BAB 2

27 0 0
                                    

2

Sungguh menurutku memang tetap sama. Dia menyinarkan cahaya terindah di kala pagi tiba. Tanpa pamrih, tanpa keluh, tanpa ragu dia menyertakan segala hal yang dia miliki kepada semua orang tanpa terkecuali. Kecuali aku, menurutku. Aku hanya mendapat beberapa keindahaannya saja tidak seluruhnya. Karena bagiku cahaya itu tak bisa menembus masuk ke raga dan jiwaku. Sinar itu seketika tertahan oleh sesuatu yang tidak terlihat dan tembus pandang. Seakan tidak mengijinkan sesuatu hal apapun itu untuk hadir dan masuk. Bahkan hal lain yang indah sekalipun. Karena menurutku sesuatu yang tertahan itu bagaikan dinding tak bertuan yang telah lama singgah dan terbuat dengan hal yang sangat kokoh dan kuat hingga merobohkannya sekalipun tak akan bisa diyakinkan akan berpengaruh.

***

Sungguh menurutku membuka hati untuk hal baru itu sangatlah sulit
Tak ada secercah harapan yang lebih baik dari hal yang lalu, sungguh.
Hanya akan ada sejumpit hal lain yaitu kekecewaan.
Pada ujungnya semua hal itu akan menimbulkan kekecewaan.
Hanya ada segelintir rasa kecewa itu memang tapi bekas yang tertimbun begitu luas dan dalam.
Apa kalian tak pernah tahu berharap dan membuka hal baru itu sulit bagiku?
Sulit menemukan ruang baru yang cocok ku tumbuhi dan ku singgahi walaupun ruang itu harus lagi rusak akan diriku.
Aku hanyalah sebongkah benalu yang merapat dan singgah pada inang.
Yang hanya merugikan tanpa menguntungkan.
Mereka tak akan pernah tahu bagaimana diriku bersikap dan menolak egoku.
Mereka hanya tahu aku benalu jahat yang bertumpu dan meninggalkan bekas noda.
Padahal sebaliknya tidak begitu, sungguh.
Tapi apa hakku? Apa bisaku? Berontak? Tidak. Diam? Iya.
Karena hakku diam itu akan menimbulkan hal yang sesungguhnya ada bukan hal yang hanya fana.

Terus berjalan hingga diri terpojok oleh ruang waktu. Yang tak mampu lagi di ubah dah tak mampu lagi di pungkiri. Lelah? Itu pasti. Karena bertahan dengan sesuatu yang akan roboh, mau ditahan terus akan tetap roboh. Sama seperti halnya dinding hatiku. Untukku sekarang akan terus bertahan. Tapi, jika terus begini, maaf aku harus mundur. Mundur untuk tak lagi memperjuangkan dan mundur untuk tak lagi memiliki. Karena aku sadar kamu memang bukan untukku, aku bukan untukku, dan kita bukan lagi kita.

Kita? Aku masih teringat sungguh akan empat huruf yang diam itu
Menurutmu itu huruf yang tak berarti tapi nyatanya mengandung arti dalam
Ingatkah kau berkata kalanya saat aku dan kamu dipersilahkan menjalin kasih dan kita ini adalah sanksi kebersamaan kita
Tapi nyatanya kau tak berfikir begitu menurutmu itu hanya huruf yang akhir pantas dibuang.

Ku termenung dalam diamnya diri, mencoba mencari tempat untukku berteduh dan bercurahkan segala cerita. Bangku pendek terbuat dari batang pohon yang sudah mencoklat warnanya. Mengizinkanku untuk duduk dan bertengger untuk meneruskan pemikiranku. Ku telusuri bait demi bait tulis dalam kertas genggamku. Kertas dimana diatas putihnya tertulis tinta tarian khasmu.
"Aku akan berjanji diriku akan sepenuhnya untukmu dan aku akan selalu bersamamu, Molin" tulisan khas. Sangat khas. Dan bahasa yang tak asing untukku. Kau pintar memilih kata. Kau pintar menyusun kata indah hingga diri ini terlena. Dan aku hanyalah manusia bodoh yang termakan semua katamu yang pelik.

Aku terhenyak untuk menyadarkan diri bahwa dirimu hanyalah suatu pengharapan yang tak perlu lagi ditahan. Dan pantasnya untuk ditendang keluar dalam jiwa. Menyesak hingga sesak. Hati yang tadinya tenang akhirnya mengalir luka. Saat sudah diri terbiasa, diri langsung meremang dan menahan rintihan.

Ku rasa ku terlalu memikirkannya pagi ini. Sampai diri akan menyambut senja datangpun masih saja bayang dirinya yang teringat. Susah sekali melupakan dirinya. Dia selalu ada di setiap langkah dan baitan ceritaku. Bingung sungguh. Tapi mau bagaimana. Dia memang yang telah mengisi semua hal tentang diriku dengan kasihnya dulu. Tetes air tiba-tiba jatuh di kelopak mata. Menjatuhkan setiap kenangan pahit diatas kertas lusuh yang ku pegang. Membasahi setiap garis tulisan miliknya. Sesakit inikah menyayangi dan bertahan akan kamu? Salahkah aku masih berharap akan keadaan kita yang dulu. Rasanya ingin saja berteriak melimpahkan semua kekesalan yang tertahan dalam dada. Seketika ku tepiskan semua tangisku. Ku mulai mencoba tersenyum dengan nahan luka ini. Mencoba bangkit dari keterpurukan aku sendiri. Mencoba bangkit dan melupa. Ku mulai menutup lembar kertas yang telah ku buka. Ku simpan dalam tas kecilku. Dan mulai berdiri untuk melanjutkan perjalananku menuju rumahku. Ku yakin. Ku akan terus kuat melewati semua hal ini walau sendiri. Karena menurutku tak ada salahnya masih tetap bertahan walau dirinya pun tak lagi menginginkan ada. Kesempatan datang dua kali kan? Dan aku selalu menunggu kesempatan itu datang menghampiriku dan memberiku sedikit ruang untuk membuktikan semua rasaku kepada dirinya bahwa aku sangat menyayanginya.

***

Senjapun akhirnya datang di hadap diri. Menggambarkan lengkung senyum milik dirinya. Kisah merajut kala senja datang. Mendekap diriku erat dengan segala kasih yang diberikan. Hingga lagi-lagi terbesit cerita tentang kita berdua saat kita duduk dan menyaksikan senja kala itu.

"Mengapa senja selalu lebih istimewa dan diistimewakan bagi semua orang, begitu kau selalu bertanya, Lin. Betapa tidak, kita dipertemukan oleh senja. Kita menerbangkan puisi juga ketika senja.  Kita memotret langit juga di kala senja. Bahkan setiap hari kita tak sabar menunggu senja tiba karena di sana ada perjumpaan yang selalu kita rindukan. Tidakkah itu cukup menjawab semua pertanyaanmu?" ucapnya kala menaruh kepalaku di pundak miliknya. Menggenggam jari tanganku dengan kaitan kasih yang diberikan.

“Iya, tapi mengapa selalu senja yang menjadi simbol keindahan langit?” kau kembali menyela. Tak terima.
“Karena langit senja memang indah, Molin. Bahkan seorang pemuda pernah dikejar-kejar pemilik alam karena memotong senja yang ia peruntukan untuk kekasihnya.”
“Iya, aku juga pernah mendengar cerita tentang seorang pemuda yang merelakan bercak darahnya untuk menyumba senja, memperindah senja untuk kekasihnya. Tapi pertanyaanku, mengapa selalu senja?” kau masih belum terima.

“Karena, ketika senja, langit menjadi emas. Gunung-gunung dan cakrawala akan tampak lekuk keelokannya oleh cahaya senja. Tidakkah kau mengakuinya?”

“Aku bukan tidak mengakuinya. Hanya saja, mengapa selalu senja? Mengapa tidak fajar? Bukankah pada fajar, langit juga menjadi emas? Gunung-gunung dan cakrawala juga tampak berseri. Bahkan pada fajar ada embun yang mengkilap bagai permata berserakkan, ada kicau parkit, ada angin yang masih perawan…”

Seketika dirinya terdiam. Mungkin sedang merangkai sesuatu dalam kepalanya. Kau benar  Dengan membenarkan semua pernyataan dari bibir ranumku. Benar bukan menurutku kenapa bukan fajar? Apa yang membedakan keduanya? Fajar tak kalah indah dengan senja. Bahkan pada fajar ada kilauan embun, ada cecuit burung. Tapi mengapa senja lebih istimewa? Mengapa para pujangga selalu memuja senja? Pengarang cerita pun tampaknya lebih bersemangat menceritakan senja.

“Kenapa kau diam?” suaraku membuatmu terantuk. Wajah kita kembali menegadah, menatap senja dan mewadahi kemilaunya dalam ceruk mata kita.
“Karena senja tempat berpulang, Molin?” jawabmu melembut, “Sejauh apapun kita mengembara, pada akhirnya kita akan pulang juga?” tiba-tiba kau seakan mendapatkan ilham dan berhasil menemukan jawaban itu sendiri. Kau akhirnya paham maksudku.

“Tapi fajar juga tempat lahir, awal mula malah. Pada fajar semua bermula, juga langit dan kehidupan. Lalu, mengapa senja selalu tampak lebih istimewa?”

Matamu menerawang, memantulkan cahaya kemuning senja. Aku hanya memandangmu. Memandang senja yang terperangkap dalam matamu. Mencari-cari akar pertanyaanmu. Lalu aku terhenyak. Tak bisa memikirkan apa yang harus ku jawab. Semua pertanyaannya masuk akal bagiku. Tapi jujur aku bungkam ingin menjawab apa. Karena bagiku keindahan senja kala ini yang sedang kurasa sangat indah karena hadirnya juga.
Seketika diri meremang menahan rindu yang telah membara. Senyumnya. Suaranya. Matanya. Pemikirannya. Tingkah lakunya. Semua halnya aku selalu merindu. Tapi aku paham jika aku terus bertahan pada posisi ini aku akan jatuh pada pesona sang senja dan tak akan bisa kembali lagi. Cepat-cepat ku tersadar untuk tak lagi menikmati senja sekarang. Aku hanya akan terus berjalan di tengah senja untuk segera berlari menjauh. Begini rasanya senja yang tak indah tanpa hadir dirimu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 17, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senja, Waktu, dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang