0.1

678 65 31
                                    

0.1 ; Begin

“Lou, Jane memanggilmu,” Tiba – tiba Zayn sudah berada di salah satu sudut kamarku. Aku terpelanjat kaget dibuatnya. Dasar, runtukku dalam hati.

Aku mendecak kesal, “Ada apa sih Jane memanggilku? Bukannya kita freetime sampai bulan depan, yah,” ucapku dengan lirih. Zayn menggelengkan kepalanya malas.

“Tidak tahu, mate, temui saja di kantornya, katanya dengan Harry juga,” Zayn keluar kamarku dia sempat menyeringai ke arahku. Apa maksudnya? Dia memang seperti itu ; aneh dan sulit sekali di tebak. Tapi kenapa hanya Perrie yang dapat mencairkan sifat yang paling ku benci itu ; Zayn yang cuek, dingin, dan pemalas jika berdekatan ataupun bertemu dengan Perrie bisa saja langsung berubah 360°.

Aku terpaksa mengunjungi kantor Jane yang berada di salah satu sudut kota London, bersama Harry tentunya.

***

“Jane, please, jangan gila!”

“Aku tidak mau, Jane, aku sayang Kendall, I love her!”

“Jane, please, aku masih mau menikmati hidupku tanpa siksaan, please, beri tahu Simon,”

Aku memohon – mohon, eh, ralat, Harry juga. Bahkan wajah kita berdua sudah tertekuk – tekuk seperti permen karet. Kita berdua merengek – rengek seperti dua anak kecil yang menangis akibat di paksa – paksa mengikuti les pelajaran bahasa yang kita benci; Mandarin.  [A/N : Kok author malah curcol, yah? Lupakan.]

Eh? Apa ini terdengar berlebihan?

“Lou, Har, ini pesan dari Simon, ” balas Jane dengan mudahnya. Apa dia gila sekarang? Apa dia habis keluar dari rumah sakit jiwa atau terlalu banyak minum vodka? Tuhan, kenapa jadi seperti ini?

“Please, Jey,” rayu Harry yang sudah mulai putus asa.

Eh, kenapa kok jadi lupa, ya?Begini, kalian tahu tidak, ish, kalian pasti tidak tahu, tapi kenapa aku tanya, ya? Lupakan, biar aku ceritakan dari awal saja,

Jane; tangan kanan kepercayaan Simon atau aku biasanya memanggil Paman Si itu untuk merawat kami, eh, mengatur kami semua, tidak tahu Paman Si ataupun Jane sedang mabuk atupun kerasukan setan tingkat dewa, tiba – tiba mereka menyuruh Harry mengakhiri hubungannya dengan Kendall Jenner—pacarnya. Sedangkan yang paling parah…Aku harus berpacaran pura – pura untuk menaikkan popularitas 1D! Ah, ini semua sudah di luar akal sehatku.

Jika seperti ini apa mereka berdua waras? Atau aku dan Harry yang gila?

“Lou, ini harus kamu laksanakan perintah, umurmu bahkan sudah mencapai…-

“Jangan bahas masalah umur, Jane, sudah kuperingatkan,” sergahku dengan cepat dan tak lupa menekan setiap kata dalam kalimatku. Emang, aku suka tersinggung jika orang – orang membahas tentang umurku karena –you know lah- aku yang paling tua di One Direction.

Jane mendecak pinggang, “Kalau sudah tahu kenapa masih single? Huh?” sindirnya.

Aku tertegun. ‘Iya juga, ya, batinku sambil menimbang – nimbang perkataannya. Umurku bahkan sudah...-

Kenapa aku malah bahas umur, juga? sudahlah, lupakan.

“Aku tidak percaya jika kamu dan Si yang pilih,” ujarku dengan malas. Harry masih ngambek dan lebih memilih duduk menggalau di sofa di sebrangku. Memang seperti itu sifatnya ; keras kepala dan mudah ngambek.

That Moments ⇨ tomlinsonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang