sebuah fiksi. 20171026.
***
Kabar itu datang Minggu siang, setelah aku melihat sendiri gigil gemeletuknya kemarin sore ketika aku dan dia berteduh di bawah toko, mendengar hujan sambil berdoa mengusir dingin. Aku menunggu dijemput kakakku, ia tidak berani menembus hujan. Sejak beberapa hari yang lalu dia memang sudah flu, namun aku tahu dia kuat. Aku sekali dua kali menatapnya, ia terus mengelak.
Kabarnya berbunyi: dia sakit. Yang membawanya tidak lain adalah Aura, sekaligus meminta doa sembari terdengar sedih. Dia terkena demam akibat nyamuk belang-belang. Aura mengajak teman-teman lusa menjenguk sekaligus membujukku memberi tumpangan.
Minggu sore, sudah banyak yang menanyai kabar. Di rumah sakit apa aku dirawat, sejak kapan, kapan boleh pulang, atau apakah makanan rumah sakit setidakenak itu—pertanyaan Aura. Di obrolan grup semua orang mendoakanku segera sembuh; dia tidak. Kemarin dia yang melihatku seperti itu, seolah memastikan aku tidak apa-apa. Masa dia tidak ikut mendoakan?
Aura bilang lusa teman-teman akan datang.
Aku memarkir mobil dan mematikan mesin. Aku menyuruh semua turun selagi aku menyimpan tiket parkir di dompet. Kemudian kami berjalan menuju kamar rawatnya bersama teman-teman yang berbeda rombongan.
Pintunya terbuka. Satu persatu masuk dan menyapa hangat. Beberapa mengajakku bercanda. Seperti yang sudah kuduga, dia berada di belakang barisan. Dia hanya tersenyum, menatapku tepat di mata sedetik lamanya dan kemudian menutup pintu.
Kontak mata itu terjadi cepat, seperti yang sudah-sudah selama beberapa tahun ini. Aku berdiri agak jauh darinya. Alfa, Fazil, dan yang lain berbagi cerita tentang apa yang terjadi dua hari ini. Aku sesekali ikut tertawa. Aura duduk di ranjang, jemari lentiknya bermain di jemari laki-laki yang terbaring (namun masih terlihat mengagumkan) itu. Di sela tawaku, aku beberapa kali menangkap tatapnya pula. Berat.
Dia tidak bicara apapun. Hanya ikut tertawa. Aku ingin bertanya banyak sekali. Bagaimana tugas Sejarahnya? Apakah ulangan Biologi kemarin susah? Sudah sampai mana materi Kimia yang dipelajari? Olahraga kemarin lari berapa putaran? Apakah stalker itu mengganggunya lagi?
"Kimia kemarin sampai mana?" ia lurus-lurus menatapku dan berucap setelah beberapa saat hening. Aku bergumam sedikit kemudian menjawab pertanyaannya yang tiba-tiba, sebisa mungkin kalimatku koheren dan tidak berbelit.
Ia sedikit membelalakkan mata ketika aku (akhirnya) bertanya dan banyak bergumam. Gugupnya terlihat sedikit, kemudian ia mengendalikan ucapannya, entah ada yang sadar atau tidak. Pada akhirnya ia bisa menjawab. Aku terus bertanya dan bertanya. Mendengar suaranya menjawab agaknya menenangkan.
"Kamu makan 'kan tadi siang?" tanya Aura. Ia menarik pipiku pelan. Aku mengangguk.
"Asik banget, ya?" goda Fazil. Ia mereka ulang adegan itu dengan Dika. Semuanya tertawa. Aku diam-diam menarik napas berat. Sudah hampir satu tahun dan masih terasa berat. Beratnya belum berkurang sedikitpun meski sudah mediasi berbulan-bulan. Lamban.
"Sakitnya jangan lama-lama," ucap Aura manja. Aku tertawa kecil, merasa semakin sayang.
"Kenapa?" tanyaku.
"Yang mau ngajak aku beli jajan di trotoar siapa kalau kamu sakit lama-lama?"
Serentak teman-temanku sahut-sahutan menggoda. Aura tersenyum malu. Aku membalas malas dengan senang terselip, masih bermain dengan jemari Aura.
Dibilang tidak kesal, ya, bohong. Namun, aku melihat rona bahagianya, senyumnya yang lebih rekah membalas ucapan Aura. Aku tersenyum tipis, kemudian memutuskan untuk izin pulang lebih dulu. Untung hari ini Mami mengadakan kajian sore sehingga aku bisa beralasan membantu. Karena, oh, apakah ada yang akan tahan kalau menjadi aku? Ya, bisa saja aku tahan demi melihat mata itu melengkung lagi saat tengah lemas tubuhnya. Namun, adalah sebuah langkah bodoh bukan, untuk menonton semuanya?
"Eh, maaf, kayaknya gue harus pulang," ucapnya. Sepersekian detik matanya menangkap tautan jariku dengan milik Aura.
"Kenapa?" tanya Fazil.
"Mau ada pengajian di rumah, harus bantu-bantu," ucapnya tersenyum, namun tidak mencapai mata.
"Kalian nggak apa-apa 'kan, pulang sendiri?" tanyaku pada teman-teman yang tadi ikut denganku. Mereka mengangguk sementara matanya terpancang lurus-lurus padaku.
Aku pamit pada semuanya, tidak menyebut satu-satu. Aku buru-buru mengambil kunci mobil di tasku dan bergerak menuju pintu.
Aku hendak berterima kasih secara personal namun urung.—
Aku hendak pamit secara personal namun urung.
—Pintunya sudah ia tutup.
***
Apa yang terjadi kalau saya menyempatkan diri untuk datang?