Sang Hutan

5 0 0
                                    


Pohon-pohon tinggi menjulur dari tanah. Cabangnya berliku-liku dan batangnya berbengkok-bengkok. Daun pohon-pohon itu membentuk atap yang menutupi seluruh hutan sehingga cahaya matahari tidak dapat menembusnya. Di bawah atap itu, tumbuhlah pohon-pohon pendek berdaun jarang. Seekor burung gereja hinggap membeku di dahannya, tidak bersiul sama sekali. Kunang-kunang selalu bersinar di dalam hutan itu, tidak mempedulikan keberadaan matahari di langit.

Di antara kegelapan, ada segaris cahaya yang menembus daun dan mendarat di tanah. Di tanah itu, terbaring seorang gadis belia. Ia nyaris tidak terlihat oleh daun-daun kering yang menutupinya. Matanya terpejam dan tubuhnya kaku. Seekor gagak hinggap diatasnya, berniat untuk memangsa. Saat gagak itu menancapkan paruhnya ke daging gadis itu, ia terlonjak bangun dan meneriakkan suara yang menembus keheningan hutan. Matanya yang besar melihat ke sekelilingnya dengan panik, seperti mencari seseorang. Hanya kegelapan yang menjumpainya. Dengan tangannya yang dingin, ia berusaha untuk berdiri dan merontokkan daun-daun yang menempel di bajunya. Sepucuk daun tetap menempel di lehernya, walaupun ia sudah menggelengkan kepala sekuat mungkin. Ia meraih daun itu dengan tangannya dan mencoba mencabutnya. Seketika rasa sakit menusuk kulit lehernya. Daun itu seperti sudah berakar di dalam dagingnya. Dengan setengah sadar dan dikabuti kebingungan, gadis itu berjalan meninggalkan cahaya.

Berjalan dipandu cahaya kunang-kunang, gadis itu mencari sumber cahaya apapun yang bisa ia tujui. Dari ekor matanya, ia bisa melihat cahaya merah remang-remang di antara pohon. Dengan susah payah, dia berusaha menembus semak belukar yang lebat dan tajam untuk menuju ke cahaya itu. Setelah semakin dekat, percikan-percikan terlihat dari cahaya yang ternyata bersumber dari sebuah api kecil. Dari balik pohon, gadis itu mengintip ke arah api. Di dekat api itu, terlihat seorang lelaki duduk meringkuk dengan jubah gelap. Rambutnya menutupi matanya dan kakinya bersila di atas tanah. Sebuah ranting pohon panjang bersandar di pahanya, seperti baru ia kenakan sebagai tongkat. Mendengar kaki si gadis yang bergerak-gerak gelisah di antara semak-semak, lelaki itu menoleh ke arahnya.

Pria itu tidak mengatakan apapun, tetapi terus menengok ke arah gadis itu dengan mata tertutup. Dengan sedikit cemas, gadis itu menghampirinya pelan-pelan. Namun, sebelum gadis itu sempat mengutarakan apapun, pria itu bersuara.

“Jangan berdiri di situ saja. Duduklah dekat api ini,” ujarnya, masih dengan mata tertutup. Suara pria itu pelan namun bisa terdengar jelas di kesunyian hutan. Walaupun sedikit ragu, gadis itu menurutinya dan duduk berseberangan dengan pria itu dengan api di tengah-tengah mereka. Kakinya ia lipat dan tanganya ia dekatkan ke arah api kecil itu.

“Kamu datang dari mana?” pria itu bertanya. Ekspresinya tidak begitu jelas di keremangan cahaya.

Si gadis menggelengkan kepala pelan, “Tidak tahu,” ujarnya, dengan suara pelan juga, “Aku sudah ada di hutan ini tadi.” Lanjutnya.

“Kamu tidak ingat apapun sebelum bangun di hutan ini?” pria itu bertanya lagi. Si gadis tidak merespon. Ia tetap diam, tidak menjawab maupun bergerak sama sekali. Bunyi percikan api seakan terdengar begitu nyaring. Setelah beberapa saat, pria itu menjawab sendiri, “Aku juga tidak.”

Api di antara mereka makin redup. Pria itu meraba-raba tanah disekitarnya dan mengambil daun dan ranting kecil untuk dilempar ke api itu untuk menjaganya tetap menyala. Beberapa kali ia tidak melemparnya dengan tepat, gadis itu buru-buru membantunya.

“Tidak ada orang lain di hutan ini,” lelaki itu tiba-tiba berkata, “Jadi, lebih baik kita saling mengenal. Namamu siapa? Kalau kamu lupa, buatlah sendiri,” lanjutnya.

Gadis itu tidak menjawab untuk beberapa saat, “Shira, cuman itu yang bisa ku pikirkan,” jawabnya.

“Mungkin itu memang nama aslimu. Aku sendiri lupa sama sekali,” Kata si lelaki itu, “panggil saja aku Lupa. Aku memang tidak kreatif, terutama disaat seperti ini,” Lupa tertawa kecil sendiri.

Sang Hutan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang