"Seperti kata melukis banyak cerita. Aku selembar usang kertas putih tua. Kamu yang menjadi ujung dari mata hitam tinta. Dan kita, jutaan cerita bahagia dan luka yang pernah mengisi di dalamnya."
Dari salah satu sudut Yogyakarta, suara tepuk tangan mulai mengudara. Tempat Gala Premiere dengan dinding bercorak hitam gelap tampak mulai riuh menggema. Mungkin ini hanya terdengar sebatas sederhana. Namun, tidak dengan gadis berusia dua puluh tiga tahun yang tengah berdiri di tengah podium utama bersama timnya.
Wida melukis senyuman paling berseri yang ia punya. Sebuah sabit kurva bahagia yang semesta ciptakan dengan penuh suka cita.
Pandangan gadis itu pun akhirnya mengedar ke semua penjuru tamu undangan.
"Barangkali, mungkin seperti itu. Sebuah kisah sederhana yang saya tulis dalam naskah buku ini, yang pada akhirnya, hari ini semesta memberi restu kita semua untuk menuangkan mereka bukan hanya dalam kata-kata, tapi juga dengan visualisasi di dalam ruang yang nyata," ujar Wida, menunjukkan layar super raksasa berona jingga senja dan gambar para tokoh pemainnya di belakang dia.
"Bagi saya, ini semua seperti khayal belaka, bahwa buku Dent De Lion akhirnya dipinang ke layar lebar semegah ini. Karena jujur, Dent de Lion adalah buku saya yang paling berkesan. Dulu saya sempat ragu. Hingga akhirnya saya beranikan diri untuk bertanya sama produser filmnya---yang kebetulan Beliau adalah produser film favorit saya, saya cuma tanya. Kenapa harus buku ini?" kata Wida, menoleh pada wanita paruh baya berambut ikal dengan senyuman teduh di sebelahnya. "Lalu Beliau menjawab, 'Karena buku pertama kamu itu, ada sukmanya. Lewat Karang... si tokoh utama yang setiap paginya memilih menyampaikan rasa lewat potongan sajak sederhana. Saya jatuh cinta', lalu detik itu semesta membuat ragu saya hilang."
Riuhnya tepuk tangan dari para undangan yang hadir sekali lagi terdengar menggema.
Dari bangku merah di sudut kiri atas, seorang gadis berambut hitam lebat dengan kacamata mengangkat satu tangan, berusaha ingin bertanya.
"Oh. Sepertinya di sini ada yang tengah menahan rasa penasarannya. Baiklah, silakan kalau mau bertanya Kakak yang ada di sana," tunjuk sang pembawa acara.
Gadis yang ditunjuk berdiri. Ia merapikan kacamata yang mengantung di pangkal hidung dengan jari telunjuknya.
"Perkenalkan, nama saya Keara. Salah satu pengagum beratnya Mas Karang, hehe. Jadi begini, saya ingin bertanya sama, Mbak Wida. Gimana sih Mbak Wida bisa mendapatkan ide menulis yang sampai ke ulu hati? Saya dengar-dengar, kisah ini berasal dari true story. Apa itu benar? Apa sesosok Karang itu memang benar ada? Kan di jaman sekarang jarang sekali ada cowok yang seperti dia." Suara tawa dari para audiensi kembali terdengar. "Itu saja, terima kasih waktunya."
Begitu selesai berujar. Kini semua sorot mata kembali tertuju pada gadis berusia dua puluh tiga tahun tersebut.
"Mungkin sebagian dari kalian sudah ada yang tahu, atau barangkali jika di sini ada teman-teman SMA saya. Mereka pasti tahu jawabannya," jawab Wida, pandangannya mengedar lagi. "Bahwa benar, naskah Dent De Lion yang saya tulis ini, berdasarkan true story."
Decak kagum, heran, bahkan sampai terkejut mulai terdengar. Seolah ada yang tak percaya dengan ucapan Wida baru saja.
"Banyak yang tidak percaya, bukan?" tanya sang produser film, kini ikut menimpal. "Sama, saya juga awalnya tidak percaya. Seperti kata Mbaknya tadi. Emang sosok Karang itu ada? Lalu waktu itu Wida langsung cerita, jawabannya... ada, Mbak. Ia sungguh ada."
Suara decakan kembali terdengar bisik-bisik.
Sambil menahan senyumannya, akhirnya Wida angkat bicara. "Iya, itu semua memang benar ada. Mereka nyata dengan nama yang berbeda. Sulit dipercaya, bukan? Namun begitulah adanya," pungkas Wida, menahan senyuamnnya lagi.
Seseorang kemudian menyeletuk kembali dari deretan kursi merah. "Kalau memang ada. Siapa Kak yang jadi Karang di dunia nyata? Apakah itu sosok cowok di Instagram, Kak Wida?"
Wida yang mendengar laki-laki muda itu berujar tersenyum kecil.
"Aduh, ini kenapa jadi bahas saya, ya?" kekeh Wida, telapak tangannya menutupi senyuman. "Saya tanya balik aja, deh. Kalau menurut kalian, kira-kira siapa?" goda balik Wida pada tamu undangan. Sedangkan semua orang yang berada di gedung bioskop tempat Gala Premiere itu jadi kian penasaran.
"Ayo dong, Kak, sebutin siapa orangnya!" Satu pemain dari tim film ikut menimpal.
"Iya, Kak. Penasaran itu enggak enak lho. Masa tega sih bikin penasaran sama Karang KW ini?" tambah sang pemain utama menggoda Wida.
Mendengar bujuk rayu mereka. Wida tidak bisa untuk tidak tersenyum dan tertawa.
Pandangan gadis itu lantas mengedar, hingga pada satu titik. Sabit itu terlukis lagi di sudut bibirnya. Sebab, sepasang mata cokelat Wida jatuh pada seorang pemuda yang berdiri di ujung paling belakang. Pemuda dengan bola mata hitam paling indah yang pernah Wida temui.
Orang yang Wida tatap langsung membalas dengan melukiskan senyuman.
"Masih penasaran?"
"Iya!"
"Orangnya ada di tempat ini. Jika kalian memperhatikan karakter Karang di versi buku. Kalian akan menemukan orang itu. Karena ternyata, jauh-jauh dari Praha dia bela-belain untuk datang ke sini, dia ada di dalam ruangan ini."
Kontan semua orang langsung menolehkan pandangan. Mencari sosok siapa yang kira-kira cocok dengan gambaran Karang di versi novel Dent De Lion yang Wida maksud.
Melihat reaksi para tamu undangan. Wida tampak bahagia sekali.
"Saya kasih tahu tambahan ciri-cirinya. Dia, memiliki sepasang mata hitam paling menakjubkan. Mempunyai lukisan senyum paling meneduhkan. Bisa tebak mana orangnya?"
Seorang pemuda dengan kemeja putih dibalut jas hitam langsung mengangkat tangan dan berujar.
"Apa itu saya?"
Faceclaims Kalan dan Wida:
Note:
Mampus! Gue republish lagi Sesajak Karang :)
Salam rakyat patah hati!Republish: Sabtu, 19 Oktober 2019
Copyright © 2019, Navaenra
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Frekuensi Rasa
Roman pour AdolescentsBarangkali datangnya gelombang sayang, berasal dari frekuensi nyaman berdurasi panjang. Copyright © 2019, Navaenra