Aku Hanya Bercanda

54 3 0
                                    

Cuaca memang tidak cerah. Awan mendung menyelimuti langit pedesaan yang sedari biru menjadi kelabu. Setidaknya dia ada di sini sore itu, bersamaku. Setidaknya keberadaannya membuatku melepas rindu, walaupun perkataannya setelah itu membuat detak jantungku memburu.

"Aku ingin pergi." ujarnya sambil menatap langit sore itu.

Tidak ada yang berbicara setelah itu. Kicauan burung yang merdu seolah terhenti. Membiarkan pikiranku mencerna apa yang baru saja dia katakan. Angin pun juga ikut terhenti. Seolah terdiam dan mengerti bahwa sang pujaan hati ingin pergi.

Aku hanya menatapnya. Bingung harus berkata apa. Masih tak mengerti apa yang dia katakan sebelumnya. Apa ini yang dinamakan perpisahan? Apa rindu yang baru saja terobati harus kembali tumbuh mengisi hari-hari?

Mata itu menatapku dengan tatapan teduh. Semburat senyuman mulai muncul di wajahnya. Tangannya yang semula berada di dalam saku celana ia keluarkan dan ia gunakan untuk mengusap kepalaku.

"Aku hanya bercanda." Hanya tiga kata, namun dapat membuat hatiku lega begitu saja.

"Kau menyebalkan!" teriakku sambil mendorong badannya. Namun doronganku tidak menimbulkan efek apapun terhadapnya. Posturnya yang tinggi dan tegap berjalan semakin mendekat.

"Kau tau apa perbedaan dirimu dengan perempuan lain?"

Aku menggeleng. Dia tertawa lalu menarik lenganku. Berlari mengelilingi petakan sawah yang hijau tertiup angin. Lalu kita berhenti di tengah pematang sawah yang membentang layaknya permadani. Sorot matanya kembali bertemu dengan kedua bola mataku.

"Kau bisa membuatku jatuh cinta. Itulah yang membuatmu berbeda dengan perempuan lain."

Aku tidak bisa menahan untuk tidak tersenyum karenanya. Jatuh cinta memang seindah yang orang katakan, bahkan lebih dari itu. Lengannya yang panjang ia rangkulkan ke pundakku. Senyuman itu muncul lagi. Senyuman indah yang selalu aku rindukan.

Sebentar lagi senja datang. Walau warna keemasan sang mentari yang akan pulang ke peraduan tertutup awan, namun senja tetaplah senja. Yang mempunyai atmosfer tersendiri. Walaupun rintik hujan mulai jatuh membasahi, namun itu tidak melunturkan kesenangan dua orang yang sedang jatuh hati.

Hujan pun belum terhenti. Begitu juga dengan hujan yang membasahi pipi, masih setia menemani. Menyadarkanku akan kenangan yang sudah lama kupendam. Yang menyisakan rasa sakit yang teramat dalam saat kembali kukenang.

"Senja memang punya cerita, benar kan?" bisikku kepada nisan di depanku.

"Aku baru saja melihat bayanganku dan dirimu setahun lalu, saat kau berkata bahwa kau ingin pergi, lalu berkata bahwa kau mencintaiku. Kau memang selalu begitu, iya kan? Tak menentu. Buktinya kau berkata apa yang terjadi sebaliknya, bukan? Kau bilang bahwa kau tidak akan pergi, itu hanya bercanda. Namun nyatanya kau kini pergi, dan itu bukan sebuah candaan." Lanjutku dengan suara pilu.

"Aku harap, kau tidak bercanda juga saat kau bilang kau mencintaiku."

Sebentar lagi senja pergi. Walau warna keemasan sang mentari yang tadi pulang ke peraduan tertutup awan, namun senja tetaplah senja. Yang mempunyai atmosfer tersendiri. Walaupun rintik hujan sudah berhenti, namun itu tak membuatku berhenti untuk mengenangmu. Dan benar, rindu yang baru saja terobati saat itu harus kembali tumbuh mengisi hari-hari selepas kau pergi.

Kini senja telah terlewati. Senja yang menghantarkan kenangan-kenangan indah bersamamu. Senja yang mengingatkanku bahwa tak ada hal yang abadi di dunia ini. Seperti siang yang akhirnya terganti malam. Seperti keberadaanmu yang akhirnya terganti rasa sepiku karena kau kini tak lagi di sisiku. Namun, ada satu hal yang tetap abadi, perasaanku kepadamu yang takkan pernah habis walau kau tak lagi di sini.

Antara Aku, Kamu, dan Senja Sore ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang