1

20 1 0
                                    

Gianna melirik arlojinya, jam 06.45, itu artinya ia sudah terlambat walaupun ia harus lari-lari seperti orang kebelet berak karena itu ‘percuma’. Dia santai aja walaupun mamanya udah ngomel macem juri acara dangdut yang sok ngasih nasihat ke kontestannya. “Gi cepetan berangkat! Nanti kamu dikunciin digerbang lagi.” celoteh mamanya tak habis-habis.

“Iya santai aja si ma ini lagi ngayalin masa depan dulu biar ada rencana ntar.” jawab Gianna ngaco.

“Banyak ngayal kamu, udah sana cepet berangkat.”

“Iye-iye tuan putri berangkat dulu, good bye, see you again.” sambil mengancungkan dua jarinya dipelipis.

“Ehh salim dulu, kebiasaan kamu.” Ucap mamanya sambil geleng-geleng kepala.

“Oh iya lupa” lalu mencium tangan mamanya.

Ia berjalan santai mengendarai motornya, tidak peduli dengan jam yang menunjukkan pukul 07.00  yang itu artinya ia sudah terlambat 15 menit. ‘Masa bodo lah, paling nanti disuruh berdiri dulu didepan gerbang, ogah gue’ batinnya dalam hati. Setelah memakirkan motornya, ia pun berjalan santai tidak seperti teman-temannya yang berlari panik kearah gerbang. ‘Percuma tong, lo lari-lari juga tetep aje kaga boleh masuk.’ Katanya dalam hati.   

“Woy Gi buset lo udah telat santai banget lagi jalannya! Cepetan bego kita udah telat.” Seloroh temannya si Salsa tak sabar.

“Percuma sa, lo lari-lari kaya kambing mau dipotong juga tetep aja kita disuruh berdiri didepan gerbang.”

“Iya juga si, tumben lo pinter” jawab Salsa sarkastik

“Ye sialan.”

Seperti biasa, ia pun dihukum untuk memunguti sampah yang ada disekitar lapangan dan sekitaran kantin. Tiba-tiba, ketika ia sedang memunguti sampahnya dikantin ada seseorang yang menubruknya dari belakang sampai ia nyaris terjengkang bila tidak bisa memosisikan dirinya dengan baik.

Gianna pun menolehkan kepalanya dengan muka merah madam hendak mengucapkan segala sumpah serapah kepada seseorang yang menubruknya tadi. Dan ternyata itu orang itu adalah Vano, ya tepatnya Revano Mahanta Putra ‘musuh bebuyutannya semenjak pertama kali ia mos sampai sekarang’. Dengan muka tidak bersalahnya sambil nyengir-nyengir kaya orang bego.

‘Tahan Gi tahan, jangan ngatain jangan ngatain tapi minta dikatain’ batinnya dalam hati.

“Eh sorry, gue gak liat. Kirain gue pemulung lagi mungutin sampah” ucapnya santai sementara Gianna dengan muka merah padamnya mencoba menahan amarahnya yang sudah diubun-ubun.

“Lo bukannya minta maaf malah ngatain gue? Emang dasar ga punya otak lo.” Balas Gianna. Ia mencoba menahan amarahnya karena kalau ia ketahuan ribut bisa-bisa ia dihukum lebih berat lagi dari ini. Lagipula ia juga sedang malas berdebat sama Vano, ‘buang-buang waktu baginya’.

Sementara si Vano cuek saja mendengar perkataan Gianna, baginya ucapan Gianna yang nyolot malah membuatnya semakin senang mengusili Gianna. Karena dari sekian banyak cewe yang dia kenal, cuma Gianna yang berani ribut dengannya. Sementara yang lain kebanyakan cuma cari perhatian dan muji-muji dirinya yang kadang membuatnya muak.

Setelah menyelesaikan memunguti sampah, Gianna pun masuk ke kelas dengan muka santainya. Teman-teman sebarisannya cuma geleng-geleng kepala melihat kelakuan Gianna.

Bagi mereka  itu adalah hal biasa karena memang Gianna suka tidur menjelang pagi karena habis menonton tim sepakbola favoritnya. Menurut mereka cuma Gianna seorang yang ngefans sama tim sepakbolanya melebihi segala-segalanya daripada pelajaran.

Gianna duduk dengan santai dan menyapa teman-teman sebarisannya, lalu tanpa ba bi bu dia langsung tidur diatas mejanya tanpa memperdulikan gurunya yang sedang menjelaskan didepan kelas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 09, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UnexpectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang