Cinta: Tempat Manusia Suka Berpura-Pura

170 4 0
                                    

Aku begitu akrab dengan kebohongan. Kebohongan memang tidak selamanya pahit dan hitam. Sejak kecil, aku suka berbohong pada ibuku bahwa aku telah memakan banyak coklat. Aku bohong, namun aku bahagia. Lalu seiring berjalannya waktu, kegemaranku berbohong semakin menjadi-jadi. Aku mulai menjadi pembohong ulung. Waktu itu, usiaku 12 tahun. Di usia itu, ayahku secara tidak langsung telah mengajariku menjadi pembohong. Dia mengaku bahwa dia dahulu telah menikah sebelum ayah menikah dengan ibuku. Tidak perlu dijelaskan panjang lebar bagaimana perasaan ibuku saat itu. Aku tidak mau terlalu mengingatnya. Tidak perlu dijelaskan secara rinci bagaimana hati seorang perempuan yang telah mengabdi pada seorang suami selama 12 tahun. Aku juga perempuan. Aku belum menikah dan belum menjadi seorang ibu. Tapi aku tahu rasanya 12 tahun dibohongi oleh seseorang yang selalu kita sajikan makanannya, mencuci semua baju kotornya, dan memijatnya ketika lelah. Kalian, wahai perempuan. Sungguh seorang pembantu yang suka berpura-pura. Berpura-pura seolah tak ada keringat dan air mata yang menetes. Berpura-pura seolah tak ada kejadian yang berarti dari seorang suami yang membohonginya bertahun-tahun. Aku tidak menyalahkan ayahku. Aku juga tidak menyalahkan takdir. Apalagi untuk protes kepada Tuhan mengapa perempuan harus pandai berpura-pura kuat dan seolah-olah menjadi pahlawan bagi anak-anaknya? Mungkin suatu hari aku akan protes, hari yang semu. Tapi aku tahu Tuhan mencintai yang berpura-pura kuat. Aku tidak akan mengatakan bahwa aku trauma dengan apa yang telah dilakukan ayah kepada ibuku dan denganku sekali pun. Aku menganggapnya itu adalah sebuah cobaan dari Tuhan yang harus dijalani seperti seharusnya. Lagi-lagi aku harus berpura-pura pasrah.
***
Setelah pengakuan ayahku, kami mencoba menjalani kehidupan dengan "baik". Ibuku memaafkan kebohongan yang dilakukan ayahku. Begitu pun aku. Kami hidup baik-baik saja, karena orang harus menganggap seperti itu. Jadi, bahagia atau tidak kalian yang menyimpulkan.
Bertahun-tahun kemudian, ibuku harus berhenti dari kepura-puraannya. Ayah mengulangi kesalahannya lagi. Bahkan lebih menyakitkan. Ayah entah mengapa dengan bodoh lebih memilih gadis yang lebih muda namun tak lebih cantik dan sabar dari ibuku. Namanya juga setan. Suka mengelabui. Ia melihat hitam bagai putih, dan sebaliknya. Akhirnya aku hidup hanya bersama ibuku dan adikku. Oh iya, juga bersama mbah kakung dan mbah putriku, Ditambah tanteku. Setidaknya kehidupan kami membaik walau ada sepercik yang hilang. Tapi tak apa ~
***
"Malam ini ada cerita apa?" Tanya dia begitu penasaran.
"Ehm... gak ada hehe."
" 😕 "
"Kok sedih?" Tanyaku
"Sedih, soalnya satu bulan tanpa komunikasi seharusnya kamu cerita tentang ceritamu di asrama."
Aku berseri-berseri melihat pesan itu. Yang paling aku tunggu ketika aku pulang dari asrama adalah pesan darinya.
"Rani?"
"Iya?"
"Kok gak dibales? 😐"
"Hehe. Cerita tentang apa?"
"Tentang apa saja yang memotivasimu ☺"
Aku pun  selalu menceritakan semua yang kulalui. Dia selalu mahir dalam mengapresiasi ceritaku. Seburuk apapun ceritaku itu. Namanya Raka, dia tiga tahun lebih tua dariku. Semenjak kehilangan ayahku, aku anggap dia sebagai pengganti dari Tuhan untuk dia.  Aku benar-benar merasa sempurna. Dia adalah ayah, kakak, dan sahabat bagiku. Lalu perasaan yang biasa tumbuh antara laki-laki dengan perempuan pun muncul. Aku tidak tahu siapa yang memulai. Kami tidak membuat hubungan. Hubungan ini hanya mengalir seperti adanya. Tapi kami tahu kami saling mencintai.
Awalnya, ketika aku di pantai bersama tanteku, dia sering melihat ke arahku. Ternyata dia adalah teman sekelas tanteku. Dari situlah awal perkenalan kami. Selama aku mengenalnya, bahkan sekarang setelah 4 tahun aku membagi cerita bersamanya, aku tahu apa yang dia katakan padaku itu natural. Apalagi perasaan itu. ()
Hingga suatu hari, aku harus beranjak ke bangku kuliah. Aku, yang sejak kecil hidup dalam garis kemiskinan ingin mengubah itu semua. Aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri, Australia tepatnya. Dia spontan bangga padaku. Katanya, dia semakin mencintaiku. Akhir-akhir ini, aku merasa kedewasaanya bertambah. Meskipun waktu yang ia beri untukku hanya sedikit. Tapi aku harus sadar bahwa dia lebih tahu apa yang harus ia lakukan ketimbang berbagi dan mendengarkan cerita konyol denganku. Sekalipun aku orang yang dicintainya. Akhir-akhir ini, beberapa bulan sebelum aku akan ke negeri itu, dia tidak seperti biasanya. Dia seperti berpura-pura tidak merespon ceritaku. Padahal ceritaku lebih hebat dari biasanya, mulai dari seminar nasional, workshop, bahkan penghargaan-penghargaan yang ditujukan untukku. Tapi dia hanya membalas seadanya. Seakan menyembunyikan sesuatu. Tapi jika aku menuduhnya yang tidak-tidak, dia menyangkalnya. Bahkan pernah sampai dia bilang, "Apalagi yang kamu ragukan?". Benar. Seharusnya aku tidak ragu. Tapi aku tidak bisa berpura-pura untuk tenang saja dalam hal perasaan. Bila dia berubah, pasti ada sebab. Tak peduli dia bisa dipercaya atau tidak. Mungkin aku yang harus berbenah diri. Ah, orang dewasa memang sulit dipahami.
Dia menemuiku.
Saat ini keadaan 99% sempurna. Hamparan alam yang indah, angin sejuk, kopi manis, dan bahu untuk menyandarkan lelah walau hanya sejenak. Tidak ada kebahagiaan yang dirasakan kekasih, selain meminjam bahu kekasihnya untuk bersandar. Kemudian dia memintaku untuk bercerita. Tapi lidahku kelu. Aku bahagia, tapi naluriku mengatakan akan ada sesuatu yang terjadi. Itulah mengapa keadaan saat ini hanya 99% sempurna. Lalu kau berucap.
"Kita tidak usah saling bicara"
"Maksudmu?"
"Kita jangan ada hubungan dulu. Tapi tenang, aku akan kembali."
Aku masih belum percaya. Apa maksudmu? Aku jauh-jauh dari Australia dan dia menyakitiku? Apakah dia reinkarnasi dari ayahku? Tidak. Aku tidak percaya.

*****
Aku sangat membencinya. Hingga akhirnya dia mengirimku sebuah buku. Dan di halaman terakhir buku itu bertuliskan, "Aku membencimu. Aku membencimu karena ada alasan yang harus kau tahu. Ada perempuan lain yang harus kudengarkan ceritanya. Kau sudah berubah dengan kehidupanmu di luar sana, aku lebih suka gadis di bumiku saja."
Sungguh terlihat buruk surat itu. Tidak hanya dari bentuk hurufnya, tapi juga kalimatnya. Apalagi maknanya. Akhirnya aku semakin yakin bahwa kau adalah reinkarnasi ayahku. Berpura-pura membahagiakan di awal, lalu menoreh air mata di akhir. Tapi aku bangga sudah kau begini-kan. Sekali lagi aku harus pura-pura baik padamu. Dan tersenyum di depan banyak orang.
***
Empat tahun berlalu, kau datang lagi. Tidak perlu diceritakan bagaimana perasaanku. Kau bilang, dulu kau hanya berpura-pura melukaiku. Supaya aku hanya fokus dengan studiku dan supaya kau bisa mengumpulkan pundi-pundi berlian untuk menghidupiku di dunia rumah tangga. Sungguh bijak.
Aku, yang sejak 4 tahun lalu bersembunyi dari rasa ini, sulit membukanya lagi. Kau tahu? Jawabanku adalah aku menolakmu. Itu baik. Supaya kau tahu bahwa berpura-pura itu buruk. Sama seperti yang kulakulan ini, berpura-pura menolakmu. ()

Cinta: Tempat Manusia Suka Berpura-PuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang