PROLOG

54 5 8
                                    

Hai... namaku Pamela. Bisa juga dipanggil Mela. Aku adalah seorang introvert. Di sekolah ini yang tau namaku tidak lebih dari tiga puluh siswa saja. Hehe... maklum, meskipun ada seribu lebih siswa disini tapi yang mengenalku hanyalah teman sekelasku saja, bahkan terkadang ada juga teman kelasku yang hanya menganggapku batu. Batu? Iya, jadi mereka itu tau aku hanya ketika diabsen saja, selebihnya kalau berpapasan ya tidak saling sapa, bahkan kebanyakan dari mereka tak peduli dengan kehadiranku.

"Hai Mel... Lagi baca apa?" Tanya Kintan.

"Baca biografi tan..." Ucapku. Tiba-tiba Bintang, sahabatku datang.

"Duh Mel, Tan... kok lemot banget ya internetnya? Padahal aku buat download drama korea." Keluh Bintang.

Sebuah pengecualian bagi mereka berdua, Kintan dan Bintang. Mereka adalah teman, bahkan lebih dari itu, sahabat. Bagiku sangat susah mencari sahabat. Sahabat adalah orang yang sungguh-sungguh baik dan sayang sama kita, bukan yang cuma pura-pura. Aku memang tak memiliki banyak sahabat. Aku juga bukan orang yang dengan gampangnya menjadikan setiap orang yang gini dikit jadi sahabat, gitu dikit jadi sahabat. Itu bukanlah aku. Aku memang hanya memiliki dua sahabat. Tapi aku sangat mengenal betul mereka, aku menyayangi mereka. Bagiku lebih baik seperti itu dari pada punya banyak teman tapi tak mengenal betul siapa mereka.

Hobiku adalah membaca dan menulis puisi. Aku selalu membawa buku untuk kubaca. Di sebuah meja baca di pojok perpustakaan adalah tempat favoritku untuk membaca. Jarang sekali ada siswa yang membaca buku di meja pojok.

Hari ini nasibku tidak cukup beruntung. Aku baru tersadar ketika melihat jam dinding perpustakaan. Aku pun merapikan dan memasukkan buku-bukuku ke dalam tas abu-abuku. Aku berlari. Oh tidak, pintu terkunci. Aku memukul pintu dan berteriak minta tolong, berharap di luar ada orang yang membukakan pintu agar aku bisa pulang. Terkunci di perpustakaan seorang diri bukanlah hal yang menyenangkan. Aku merogoh tasku dan mengambil handphoneku. Aku menelpon mama, Kintan, dan Bintang. Tapi telepon mereka semua tidak aktif. Aku pun menghubungi teman kelasku, berharap mungkin ada yang bisa membantu.

"Halo... Tolong bantu aku."

"Maaf ini siapa?"

"Aku Pamela..."

"Pamela siapa?"

"Pamela teman sekelas kamu."

"Maaf, kayaknya salah sambung deh."

Huuuuuuuh... aku menarik nafas panjang. Teman sekelasku tak ada yang benar-benar mengenalku. Oh... aku benar-benar takut. Suara petir terdengar hingga kedalam ruang perpustakaan ini. Suaranya yang menggelegar mampu membuatku ketakutan dan menangis. Aku pun menangis dan berteriak minta tolong.

"Ini..." Suara lelaki dari arah belakangku, Ia menyodorkan sapu tangan berwarna biru. Aku pun berpaling ke arahnya. Aku masih terkejut. Kemudian Ia duduk di depanku.

"Sudah jangan nangis..." Ucapnya sembari menghapus air mataku.

"Maaf aku bisa mengusapnya sendiri." Aku pun mengambil sapu tangan yang ada pada genggamannya dan mengusap air mataku.

"Kamu juga terkunci disini?" Tanyanya.

"Iya."

"Kamu gak usah nangis lagi. Jangan khawatir, sebentar lagi pintunya akan dibukakan oleh penjaga sekolah."

"Ini, terima kasih." Aku mengembalikan sapu tangan miliknya. Kami sama-sama diam. Hening, hanya ada sepi saat ini. Aku membaca kembali bukuku sembari menunggu pintunya dibuka. Sementara lelaki itu terus saja memandangku. Jujur, aku sedikit takut. Beberapa menit kemudian, penjaga sekolah membuka pintunya.

"Maaf ya nak, tadi saya lupa ngecek, masih ada orang apa tidak, jadi ya tadi bapak kunci saja." Pak Rusdi meminta maaf.

"Iya pak, ndak apa-apa kok." Ucap lelaki yang meminjamkan sapu tangannya padaku.

Aku berlari menuju halaman sekolah. Namun hujan belum reda. Aku tak bisa pulang. Rumahku dekat dari sekolah. Setiap hari aku berjalan kaki menuju sekolah. Tapi, untuk saat ini aku tak bisa pulang, aku tak membawa payung. Aku tak mungkin hujan-hujanan, bisa jadi buku dalam tasku basah kuyup.

"Gak bisa pulang?" Lelaki itu muncul lagi. Aku tak menjawab pertanyaannya. Kemudian Ia membuka payungnya dan menggandeng tanganku dan membuatku mengikutinya. Aku terkejut. Ia mengantarku pulang.

"Rumahmu dekat ya? Kok jalan kaki?" Tanyanya, tapi tak ku jawab.

"Rumahmu sebelah mana?" Tanyanya lagi, tapi tak kujawab lagi.

"Benar kan ini jalannya, kita gak salah jalan kan?" Tanyanya lagi.

"Sudah... Aku bisa pulang sendiri." Ucapku sinis dan melepaskan tangannya dari tanganku. Tapi, Ia meraih tanganku lagi.

"Sekarang hujan, apa kamu akan pulang tanpa payung dan kehujanan? Kamu bisa sakit Pamela Nanda.." Ucapnya menatapku.

"Bagaimana kamu bisa tau nama lengkapku?"

"Itu.." Ia menunjuk dadaku. Dengan spontan aku menutup dadaku dengan menyilangkan tanganku dan mataku melotot memandangnya.

"Hahaha... kamu lucu ya, bukan itu maksud aku. Yang aku maksud itu badge namamu. Kamu gak usah takut. Aku cowok baik-baik kok. Hehe..."

Aku sungguh malu. Kemudian Ia menggandeng tanganku lagi. Aku membuat tangannya menyingkir lagi dari pergelangan tanganku.

"Tidak perlu menggandengku." Ucapku.

"Ya udah maaf, lalu ini belok kanan apa belok kiri?"

"Ke kanan."

Kami berdua berjalan bersama menuju rumahku. Hujan begitu deras. Kami juga tak saling bicara. Tapi yang aku tau, sepanjang jalan yang kami lalui, lelaki itu selalu tersenyum lega. Sedangkan aku hanya berjalan sembari menunduk. Sesampainya di depan rumah aku langsung masuk rumah. Namun, di ruang tamu aku tersadar, aku belum bilang terima kasih padanya.

"Ah... mungkin dia sudah pulang." Pikirku, tapi aku tetap keluar untuk memastikan dia masih ada disitu atau tidak.

"Kamu kok masih disitu?" Tanyaku. Lelaki itu masih berdiri membawa payungnya di luar pagar rumahku.

"Aku nunggu kamu bilang terima kasih." Ucapnya tersenyum.

"Terima kasih."

"Sama-sama." Ia tersenyum lagi, dan Ia beranjak pergi.



PamelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang