masalah, aku bisa bertemu dengannya lagi. Setidaknya sedikit lebih lama. Ku sesap amis itu lebih lama.
Ah.
Ini yang ku tunggu. Perasaan ini yang aku nanti. Dan di sudut lorong sana ku lihat dia berlari menghampiriku.
"Kau datang lagi... "
***
Huehehe,
Ini sekedar iseng, suntuk ga ada kerjaan.
Bhay!