Terima Kasih Ayah

2 0 0
                                    


Parade besar menyambut kedatangan para kesatria yang telah berhasil menaklukan para monster di utara kerajaan. Figur gagah mereka membahana membelah lautan manusia yang menyambut dengan suka ria. Suara langkah tapak kuda yang menghentak bumi, seakan bumi bergetar menyambut para penyelamat ini.

Aku berlari menuju parade itu, berharap cemas sambil terengah-engah. Lautan manusia kutembus, dadaku sesak karena harus bertabrakan dengan orang-orang yang datang mengelilingi para kesatria ini, kadang aku terjatuh karena tidak dapat menghindari masyarakat yang penuh semangat menyambut para Kesatria. Peluh dan darah mengalir dari keningku, tak ada aku peduli dengan hal ini.

Aku berhasil sampai hingga ketepian parade, dan hanya bisa berdiri menunggu sambil cemas. Panjang parade ini adalah dua kilometer, dengan jumlah kesatria ketika berangkat lima puluh ribu orang. Tetapi yang kutemui bahkan tidak sampai setengahnya, hanya gardu depan yang dipenuhi oleh para kesatria, sisanya adalah kereta kuda dengan mayat dibelakangnya.

Aku terus menunggu, berharap orang yang kutunggu segera menampakkan wajahnya, kesatriaku.

Tiga puluh menit, satu jam, dua jam. Aku menunggu, bahkan ketika lautan manusia ini telah berpencar kembali ke habitat mereka, aku tetap menunggu. Malam tiba, aku menunggu. Hingga pada akhirnya gerbang kota tertutup, aku duduk sambil bersandar pada gerbang itu, menunggu.

Tulang-tulang disekujur tubuhku mulai tertusuk oleh hawa malam hari, perutku mengempis dan bergetar, mengeluh kepada pemiliknya untuk segera diberikan pekerjaan. Tetapi aku tidak bisa beranjak dari sini, aku harus tetap menunggu. Aku tidak tahu, mungkin ketika aku berbalik maka dia akan pergi melewatiku.

Siulan sang angin malam mulai membuat kelopak mataku menyerah. Aku menolak untuk menyerah, tetapi serangan mereka semakin ganas. Para penjaga gerbang malam juga mulai diserang oleh siulan ini, beberapa dari mereka menyerah. Sebagian yang masih bertahan hanya bisa meratapi nasib karena memiliki tingkat resistensi yang lebih tinggi, sehingga mereka harus bertahan untuk menjaga gerbang.

"Nak, kamu sudah disini selama setengah hari lebih. Lebih baik kamu segera pulang sebelum orang tua-mu khawatir."

Ucap penjaga gerbang yang berhasil bertahan. Wajahnya cemas, matanya terlihat seperti tidak terbuka, dia adalah pejuang tangguh.

"Tidak apa tuan, aku sedang menunggu para kesatria kembali. Tidak ada yang akan khawatir denganku, aku bisa menjaga diriku."

"Bukankah para kesatria sudah kembali dari tadi siang? Apa kamu melewatkannya?" tanyanya keheranan.

"Tidak, aku telah melihat parade para kesatria tadi siang. Aku belum menemui ayahku yang seharusnya bersama mereka, mungkin dia terlambat dari rombongan. Aku telah berjanji untuk menyambutnya di gerbang kota ketika dia kembali."

Penjaga gerbang tangguh itu hanya terdiam. Matanya yang sejak tadi bertahan melawan malam terbuka dengan lebar. Mulutnya tertutup rapat, seakan menahan sesuatu untuk dikeluarkan.

"Ah, baiklah. Jangan paksakan dirimu duduk disini. Lebih baik kamu beristirahat di pos sana, aku akan membangunkanmu ketika ayahmu datang."

"Tidak apa tuan, aku akan duduk disini saja menunggu ayahku. Apa mungkin aku mengganggu?"

"Oh tidak-tidak. Kamu tidak mengganggu sama sekali. Ini ambil selimut ini, disini sangat dingin, aku tidak ingin kamu menyambut ayahmu dengan pelukan yang dingin. Oh iya, apa kamu sudah makan? Aku tidak melihat kamu beranjak sejak tadi. Aku mempunyai sedikit makanan, makanlah."

Tidak hanya tangguh, penjaga gerbang ini juga juga sangat baik hati. Dia menyodorkan selimut dan juga makanan kepadaku. Ah, selimut ini sangat hangat, jarum-jarum hawa dingin malam mulai menghilang, mereka seakan berhenti menusuki tulang-tulangku, selimut ini merupakan perisai terbaik untuk menahan mereka. Perut kecilku ini juga bersorak dengan gembira, 'akhirnya aku mendapatkan pekerjaan', mungkin seperti itu mereka berteriak.

Penjaga gerbang baik hati itu berjalan kembali menuju pos penjaga. Tak lama kemudian dia kembali sambil membawa tong besi yang berisi kayu-kayu kering. Dia kemudian meletakan tong itu di depanku, dan menyalakannya dengan api yang dia keluarkan dari tangannya menggunakan sihir.

Setelah dia merasa bahwa api unggun di dalam tong telah membara, dia duduk di sampingku. Dia kemudian mulai bertanya-tanya tentang diriku, aku dengan senang hati menjawab pertanyaannya, dia adalah orang yang baik, aku yakin dia tidak bermaksud jahat.

Dia memperkenalkan dirinya, namanya adalah Dio, seorang kesatria muda dengan pangkat (masih belum nyari tingkatan kesatria), dia berasal dari keluarga bangsawan bernama Admaja. Dia ditugaskan sebagai penjaga gerbang sudah selama satu tahun lebih, dia berkata bahwa sebentar lagi dia akan segera dipindahkan ke divisi penjelajahan, divisi yang sama dengan ayahku.

Aku sangat senang karena mungkin saja dia nanti adalah orang yang akan membantu ayahku dipenjelajahan mereka yang berikutnya. Dia banyak bercerita kepadaku, dan aku dengan senang hati mendengarkan ceritanya. Dia bercerita tentang seberapa sulitnya untuk masuk menjadi kesatria, atau bagaimana hidup di asrama sangat penuh dengan jebakan, dan juga tentang bagaimana dia mengalahkan monster untuk menyelesaikan tugasnya untuk menjadi seorang kesatria.

Kami terus berbincang, hingga malam tak terasa telah terlewati. Sang surya telah bersinar, menyilaukan mataku dari tembok sebelah barat. Terdengar suara seperti besi yang bertabrakan, kemudian berpisah dari belakangku. Melihat gerbang terbuka aku segera berdiri dan menunggu, berharap cemas. Terlihat gerombolan manusia menunggu diluar gerbang, aku menjadi semakin tak sabar untuk bertemu dengan ayahku.

Satu-persatu mereka berjalan memasuki gerbang setelah diperiksa oleh penjaga gerbang. Aku terus memperhatikan kerumunan itu, berharap ayahku segera menampakkan wajahnya dan menghampiriku. Kerumunan yang sedari tadi mengantri untuk memasuki gerbang mulai menipis, aku masih tidak dapat menemukan ayahku. Hingga akhirnya pendatang terakhir berjalan melewatiku, aku masih tidak melihatnya. 'Apakah dia masih dalam perjalanan?', pikirku.

Testing penulisanWhere stories live. Discover now