Aku adalah Bintang Kejora, kekasih Malam.
Aku benderang, aku tinggi.
Kurasa aku adalah benda langit yang paling bahagia di jagat raya, karena malam selalu menyertaiku. Begitu bahagianya aku hingga membuat Mentari cemburu. Aku dan Mentari hanya berkesempatan bertemu saat kami bersama Fajar dan Senja, dan terpisah ketika Malam datang menghampiri. Aku yakin, ia cemburu.
"Sebentar lagi Malam datang, aku benar-benar merindukannya! Apakah kau baik-baik saja, Mentari? Sinarmu akan tergantikan oleh gelapnya Malam. Gelapnya, yang membuatku bersinar." Aku menari-nari di udara dengan bahagia.
"Jangan pernah berpikir Malam mencintaimu. Kamu tidak secantik itu, Kejora," katanya.
Aku tersenyum bangga dan menjawabnya, "Bukankah Malam menghindarimu? Mana yang lebih buruk?"
"Apakah cinta dari Malam merupakan hal paling penting di dunia ini? Mengapa kalian meributkan hal yang sama setiap hari?" lerai Senja, ketika kami bertemu.
"Ya, cinta Malam memang tak penting." Mentari murung, sinarnya meredup. Kemudian membawa Senja menjauh, perlahan hilang, hingga Malam tiba.
Aku bahagia melihat kedatangan Malam. Kurengkuh ia, menyublimkan kebahagiaan yang membuatku bersinar. "Aku merindukanmu," bisikku.
Malam tersenyum. "Aku juga merindukanmu."
Aku duduk di pangkuannya, bertanya dengan penuh harap, "Apakah menurutmu aku cantik?"
Ia mendekapku dalam pelukannya yang sejuk. Tersenyum, seraya menjawab, "Benar. Kamu cantik, karena kamu bersinar."
"Bukankah Mentari juga bersinar?"
"Ia meredup ketika aku datang."
Aku mengangguk dengan bangga. Benar, tak heran Mentari cemburu. Akulah yang paling bersinar, akulah yang melengkapi Malam.
Aku adalah Bintang Kejora, kekasih Malam.
Aku yang paling benderang, aku yang paling tinggi.
Malam mengisahkan padaku, betapa ia mencintaiku, betapa bersinarnya aku, betapa tingginya aku. Bahkan aku tak pernah melihat diriku seindah itu, namun ia bisa melihatnya. Malam berkata, tak mungkin ada yang bisa menggantikanku, bahkan Mentari sekalipun.
Tutur katanya seakan menaungiku dari rasa khawatir. Mentari tak akan merebut Malam dariku. Aku terhanyut dalam sejuknya Malam, hingga tanpa terasa kami kehabisan waktu.
Fajar menyingsing, berkata, "Apakah belum cukup waktu kalian untuk bermesraan?"
Malam terkekeh. "Selamat tinggal, kekasihku yang tinggi dan benderang." Malam mengecupku dengan lembut sebelum akhirnya pergi, memberi tempat kepada Fajar. Ia melambaikan tangannya, dengan wajah yang kecewa karena harus berpisah. Aku membalas lambaian tangannya tanpa henti, hingga cahaya Mentari menyeruak memisahkan kami.
Aku meredup marah. Kecemburuannya selalu memisahkan aku dan Malam.
"Kamu marah padaku?" tanya Mentari berhati-hati.
"Kamu cemburu padaku?" balasku.
Mentari menggeleng. "Aku tak cemburu, aku hanya memberimu peringatan."
Aku tak menjawabnya, alih-alih melenggang pergi dan membiarkannya menguasai hari. Mentari yang tertutupi rasa cemburu, tak akan pernah menyadari betapa besar cinta Malam untukku. Tak apa jika memang dia tidak peduli, tapi yang ia lakukan hanyalah memisahkan kami. Benar-benar menggangguku. Aku enggan menemuinya lagi, bahkan aku tak menjemput Senja, biar Senja sendiri yang menemui Mentari.
Senja membujukku, "Kamu tidak ingin berbaikan dengan Mentari?"
Aku menggeleng.
"Sejenak saja, tak ingin mencoba?"
Aku masih menggeleng.
Senja menghela napasnya berat. "Baiklah, setidaknya temuilah Malam."
Mendengar nama itu, aku kembali bersemangat. "Ya, setelah Mentari pergi."
"Baiklah." Senja berlalu dan mengatakan padaku bahwa ia akan memberitahu jika Mentari telah pergi.
Usai Mentari dan Senja pergi, aku mulai mendekati Malam. Walau belum kulihat rupanya, dapat kudengar suara Malam yang sejuk mengalun lembut. Aku tersenyum bahagia mendengar suaranya yang mampu memperbaiki suasana hati. Dengan antusias, aku berlari padanya. Dari kejauhan, aku dapat melihat sinar Malam. Ia tak pernah bersinar seperti ini, ia seharusnya gelap, menjadikanku benderang. Aku mulai curiga, perasaanku tak menentu hingga kutemukan ia mendekap Rembulan.
"Kamu cantik, karena kamu bersinar." Suaranya yang sejuk tiba-tiba saja membekukan aku.
"Bagaimana dengan Kejora?" tanya Rembulan.
"Kamu lebih terang darinya."
Aku jatuh terduduk. Menyadari bahwa aku bukanlah yang paling terang, aku bukanlah yang paling tinggi, sinarku meredup. Aku menangis dalam gulita, sembari mendengarnya mengisahkan pada Rembulan, betapa ia mencintainya, betapa bersinarnya rembulan, betapa tingginya ia.
Aku adalah Bintang Kejora, kekas—aku bahkan sangsi Malam mencintaiku.
Tak lagi terang, tak lagi tinggi.
Aku Bintang Kejora,
yang sinarnya meredup.
YOU ARE READING
Aku adalah Bintang Kejora, Kekasih Malam
Short StoryTeruntuk Malam, yang membuatku benderang saat ia gelap, dan membuatku redup saat ia bersinar.