Yang Tak Terlihat

37 1 1
                                    

Pagi-pagi sekali Ralisya sudah masuk ke sekolah, dia tak biasanya masuk sepagi ini. Ya wajar saja sih, dia masuk sangat pagi karena dia belum menyelesaikan tugas fisikanya, padahal deadline pengumpulan tugas itu adalah pagi ini.
Ralisya membuka pintu kelasnya yang masih tertutup cukup rapat karena belum ada murid lain yang masuk, baru beberapa penjaga sekolah yang sudah datang untuk membuka pintu kelas.

"Tumben-tumbenan kamu udah masuk?" Tanya Pak Jodi, satpam senior di sekolah SMA Kertajaya.

Pak Jodi sudah bekerja di sekolah selama 30 tahun, beliau adalah satpam sekaligus kebon sekolah yang sangat setia. Dia memiliki perawakan yang tinggi, cukup berotot, dan rambut putih karena sudah cukup tua. Umurnya kini sudah memasuki kepala 6. Sering kali dia diminta pensiun oleh anak-anak tapi dia hanya tertawa saja.

"Hehe iya Pak, tadi sih niatnya mau nyonto temen buat ngerjain fisika, eh sampai sini malah belum ada yang berangkat" Ucap Ralisya terlalu jujur.

Seharusnya dia tidak berkata sejujur itu kepada pak satpam, bisa saja satpam itu mengadu kepada guru dan membuat nama Ralisya menjadi jelek. Namun karena kecerobohannya itu, Ralisya tak pernah berfikir dahulu sebelum melakukan itu. Mungkin itulah yang membuat orang-orang illfeel dengannya.

Ditambah lagi, fisik Ralisya yang tidak sempurna mungkin juga yang membuat teman-temannya sedikit benci kepadanya. Ya sebenarnya kalau dibilang benci sih gak, tapi lebih tepatnya menjauhi Ralisya, entah karena sebab apa.

Otaknya yang tak begitu cerdas, ditambah badannya yang lumayan gendut, mungkin itulah penyebab teman-temannya menjauh. Perawakan putih, tapi sedikit tomboy, baik tapi cuek, hal yang mungkin aneh di SMA 1 Kertajaya. Beruntung dia masih memiliki teman setia yang mau menerimanya dengan apa adanya, tak perduli latar belakang Ralisya yang tidak kaya, tidak pintar, dan mampu mengajari Rali ketika dia tak bisa memecahkan soal matematika.

Ralisya benci sekali dengan yang namanya hitung-hitungan. Entah kenapa, saat mengerjakan soal hitunh-hitungan kepalanya terasa sangat sakit, dan terkadang nafasnya sesak seperti ingin mati.

Dulu waktu SD Ralisya adalah Matematika Holic, dia selalu dapat memecahkan soal-soal matematika yang ada di kelasnya, walaupun pelajaran tersebut belum pernah diajarkan kepadanya.

Gurunya saja sampai terkagum-kagum dengan kejeniusan Rali dalam bidang matematika.

Namun masalah yang sebelumnya tak pernah terbayangkan oleh Ralisya tiba-tiba saja datang.

Dia tak pernah menduga kalau dia akan mengalami kecelakan yang cukup keras di bagian kepalanya, kepalanya terbentur ke sebuah kayu yang cukup tajam untuk menggores kulitnya, hingga dia harus menerima beberapa jahitan di kepalanya itu.

Semua berubah setelah kejadian itu. Mimpi indah yang selalu diharapkan dan digadang-gadang akan menjadi kenyataan justru berangsur-angsur sirna. Karena kerja kerasnya selama di SD dulu dia pun diterima sekolah di SMP favorit. Kondisi akademisnya di SMP cukup memprihatinkan, namun keberuntungan datang di akhir masa sekolah SMP nya. Dia berusaha mati-matian untuk dapat mendapatkan nilai yang terbaik, dan akhirnya dia dapat diterima di SMA N 1 Kertajaya, SMA kebanggaan di mata orang-orang di sekitarnya.

Hal ini yang membuat Ralisya memutuskan untuk mengenakan hijab dan menjadi pemeluk agama islam yang lebih taat.

Namun, hal yang tak pernah dia duga juga terjadi. Dia berharap sekali untuk bisa memiliki prestasi yang gemilang di SMA nya, namun sayangnya kenyataan berkata lain. Hal yang terjadi justru sebaliknya, prestasinya di sekolah cenderung turun. Dia pun tak tahu apa penyebabnya.

Sepanjang hari selama di sekolah dia hanya merasa tidak nyaman dan bosan, hanya kehampaan yang dirasa, seolah-olah dia tak terlihat dan tak pernah dianggap.

Mungkin karena dia bukan orang berpunya, atau mungkin karena parasnya yang tak secantik lainnya. Dia pun menyadari bahwa dia tak dianggap di kelas, sehingga dia hanya memutuskam diam tatkala ada diskusi di kelasnya.

"Assalamualaikum?" Ucap Nadine yang baru masuk ke dalam kelas.

"Waalaikumsalam" Jawab Ralisya yang sedang membolak-balik buku fisika yang sebenarnya sama sekali tak dimengertinya.

Nadine segera duduk di bangkunya, dia membuka tasnya dan mengeluarkan buku fisikanya dengam wajah yang sumringah.

Dari ekspresinya terlihat bahwa dia sudah mengerjakan tugas fisika yang terasa sangat sulit bagi Ralisya.
Dengan muka heran, Ralisya bertanya kepada Nadine, "Loe udah selesai ngerjain fisika Din?"

"Hem" Balas Nadine dengan muka santai sambil membuka handphonenya dengan senyam-senyum. Sepertinya ada sesuatu yang lucu atau mungkin pesan dari seorang spesial yang membuat hati Sang Ketua OSIS itu berbunga-bunga.
Beberapa menit setelahnya, banyak murid yang datang ke sekolah.

"Eh eh gue nyonto fisika dong?" Ucap Tania sambil memegang buku fisikanya yang masih kosong.

"Enak aja nyonto, mikir dong! Ini gue aja hasil nyonto kelas sebelah kok" Ucap Handi nyolot.

"Biasa kali Mas, hasil nyonto kelas lain aja bangga" Balas Nadine.

Ralisya menoleh ke arah sumber keributan, dia memutuskan untuk tidak meminta contekan temannya.
Anak itu memang seperti itu, meskipun tak bisa mengerjakan soal fisika sendiri dia tak akan menyontek pekerjaan temannya, alasannya adalah dia ingin mengerjakan soal itu sesuai dengan apa yang dia bisa. Dia tak ingin memungkiri bahwasanya dia tak memiliki bakat science yang mumpuni.

"Heh loe, emang loe udah selesai nyelesain tugas fisika apa? Keknya loe nyantai banget" Ucap Jonatan yang selama ini benci sekali dengan Ralisya. Entah apa alasannya, namun Ralisya tak menghiraukan perlakuan dan hinaan yang dilakukan oleh Jonatan kepadanya.

Ralisya menatap mata Jonatan dengan tatapan yang tidak cukup dalam, dia tahu kalau Si Jonatan sudah lama membencinya. Jadi apapun yang dilakukannya tidak akan memberikan faedah, apalagi kalau dia sampai harus membalas ucapan Jo tadi.

Jo, panggilan itulah yang biasa digunakan untuk memanggil cowok itu. Cowok tinggi, putih, dan berbadan atletis namun sedikit memiliki temperamen dan ego yang timggi. Ya benar saja dia bersikap seperti itu, sejak kecil dia tidak pernah merasakan penderitaan dalam kehidupannya. Bagaimana bisa menderita, kekayaan orang tuanya saja sudah mencapai 1T tupiah, nilai nominal yang mungkin tak akan pernah dibayangkan oleh keluarga Ralisya.

Di dalam kelas, Ralisya merasa bahwa dia seharusnya tidak bersekolah di SMA Kertajaya.

"HARUSNYA GUE ITU GAK SEKOLAH DI SINI, GUE BENCI BANGET SAMA ANAK-ANAK DI SINI" Gumam Ralisya di dalam hati sambil menggedor meja lalu keluar dari kelas dengan perasaan kacau.

"Eh lihat deh, Si Ralisya kenapa tuh?" Ucap Tania, cewek yang sedikit freak di kelas.

"Udah deh biarin aja, mungkin dia lelah" Balas Nadine.

Di luar kelas Ralisya termenung sendiri merasakan penderitaan yang selama ini dirasakannya, namun dia tak pernah bisa mengatakan perasaannya itu ke teman-temannya.

"Tuhan! Tuhan! Tuhan!"

Ralisya menangis dan mengucapkan kata-kata itu di dalam hati sanubarinya yang terdalam.
Tiba-tiba Murni teman dekatnya datang menemui Ralisya.

"Hai Rali?"
"Loe ngapain disini? Emang gak ada pelajaran?"

Ralisya bangun dari kepedihan yang dirasakan dalam hatinya.

"Eh Murni, gue gak apa-apa kok, btw ngapain loe disini? Emang kelas loe kosong?"

"Enggak kosong sih, tapi tadi gue ijin ke kamar mandi, terus gue lihat loe disini. Ya gue kesini aja. Loe beneran gak apa-apa kan?"

"Santai aja, gue disini itu gara-gara gue lagi dengerin lagu, terus di dalam itu rame banget. Karena gue mau nyaman dengerin lagu jadi gue keluar kelas deh. Hehe"

Sebenarnya Ralisya berbohong kepada Murni, dia tak ingin kalau penderitaannya itu diketahui oleh teman dekatnya dan malah menjadi beban buat Murni

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 06, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

I Can See Your EyesWhere stories live. Discover now