Aku menghempaskan tubuh letihku di atas ranjangku. Mataku menatap nyalang langit-langit kamar.
'Sial. Harus ya ketemu dia.' rutukku pada kesialan yang terjadi pada diriku hari ini.
Tadi di Cafe aku dikunjungi kostumer yang tak pernah kuharapkan kedatangannya. Mantanku. Pria yang mencampakkanku setelah kejujuran yang kuceritakan padanya.
Selama ini, setiap menjalin hubungan dengan lawan jenis tak pernah aku jujur pada pasanganku akan kekuranganku. Tapi, bersamanya membuatku mengatakan kebenarannya. Aku mengakui ketidaksempurnaanku. Aku jujur karena hubungan kami tidak lagi main-main. Aku jujur agar dia bisa menentukan pilihannya. Bersama denganku dan hidupnya takkan lengkap. Atau dia bisa meninggalkanku. Bahagia dengan wanita lain.
Kala itu dengan kata-kata manisnya dia memilihku. Meyakinkanku bahwa masalah yang kuhadapi bukan penghalang untuk hubungan kami. Wanita mana yang tak bahagia kalau lelaki yang dipikir akan menjadi masadepannya menerima kekurangannya. Dan tentu saja efeknya sangat besar, aku berbunga-bunga. Aku bahagia atas penerimaannya.
Namun bahagiaku tidak bertahan lama.
Hari itu, sebulan setelah pengakuanku aku mendapatkan kejutan besar, sebuah undangan.
Ya, undangan pernikahan bertuliskan namanya. Hatiku hancur. Lebur.
Mengapa dia memberikanku harapan palsu. Memberikan janji-janji manis kalau akhirnya dia menghadiahiku dengan kertas bertuliskan namanya dan wanita lain didalamnya.
Mengapa tak dibiarkannya saja aku bodoh, tidak tahu tentang hari bahagianya.
Tapi dia terlalu yakin aku mampu menerima kenyataan sehingga dengan teganya dia mengirimiku undangan hari besarnya.
Aku menatap nanar undangan yang kugengam erat ditangan.
Andai saja dia jujur diawal tak akan aku merasa sesakit ini. Dia membuat anganku melambung tinggi. Membuatku menebar mimpi tapi kemudian dia jatuhkan ku.
Aku tak akan marah kalau dia jujur padaku. Toh aku sadar kurangku tak termaafkan. Tapi bermain di belakangku dan mencari pembenaran dengan melimpahkan salah atas kurangku tak bisa kumaafkan.Seharusnya dia jujur padaku kalau dia tidak bisa menerima wanita seperti diriku. Seharusnya dia tidak berpura-pura padaku. Dan bermain hati dengan temanku sendiri. Aku sadar diri. Aku tidak akan egois kalau alasannya adalah kondisiku. Tapi dengan entengnya dia berkata kalau dia merasa kasihan padaku, makanya dia tidak tega memutuskan hubungan kami saat itu. What the fuck! I hate people like that. Ketika kamu tidak suka say it. Sepahit apapun itu. Karena akan lebih pahit rasanya kalau tahu di akhir. Hal itulah yang membuat aku marah padanya. Dan setelahnya kami tidak pernah bertegur sapa. Hingga tadi dia muncul di Cafe dengan wajah tanpa dosa memintaku untuk jadi wanitanya. Mati saja kau! Makiku padanya.
Iya, dia memgajukan permintaan gila. Dia mintauntuk menjadi wanitanya lagi!
Kuembuskan napas kasar untuk meredakan sesak di dada. 'Tuhan kenapa kau takdirkan hidup seperti ini padaku.' ucapku pada ruang kosong. Tak ada siapa-siapa di sini. Hanya aku dan keheningan malam. Tak ada keluarga yang akan mendengar keluhanku. Aku hanya 'sebatang kara'.
Mereka yang kusebut keluarga tak menganggapku ada.
Dulunya aku punya orang yang kusebut keluarga. Dulunya. Tapi kini aku harus memendam semua rasaku sendiri. Menyimpan lukaku sendiri.
Lagi embusan napasku terdengar. Mengingat mantan dan ketidaksempurnaaku adalah kombinasi yang pas untuk menyalahkan Tuhan atas nasib yang menimpaku. Tapi, setelah akal sehatku kembali, aku merutuki kebodohanku. Tak ada manusia yang di ciptakan di dunia ini untuk menjadi sia-sia. Boleh saja saat ini Tuhan mengujiku dengan segala kebaikannya. Boleh saja keluargaku menggatakan aku wanita yang tak berguna. Tapi di akhir itu semua pasti akan ada bahagia, begitulah kata penghibur yang sering kutanamkan dihatiku. 'Tak ada guna berkecil hati, tak ada guna mengeluh tentang apa yang terjadi karena bahagia itu hanya untuk orang yang ingin. Jadi, kalau kamu ingin bahagia itu harus dari diri kamu. Hal kecilpun akan menjadi sebuah kebahagiaan apabila kamu memandangnya dengan hati yang bahagia.' kata-kata yang sering kuingat kalau aku mulai khilaf dan mulai menyalahkan Tuhan.