Nusaibah Binti Ka'ab Perisai Rasulullah

711 27 0
                                    


Kesetiaan sahabat Nabi Muhammad SAW dari golongan wanita atau sahabiyah sudah tidak diragukan lagi. Mereka rela berkorban mempertaruhkan nyawa bahkan hartanya demi membantu Nabi Muhammad SAW menyebarkan dakwah.


Salah satunya adalah Nusaibah binti Ka'ab, sahabiyah dari golongan Anshar. Nusaibah rela kehilangan nyawanya bahkan sebelumnya rela ditinggal suami dan anaknya agar bisa membantu Rasulullah berjihad.

Seperti tertulis di Perempuan Hebat Sepanjang Masa, ketika itu Nusaibah sedang berada di dapur. Suaminya, Said, sedang tidur di bilik tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh. Nusaibah mengira, itu pasti tentara musuh karena memang beberapa hari belakangan ketegangan memuncak di kawasan Gunung Uhud.

Setelah mendengar peristiwa itu, dia bergegas, meninggalkan apa yang sedang dilakukannya, dan masuk ke bilik. Suaminya yang sedang tertidur dengan halus dan lembut dikejutkannya.

"Suamiku tersayang," ujarnya, "Aku mendengar suara pelik menuju ke Uhud. Mungkin orang-orang kafir telah menyerang."

Said yang masih belum sadar sepenuhnya langsung tersentak. Dia menyesal mengapa bukan dia yang mendengar suara itu, malah istrinya.

Dia segera bangun dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu dia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Dia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.

"Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang," pintanya dengan haru.

Said memandang wajah istrinya. Setelah mendengar perkataannya seperti itu, tak pernah ada keraguan padanya untuk pergi ke medan perang.

Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara langkah kuda menuju ke utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk. Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan tersenyum kepadanya.

Senyum yang tulus itu semakin mengobarkan keberanian Said. Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas.

Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda yang tampaknya sangat gugup. "Ibu, salam dari Rasulullah," berkata si penunggang kuda, "Suami Ibu, Said, baru saja gugur di medan perang. Beliau syahid."

Nusaibah tertunduk sebentar, "Innalillah...," gumamnya, "Suamiku telah menang perang. Terima kasih ya Allah."

Setelah pemberi kabar itu, Nusaibah memanggil Amar. Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan, "Amar, kau lihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah syahid. Aku sedih karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk diberikan bagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?"

Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar. "Ambilah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi."

Mata Amar bersinar-sinar. "Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak tadi. Aku ragu-ragu seandainya Ibu tidak memberi peluang kepadaku untuk membela agama Allah."

Putra Nusaibah yang berbadan kurus itu pun terus menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak terlihat ketakutan sedikit pun dalam wajahnya.

Di hadapan Rasulullah, ia memperkenalkan diri. "Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayahku yang telah gugur."

Rasulullah dengan terharu memeluk anak muda itu. "Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu."

Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung hingga petang. Pagi-pagi seorang utusan pasukan Islam berangkat dari perkemahan mereka menuju ke rumah Nusaibah.

Setibanya di sana, wanita yang tabah itu sedang termangu-mangu menunggu berita. "Ada kabar apakah gerangannya?" serunya gementar ketika sang utusan belum lagi membuka suaranya, "Apakah anakku gugur?"

Utusan itu menunduk sedih, "Betul...."

Nusaibah meremang bulu tengkuknya. "Hai utusan," ujarnya, "Kausaksikan sendiri aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu, izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang."

Sang utusan mengerutkan keningnya. "Tapi, engkau wanita, ya Ibu...."

Nusaibah tersinggung, "Engkau meremehkan aku karena aku wanita? Apakah wanita tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?"

Nusaibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas menghadap Rasulullah dengan kuda yang ada.

Tiba di sana, Rasulullah mendengarkan semua perkataan Nusaibah. Setelah itu, Rasulullah pun berkata dengan senyum. Beliau SAW meminta Nusaibah bergabung dengan para Muslimah yang merawat pasukan yang terluka.

"Pahalanya sama dengan yang bertempur," katanya.

Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nusaibah pun segera menenteng obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur.

Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba terpercik darah di rambutnya. Ia memandang kepala seorang tentera Islam tergolek terbabat senjata orang kafir.

Di sini timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi, ketika dilihatnya Nabi terdesak karena serangan musuh, Nusaibah tidak dapat menahan diri lagi.

Ia bangkit dengan gagah berani dan diambilnya pedang perajurit yang tewas itu. Dia menaiki kudanya. Lalu, bagaikan singa betina, ia mengamuk.

Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa musuh Allah pun tumbang. Hingga pada suatu waktu seorang musuh mengendap dari belakang dan melukainya. Ia tercatat menderita tak kurang 12 luka demi menjadi perisai Nabi SAW.

Selain Padang Uhud yang menjadi saksi kehebatannya, beberapa jihad, seperti Hudaibiyah, Perang Khaibar, Perang Hunain, dan Perang Yamamah tak pernah absen diikuti Nusaibah. Dalam berbagai pertempuran itu, Nusaibah tak hanya membantu mengurus logistik dan merawat orang-orang yang terluka, tapi juga memanggul senjata menyambut serangan musuh.

Setelah Rasulullah SAW wafat, sebagian kaum Muslimin kembali murtad dan enggan berzakat. Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq segera membentuk pasukan untuk memerangi mereka. Abu Bakar mengirim surat kepada Musailamah Al-Kadzdzab dan menunjuk Habib, putra Nusaibah, sebagai utusannya.

Namun, Musailamah menyiksa Habib dengan memotong anggota tubuhnya satu per satu sampai syahid. Meninggalnya Habib meninggalkan luka yang dalam di hati Nusaibah. Pada Perang Yamamah, Nusaibah dan putranya, Abdullah, ikut memerangi Musailamah hingga tewas di tangan mereka berdua. Beberapa tahun setelah Perang Yamamah, Nusaibah meninggal dunia.

KISAH PARA SAHABAT NABI MUHAMAD SAWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang