🙂

57 5 11
                                    

Aku berjalan dalam kegelapan, ah aku sudah terlalu biasa dengan gelap. Bahkan ku yakini hatiku pun gelap, secara harfiah.

Hahaha.

Nikotin, dan obat-obat penenang yang selama ini menjadi temanku tentu ikut andil untuk memberi 'warna' pada hatiku. Aku tersenyum miris sekali lagi.

Aku terus berjalan hingga lelah. Tapi ruangan gelap ini seakan tak berujung. Aku ingin berhenti tapi aku tak bisa.

Aku. Entah bagaimana, mencintai gelap ini. Rasa sakit dan sesak ini seperti candu, aku berulang kali berkata tak ingin mencecap nya lagi. Namun, selalu dan selalu aku kembali mencari sesak dan gelap ini. Pun saat sadar ku.

"Ki..." Suara itu, melodi ku.

Perlahan ku lihat cahaya di ujung sana, ada siluet cantik melambai ke arahku. Ah. Aku mengenalinya.

Tubuhku seolah ringan, aku melayang mendekati melodi ku. Nafasku. Aku semakin dekat dengan siluet melodi ku. Namun cahaya di balik punggungnya terlalu kuat, memaksaku untuk memejamkan mataku. Aku memaksa untuk membuka mataku, tak ingin melewatkan sedetikpun untuk memandang parasnya. Namun yang kulihat bukan dia.

Putih.

Sekeliling ku hanya ada putih. Hanya ada warna itu, tak ada sosok melodi ku lagi.

Tit. Tit. Tit.

Ah, sial.

Aku mengenali suara ini, suara mesin penunjang kehidupan. Aku terlalu hafal dengan suara mesin-mesin ini. Aku terlalu sering bergaul dengan mereka, atau bisa ku katakan mungkin jika mesin-mesin ini bisa bicara mereka akan mengumpat dan berkata betapa muak nya mereka menempel di tubuhku berkali-kali.

Aku terkekeh pelan.

Ah, Tuhan terlalu sering mengajakku bercanda. Apa aku begitu tampan sehingga ia tak mau menambahkan ku jadi salah satu malaikat atau iblis-Nya di neraka? Atau Ia terlalu bahagia menjadikan ku salah satu dari lelucon-Nya mengenai semesta?

Selera humor mu sungguh buruk Tuhan, atau bisa ku sebut tiarap?

Hah.

Aku terkekeh lagi, mendapati tenggorokan ku terasa kering. Kali ini berapa hari aku tertidur?

"Seperti nya 3 hari cukup untuk membuatmu bangun untuk sekedar mentertawakan diri" Sebuah suara menyapu pendengaran ku.

Suaranya terdengar....

Asing.

Aku tak pernah mendengar suara ini sebelumnya, mungkin kali ini aku ada di rumah sakit lain? Tapi rumah sakit mana di kota ini yang belum aku sambangi ICU nya?

Aku meliriknya.

Ia menghembuskan napas kuat-kuat, sepertinya ia mendengus marah. Dengan gerutuan tak terucap ia memeriksa setiap alat penunjang hidupku, apa bekerja dengan baik atau tidak. Ia hanya melaksanakan tugasnya, tak melirik ku sama sekali. Apa..

"Kalau kau ingin bertanya kenapa aku tak mengacuhkan mu, aku tak akan menjawabnya" Ujarnya tenang, seraya mencatat tiap tanda-tanda vital ku.

"Kau termasuk kuat untuk orang yang mencoba bunuh diri untuk ke sekian kali" Gerutunya.

Hei, aku pasien disini. Kening ku berkerut, menatap nya tak senang.
Ia hanya mendelik membalas tatapan tajam ku lebih tajam lagi.

Dokter gila. Umpat ku.

Ku baca name tag nya.

Chu Sojung.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 24, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang