Paman Awan

1.9K 2 0
                                    

Hitam adalah hitam, putih adalah putih, adalah semboyan yang terus kukenang dari lelaki kate penggila kopi pahit itu. Yah, mungkin tidak tepat juga dikatakan “semboyan”, karena kalimat itu sesekali diucapkannya enteng saja, dan entah apa sebenarnya maksud kalimat itu—yah, siapa sih yang bisa memahami jalan pikiran lelaki itu ... tapi kupikir tak akan meleset terlalu jauh lah jika kita menebak bahwa memang itu prinsip hidupnya. Ia memang seorang paman yang aneh, unik, tiada duanya baik luar maupun dalamnya. Walau begitu, kalau kita renungkan, sebenarnya banyak yang masuk akal darinya.

Kami semua di Palapa Mas mengenalnya sebagai Paman Awan. Umurnya tidak diketahui dan sulit dipastikan, walau wajahnya tua. Bahkan kurasa sepantar dengan eyang kakung-ku yang baru merayakan ulang tahun emas pernikahannya. Tetapi rambut Paman Awan hitam mulus, dan masih lengkap seluruh giginya. Tubuhnya pun tegap, walau pendek—adikku Juwita, yang baru lulus SMP, lebih tinggi darinya. Langkah kakinya pun masih mantap dan tenaganya kuat—terbukti ketika aku berlomba lari keliling perumahan dengannya, nyaris ia mengungguliku tiga putaran! (Untungnya tak ada penonton karena saat itu selepas subuh, atau ... seorang pemuda dikalahkan telak pria tua yang 30 senti lebih pendek, bayangkan malunya!)

Maka dari itu, terlepas dari wajah tuanya, ia bersikeras dipanggil "Paman" dan bukan "Kakek".  

Keluargaku di sini selalu membuka pintu untuknya. Orangnya sendiri baik walau “unik” dan tidak banyak bicara. Salah satu ciri khasnya yang cukup membekas adalah selera minumannya. Pernah suatu ketika aku menemaninya duduk-duduk di teras rumahku, menikmati kopi panas dan pisang goreng keju masakan Ibu. “Hmm,” gumamnya setelah menyeruput kopinya. “Kenapa ada sedikit manisnya? Bukannya makmu tahu kopi kesukaanku?”

“Lho, memang bikinnya tidak pakai gula, kok,” sahutku heran.

“Tapi ada rasa manis gulanya. Paman tidak bisa minum ini.”

Aku pun tertawa kecil. Orang yang tidak mengenalnya mungkin mengira Paman Awan tidak sopan atau tidak tahu terima kasih. Tetapi ia hanya sangat menggemari kopi jenis tertentu. Baginya, kopi itu hitam dan pahit, titik. Aku tahu kalau orang dewasa kerap menyukai minuman begituan, tetapi Paman Awan benar-benar fanatik terhadapnya. Paman melihat susu, krim, dan butir-butir gula seolah melihat sianida atau bahan radioaktif! Ada setitik saja rasa manis, lidah supersensitif Paman akan mendeteksinya, dan kopi yang disajikan tak akan disentuhnya lagi. Walau dibayar satu milyar rupiah pun pikirannya tak bakal berubah, hahaha. Tetapi kalau itu kopi pahit murni, wah ... bergelas-gelas besar akan ditelannya tandas seolah air putih. (Aku tahu yang kaupikirkan, tetapi bukan, Paman bukan perokok. Jadi entah apa alasan kegemarannya itu ....)

“Hehehe, mungkin ada gula nempel di sendok pengaduknya,” ujarku.

Ia mengangguk-angguk sambil bersandar santai di kursi rotan. “Ya sudah, tidak apa-apa. Sampaikan maafku pada makmu. Hitam adalah hitam, putih adalah putih.”

Itu dia semboyan yang kumaksud, he he he.

Oh ya, soal pekerjaannya, itu juga sama uniknya. Jika berada di perumahan ini, ia kerap bekerja serabutan, membantu apa saja tanpa malu. Mengantar galon air untuk toko Haji Ahmad, menggotong karung-karung beras di UD Pelita Terang milik Koh Gunawan, menjadi tukang parkir di Alfa Mart atau Battle-dot-Net (anak-anak tak berani membolos dan bermain game di sana jika dipelototi Paman), memangkas rumput halaman masjid, dan entah apa lagi. Terkadang keluargaku pun meminta bantuannya, dari memperbaiki tandon air, mencarikan pengepul kertas bekas, sampai memperbaiki radio dan mesin mobil. Tetapi jika sedang tidak di sekitar sini, ia seolah melakoni kehidupan yang sama sekali berbeda. Setiap kali mengunjungi rumahku setelah bepergian lama, ada saja oleh-oleh darinya yang membuatku penasaran. Bolpoin Singapore Airlines, kaus bergambar Menara Petronas, majalah Voyager edisi terbaru dari Australia, gantungan kunci Menara Eiffel .... Seolah ia sudah berkelana ke mana-mana bak turis. Tetapi Paman Awan selalu mengunci mulutnya, tak mau menceritakan perjalanannya. “Ya, pokoknya Paman menjalani apa yang harus Paman jalani,” jawaban lazimnya. Misterius, pokoknya.

Paman AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang