0.2

587 54 22
                                    

{}

-Eleanor’s POV-

“Bangun, Ele, cantik, maaf ya, aku pulang pagi ini,” Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Ekor mataku menangkap perempuan yang duduk di pinggiran ranjangku. Kemeja tosca, hotpants, dan rambut pink nya menarik perhatianku. Mengingatkanku dengan sahabatku, Demi. Eh, bukannya dia Demi?

“Uhmm...” Aku merentangkan kedua tanganku sambil menguap. Ini terlalu pagi;mungkin. Aku menatapnya dengan tatapan tidak bisa diartikan; tatapan menyelidik mungkin. “Pasti tertidur di apartemennya Jade, ”

Demi mengendikkan bahunya. “Tidak, kok, di rumah Perrie lebih tepatnya,” jelasnya sambil menyeringai ke arahku.

Aku mendecak sambil mengacak-acak rambutku malas. “Sama saja, Dem, sudahlah aku mau mandi, jam 11 aku ada janji dengan seseorang.” Aku bangkit dari ranjangku dan melangkahkan kakiku menuju kamar mandi yang berada di salah satu sudut kamarku.

“Janji? Dengan siapa, Ele?” tanya Demi penasaran. Dia menaikkan satu alisnya; memberi kesan tidak percaya.

“Yah, dengan orang lah, Dem,” balasku dengan malas. Demi berlari dan berhenti di hadapanku, mencegatku lebih tepatnya. Aku memutar mataku malas.

“Demi,” gertakku ke arahnya. Aku menyingkir ke arah kanan. Demi mengikuti gerak gerikku lagi.

“Ayolah, Dem!”

“Jawab dulu!”

“Pertanyaan apa?”

“Janji dengan siapa?”

Aku meletakkan salah satu tanganku di pinggangku. “Sudah kubilang, Dem, yang jelas itu orang!”

“Okay, gini saja, laki-laki atau perempuan?”

“Laki-laki,”

Demi terbelakak kaget. Matanya membulat –ingin menahan tawa, mungkin. “Hah? Serius? Seumur hidupku aku baru mendengar kalau kamu mempunyai janji dengan laki-laki,” Demi  mengguncang bahuku. Tawanya sudah pecah dari 2 detik yang lalu.

Aku tertawa hambar, lebih tepatnya dipaksakan. “Terserah kamu, Dem,” Aku berusaha memberontak dan memasuki kamar mandi dan tak lupa menguncinya terlebih dahulu. Aku melepas setiap helai pakaian yang aku gunakan.

Dan selanjutnya, aku tidak mau menjelaskan secara detail, well, karena aku tahu kalian pasti tahu apa yang terjadi selanjutnya.

{}

Aku menuruni anak tangga rumahku, ralat, rumahku dan Demi –well, tidak semuanya benar, ini memang benar-benar rumah milik Demi, salah satu rumah mewahnya, dan aku hanya menumpang. Miris, memang. Mungkin lain waktu akan kujelaskan secara detail mengingat 15 menit lagi aku harus tiba di café tempat dulu aku bertemu dengan Harry Styles.

Aku mempunyai janji dengannya.

“Demi!” seruku dengan tergesa-gesa. Aku mendengar suara berisik keran air terbuka dari arah dapur, mungkin Demi sedang mencuci piring. Aneh memang, Demi Lovato, seorang artis terkenal masih bersikap seperti orang-orang biasa pada umumnya. Dia punya harta yang melimpah tapi dia tidak mau menyewa pembantu, katanya; ‘Dari pada menyewa pembantu, lebih baik kupergunakan untuk bersenang-senang’

Dan, BUM! Kalian terkena tipuankuu! Kalian pikir Demi bisa seperti itu? Hell no! Dia lebih memilih menghabiskan uangnya untuk hal-hal bodoh seperti itu.

Untungnya aku belum terjebak di dunianya.

Memang, aku seorang model di suatu majalah. Aku biasa, tidak terlalu terkenal dan hanya menghasilkan uang pas-pas an untuk menebus hutangku yang menumpuk pada Demi –tolong garis bawahi ini semua—Hey, hidupku memang bergantung pada Demi! Tapi, aku tidak pernah menyusahkannya dan mencoba menghasilkan pendapatan sendiri!

Aku mau mencoba mandiri.

“Demi, masih adakah nugget di freezer?” tanyaku dengan berteriak. Suara berisik yang mengusik jiwa yang gundah(?) itu menghilang, di matikan maksudku.

Suara derap langkah kaki mendekat ke arahku. “ck, aku malas! Lebih baik—

—lebih baik di gunakan untuk ngedrunk dengan Jade!” sergah sekaligus sambungku dengan malas. Aku hampir –sudah—hafal tentang ucapan ini. Aku bisa menghafalnya diluar kepala karena –hampir—semua ucapan Demi pasti mirip seperti ini.

Demi nyengir sejenak ke arahku. Sejurus kemudian, cengiran itu memudar di gantikan dengan tatapan ‘horror’-nya. “Kok tau, sih.” Bibir Demi maju meruncing ke depan beberapa centimeter.

Aku tertawa hambar, lagi, di buatnya. “Demi, Demi!” Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku malas. Aku menarik kursi meja makan ke belakang. Aku berniat mau duduk karena ototku –khususnya pada kakiku— sudah sangat lelah, apalagi perutku yang sudah seperti mesin cuci ini alias minta diisi.

“Dem, buatin makanan, dumss.” Rayuku dengan senyuman merekah di wajahku. Mata cokelatku berbinar-binar bak oase di padang rumput yang gersang.

Demi melakukan kegiatan kesukaannya; menjitak kepalaku dan mengacaknya gemas. Dan perlu kalian tahu, aku benci jikalau penyakitnya ini kambuh karena aku bingung harus membeli obat penyakit langkanya ini di mana.

Aku mendecak sebal, tangan kiriku menopang di atas meja makan. “Demi!” sentakku dengan sebal. Aku berusaha menepis tangan yang yang menari-nari bebas di kepalaku membuat tatanan rambutku yang sudah bagus tadi menjadi sangat berantakan. Kini rambutku telah berubah menjadi sarang burung yang sangat kotor.

Aku mendecak, “Demi ku sayang..” godaku dengan tatapan nakalku. Tanganku turun menangkup wajahnya yang –hampir—menyerupai bakpao rasa cokelat yang biasa aku beli di café langgananku.

Demi memasang ekspresi jijiknya, dia sedikit menyeringai aneh. Demi memang sedikit, ralat, sangat risih jika di perlakukan seperti dia itu gay yang sering ia tonton secara live dan gratis tentunya, di pub-pub langganannya.

“Demi..” kataku sedikit merayu. Bukan sedikit lagi, tapi sangat.

Dan, plakkk!

Aku mendapat tamparan –cukup—keras di pipiku yang tirus dan hampir tidak berisi ini. Aku meringis kesakitan.

Sekarang aku mendengar gelak tawa cukup keras menyeruak masuk ke dalam telingaku, membuatnya sedikit berdengung mengingat volumenya yang sangat besar—hampir sama dengan dentuman music saat konser metal.

“AWW!” rintihku dengan dramatis. Hey, aku memang di lahirkan dan di besarkan di keluarga dramatis sebagai contohnya lihatlah Demi seberapa dramatisnya dengan senyuman bodoh ala Goofynya itu yang sangat khas dengannya? Siapa sangka kalau dia itu gadis ter-dramatis yang pernah aku temui –sebelum aku bertemu dengan Ericca, pelayan café langgananku.

Eh, kenapa aku berbicara tentang café terus? Apa karena hukum alam yang mengatakan perutku terus dip eras seperti mesin cuci ini? Sudahlah, aku mau makan dulu.

_____________________

Ini chapter ter-abstrud, sumpah, parah .__.v tapi minimal di hargain dikit dumssss x

Love,

Demi, Ele, and Ericca

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 29, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

That Moments ⇨ tomlinsonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang