PROLOG

121 5 6
                                    

"Sepuluh... sembilan... delapan."

Suara peringatan itu keluar dari mulut pria yang kini tengah berdiri kokoh menjaga pintu gerbang SMA Bumi Pertiwi. Dengan pandangan setajam pedang dan ketegasan bak Raja Rimba, siapa lagi kalo bukan Elang Mahardika, sang Ketua Osis SMA Bumi Pertiwi.

Beberapa siswa yang datang terlalu tepat waktu atau mepet bergegas masuk, melewati gerbang. Enggan tuk menghadapi masalah yang dijamin bakalan buat hidup mereka gak tenang.

"Tujuh... enam... lima... empat."

Hitungan mundur itu berlanjut, mengiringi detik yang akan pergi menyempurnakan angka tujuh. Elang kembali melihat arlojinya, saat sudah dipastikannya siswa terakhir sudah memasuki wilayah sekolah.

Dari kejauhan, disepersekian detik waktu yang tersisa gadis itu berlari dengan kedua tangan yang sibuk menata dasi. Bibirnya tak henti jua merapal materi yang akan diulangkannya pada hari itu.

"Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa... "

"Tutup aja gerbangnya." Perintah Elang pada Rian membuat gadis itu panik dan menambah kecepatan larinya.

"TUNGGU!"

Klek.

Telat. Pintu gerbang itu sudah dikunci oleh Rian.

"Yah... kok gerbangnya ditutup?" protes gadis itu. Mata coklatnya mendelik sewot pada Elang.

"Lo telat," jelas Elang datar.

Gadis itu mengangkat tangan kirinya, mensejajarkan arlojinya dengan mata Elang. "See, masih ada sepuluh detik lagi," elak gadis itu, tak mau kalah.

Elang menatap gadis itu sejenak,  kemudian kembali menatap arloji gadis itu.

"Dua, satu." Hitung Elang sembari mengiringi detik menyempurnakan jarum arloji gadis itu pada angka tujuh.

"Jadi sekarang lo udah telat." Elang tersenyum pongah.

"Eh enak aja. Nggak bisa gitu dong."

"Bisa, kalo gue yang jadi Ketua Osisnya." Elang berlalu begitu saja disusul Rian yang hanya bisa menatap gadis itu iba.

"ELANG!!"

Alhasil, gadis itu duduk berhadapan dengan Tiara di ruang Osis untuk meminta izin masuk ke kelas.

"Siapa nama lo?"

"Zae."

"Nama lengkapnya dong!" Perintah Tiara lagi.

"Udah deh Ra. Gue lagi males becanda ah." Tiara terkekeh geli saat melihat sahabatnya cemberut maksimal.

"Gue heran," Tiara kembali menulis diselembar kertas. "Kenapa setiap gue piket, lo pasti telat."

Zae menghembuskan nafas lelah. Disandarkan tubuh mungil-nya itu pada punggung kursi. "Gue gak akan telat kalo penjaga gerbangnya bukan si ketua Osis songong itu."

Tiara tertawa geli. "Si Elang maksud lo?"

"Siapa lagi emang?"

"Pantes aja lo telatnya selalu hari Senin," ledek Tiara. "Tapi ambil aja hikmahnya sih. Lo jadi gak usah ikut Upacara, kan?"

Zae mengangguk ragu.

"Tapi Ra-"

Ucapan Zae terhenti saat Bu Rima memasuki Ruang Osis dengan beberapa siswa dibelakangnya termasuk Elang, orang yang lagi gak sama sekali ingin Zae lihat.

"Pokoknya Ibu tidak mau tau. Kalian harus tetap berangkat. Siap gak siap. Ka-" ucapan Bu Rima yang panjang lebar terhenti saat matanya menumbuk Zae. "Zaesa Nindya, telat lagi?"

"Hehe." Zae menggaruk tengkuknya.

"Ha-he ha-he. Istirahat nanti kamu temuin ibu di Ruangan."

Zae mengangguk pasrah sembari melirik Elang tajam. Sedang yang ditatap hanya balas menatap datar.

**

Jam pertama sudah dimulai dua puluh menit yang lalu dan Zae sudah selesai menyelesaikan hukumannya.

Sesuai peraturan, Zae memang dibolehkan masuk pada jam ke-dua. Sambil menunggu, Zae berniat menemui Tiara di ruang Osis. Buat teman ngobrol.

"Ra! Gue ma-"

"Sst!" Tiara menunjuk objek dengan isyarat mata.

Zae tersenyum kikuk saat beberapa pasang mata kini menatapnya.

"Oke, jadi tidak ada kendala lagi, kan?" Bu Rima kembali meneruskan rapatnya yang terhenti karena kehadiran Zae.

"Ada lagi bu," ucap Andra.

"Apa?"

Zae duduk di depan Tiara. Berbisik pelan pada sahabatnya itu.

"Dito gak bisa ikut. Tangannya patah saat muncak kemarin. Dan kemungkinan butuh waktu pemulihan satu atau dua minggu."

"Berarti kita kekurangan orang," celetuk Okta.

"Dan susah buat cari pengganti Dito dalam waktu kurang dari 1×24 jam," imbuh Dwi.

"Lagi rapat apa sih?" bisik Zae sepelan mungkin.

"Buat perlombaan Kibar Bendera selasa besok."

"Muncak?" Zae berteriak penuh antusias, hingga membuat semua mata menatapnya.

"Lo bisa tenang gak sih!" bentak Elang. Kini matanya menatap Zaesa dengan sorot mematikan.

"Eh? So-"

"Zaesa!" panggil Bu Rima.

Aduh... Bakal nambah nih hukuman gue.

Zae meneguk ludahnya pasrah.

"I-ya bu."

"Kamu pernah muncak?"

"Per-nah. Satu ka-"

"Masalah selesai. Kita bisa berangkat besok." Putus Bu Rima sepihak.

Deg. Sepertinya ada yang salah nih.

-Pee-

MAAFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang